Konstitusi Philipina menuliskan pemilu presiden diadakan setiap enam tahun sekali. Masa jabatan presiden petahana dibatasi satu periode. Sedangkan wakilnya bisa menjabat dua kali berturut-turut. Rodrigo Duterte berusaha mengajukan rancangan konstitusi baru yang memungkinkannya untuk menambah periode jabatan, dua kali masing-masing selama 4 tahun.

Rancangan konstitusi baru ini tidak berhasil disahkan dan Rodrigo Duterte harus pensiun. Pemilu presiden Phlipina kemudian tetap digelar di tahun 2022, tepatnya pada tanggal 9 Mei 2022. Konstitusi Philipina memang unik sebab kapan pemilu harus dilaksanakan juga tercantum didalamnya. Pemilu di Philipina akan selalu diselenggarakan pada hari Senin dalam minggu kedua bulan Mei.

Sepuluh calon bertarung yakni Bongbong Marcos, Leni Robredo, Manny Pacquiao, Isko Moreno, Ping Lacson, Faisal Mangondato, Ernesto Abella, Leody De Guzman, Norberto Gonzales dan Jose Montemayor.

Pemilu di Philipina hanya satu putaran, yang paling banyak suara yang menang. Dan karena pemilihnya tidak lebih dari 100 juta maka hasil pemilunya akan segera diketahui beberapa jam setelah pemilihan.

Perhitungan tidak resmi yang telah menghitung 95% suara masuk menempatkan Bongbong Marcos menang telak, lebih dari 50% suara diraup olehnya, kemenangan mayoritas yang jarang terjadi dalam pemilu Philipina. Leni Robredo menyusul di belakangnya namun perlu tambahan 30% suara untuk mengalahkan Bongbong. Rasanya tidak mungkin.

Duel Bongbong dan Leni adalah rematch, di tahun 2016 mereka bertarung untuk memperebutkan kursi wakil presiden. Leni menang, namun kali ini ketika kembali bertarung untuk memperebutkan kursi presiden, Leni kalah telak.

Bongbong bukan hanya mengalahkan Leni melainkan juga menunjukkan bahwa ‘orde lama’ mengalahkan ‘orde reformasi’