KESAH.ID – Banyak orang tak mengenal dirinya dan menjadi terganggu dengan gambaran atau citra yang dikatakan oleh orang lain. Menceritakan diri menjadi jalan untuk mulai mengenal diri sendiri lebih dalam. Cerita akan selalu menarik untuk orang lain karena orang selalu ingin tahu tentang orang lainnya. Dan berita yang ditulis sebagai cerita juga akan mendapat perhatian dari pembaca atau pemirsanya. Belajar menceritakan diri sama halnya dengan menulis sebuah berita yang bercerita.
Semua kisah tentang orang lain selalu menarik perhatian kita. Mentor saya dalam pembuatan film dokumenter mengatakan kalau ingin membuat film yang laku, pilihlah tema yang berhubungan dengan semua cairan yang ada dalam tubuh manusia.
Saya jadi ingat olok-olok terhadap koran kuning yang dulu sekali pernah meraja. Oplahnya selalu mengalahkan koran berita. Banyak yang bilang kalau koran itu jangan dikliping, sebab jika digulung dan diremas-remas maka akan mengucurkan darah dan sperma. Koran kuning isinya berita kriminal, pembunuhan dan kekerasan seksual.
Beberapa tahun terakhir ini, acara yang dilabeli sebagai infotainment di layar televisi adalah bukti nyata kalau kata mentor saya itu benar adanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas kepo atau bentuk keingintahuan kita pada semua hal tentang orang lain mewujud lewat aktifitas ghibah atau gosip.
Watak manusia yang paling konsisten memang selalu ingin tahu perihal orang lain.
Hidup sendiri memang tentang kisah dan kisah yang paling kuat akan menjadi sejarah.
Kekuatan kisah sendiri diakui oleh banyak orang. Yang paling dipercaya di dunia, merubah dunia dan membuat dunia tetap bertahan adalah cerita.
Media sosial menjadi yang terdepan karena menjadi sarana bagi warga dunia untuk bercerita.
Di X, Instagram, Tik Tok, You Tube dan lain-lain ada banyak sosok yang berpengaruh karena kemampuan bercerita atau menceritakan segala sesuatu dengan sangat baik.
Seorang Steve Jobs sekalipun mengakui bahwa orang yang paling berpengaruh di dunia adalah storyteller.
Bagi dia seorang storyteller mampu menetapkan visi misi, nilai bahkan agenda untuk generasi mendatang.
Sayangnya kebanyakan dari kita kerap mempersempit storytelling hanya dalam bidang marketing dan branding, atau ekonomi kreatif.
Padahal semua hal yang besar di dunia dipengaruhi oleh storytelling.
Mulai saja dari hal paling kecil yakni diri kita sendiri. Seorang yang tak mampu menceritakan dirinya akan menjadi orang yang paling sulit menjawab pertanyaan “Siapa aku?”.
Pengenalan diri hanyalah pengandaian. Seolah setiap orang mengenal dirinya sendiri. Padahal gambaran dirinya sering berasal dari apa yang dikatakan oleh orang lain.
Menceritakan diri menjadi penting, bukan semata agar dunia tahu dan mengenal siapa kita tapi juga agar kita mengenal diri kita sendiri. Seseorang yang mengenal dirinya tidak akan kehilangan diri.
Hanya saja menceritakan diri tidak sama dengan curhat di media sosial. Mengobral perasaan atau emosi agar mendapat reaksi, entah jempol atau emoticon lainnya. Curhat di media sosial memang bisa menghasilkan kesenangan sesaat, tapi bisa juga penderitaan yang berlarat karena penghuni media sosial jarang memberikan empati.
Untuk mereka yang ingin belajar menulis, menceritakan diri bisa menjadi awal untuk memulai. Mulailah menulis seperti mengupas kulit jagung, membuka dan mengingat kembali lapis-lapis kehidupan kita. Buka satu persatu agar dibawahnya bisa ditemukan biji-biji yang berguna dan bermanfaat. Baik untuk dimakan maupun ditanam lagi agar terus berbiak.
Yakinlah bahwa dibalik kisah yang mungkin biasanya saja, selalu ada mercon banting atau bahkan bom yang siap meledakkan diri para pembaca. Kisah diri selalu bersifat universal, akan bisa menggugah siapapun dan membuat kita tak merasa sendirian di dunia.
Dengan bercerita maka adanya kita di dunia menjadi nyata.
BACA JUGA : Kopi Melek
Berita sesungguhnya kumpulan cerita-cerita diri, namun ditulis oleh para pewarta.
Sayangnya, media massa yang sekarang ini umumnya berbentuk online umumnya hanya menyajikan berita-berita lugas atau straight news. Berita yang menyajikan fakta dengan urutan 4 W + 1 H, nama, waktu, tempat, bagaimana terjadi dan mengapa ditata secara berurutan.
Berita madya dan berita investigatif menjadi langka karena semua berlomba untuk menjadi yang paling cepat memberitakannya. Berita adalah siaran langsung apa yang dilihat oleh para pewarta.
Berita sebagai cerita menjadi kian langka. Kalaupun masih bercerita, ceritanya juga kurang menarik karena hanya sebatas apa yang dilihat oleh mata. Ibarat sebuah panggung konser, berita hanya menceritakan mereka yang tersorot lampu. Atau bahkan hanya mereka yang ada di flyer iklan pemberitahuan konser.
Tempo sejak semula mempunyai prinsip untuk memproduksi berita sebagai cerita.
Yang dituliskan oleh Tempo berupaya melawan pembekuan-pembekuan bahasa karena setiap regim selalu berupaya untuk menguasai bahasa.
Ada pemimpin yang doyan meringkas, membuat singkatan-singkatan dan berbagai istilah untuk mengindoktinasi. Slogan dan singkatan-singkatan bergemuruh, kerap diucapkan dan bergema dalam masyarakat namun memiskinkan pikiran.
Menulis berita dengan bahasa penguasa membuat pembaca kehilangan imajinasi. Fakta tentu harus tetap dimuliakan, namun mesti disajikan dalam cara baru bukan dengan mengulang atau mengafirmasi realita dalam versi penguasa.
Tempo misalnya tidak pernah menuliskan pendapat-pendapat klise. Atau frasa-frasa yang kerap dipakai oleh para pejabat. Contohnya ‘dalam rangka’ atau ‘sebagai momentun’.
Cerita yang kuat memang tidak memiskinkan bahasa.
Bahasa yang kaya, bukan yang biasa didengar dalam pidato atau wawancara normatif saat doorstop akan membuat berita menjadi bercerita. Tulisan beritanya akan berbeda dengan media-media lainnya yang hanya sekedar menuliskan kutipan.
Menulis berita yang bercerita akan menjadi peristiwa yang dituliskan mempunyai daya pikat. Berita mesti dibuka dengan pesona lewat lead yang memancing, bukan judul-judul yang clickbait.
Dan cerita yang menarik tidak diakhiri dengan petuah. Penutup bukanlah nasehat.
Seperti halnya novel dan film, tidak semuanya ditutup dengan happy ending. Sebab banyak peristiwa memang belum berakhir, belum bisa disimpulkan, konflik masih berlangsung dan mungkin saja masih ada peristiwa kejutan berikutnya.
Slogan Tempo yang paling diingat adalah Enak Dibaca dan Perlu. Namun didalam operasi penulisan berita, awak Tempo mempunyai slogan lainnya yakni Jujur, Jelas, Jernih dan Jenaka. Walau kadang kejenakaan Tempo kerap menjengkelkan banyak pihak, lucunya di tepi jurang.
BACA JUGA : Politik Sedetik
Narasi atau cerita tentang diri selalu menyampaikan kebenaran. Maka narasi bukanlah pencitraan, atau kisah yang direkayasa agar diri dikenal oleh orang lain seperti yang kita inginkan, bukan apa adanya.
Jurnalisme juga demikian, tugasnya melaporkan kebenaran. Maka akurasi harus diimani.
Akurasi diwujudkan dengan sentuhan pada fakta dan peristiwa. Maka hadir dalam sebuah peristiwa dilakukan bukan hanya untuk menunjukkan kerajinan seorang pewarta, melainkan untuk menjaga fokus pada fakta dan memperdalam intensitas pada sebuah peristiwa.
Hanya saja apa yang diperoleh lalu dituliskan begitu saja dengan formula belum akan menghasilkan cerita.
Sebuah kisah menjadi cerita atau narasi jika dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dan proyeksi yang mungkin di masa depan.
Apa yang terjadi mesti digali. Seorang pewarta atau penggali cerita mesti terus bertanya. Ketika melihat rumah terbakar walau karena ledakan kompor tak boleh langsung menyimpulkan sebagai kesialan atau kecelakaan. Ledakan kompor bisa saja disengaja, ledakan kompor bisa saja karena kualitas kompor yang rendah dan lain sebagainya.
Di balik kapal yang tenggelam, tidak selalu badai jadi penyebabnya. Kapal bisa saja tenggelam karena korupsi atau kejahatan ekonomi.
Berita sebagai cerita hanya dimungkinkan ketika seseorang mampu membongkar fakta dibalik sebuah peristiwa. Maka kisah tentang kapal tenggelam bisa saja berunjung pada terbongkarnya sebuah sindikat penyelundupan.
Pun demikian dengan kisah diri. Kisah diri sesungguhnya membongkar misteri dalam diri sendiri. Mengupas satu demi satu pengalaman, perjumpaan dan semua gejolak yang dialami secara periodik.
Hanya saja menceritakan diri memang punya resiko yang pahit. Ada citra yang dipertaruhkan.
Seseorang yang disangka atau digambarkan baik oleh masyarakat, mungkin akan berusaha menjaga image. Tak akan mau berterus terang begitu saja karena takut terganggu kemapanannya.
Dan kisah-kisah busuk kemudian akan terbongkar kemudian, jauh setelah peristiwa berlalu. Karena biasanya para pejabat, penguasa, orang besar dan lainnya menulis memoar atau kisah dirinya setelah usai semua kegemerlapannya.
Jarang yang berani menceritakan kisah dirinya mirip ‘bocor alus’ Tempo yang membongkar kebusukan saat masih berlangsung atau sedang hangat-hangatnya. Maka tak perlu heran jika Airlangga Hartarto saat menceritakan kisah dirinya yang mundur sebagai Ketua Umum Golkar menutupi kisah sebenarnya dengan alasan-alasan yang sungguh mulia.
note : sumber gambar – DETIK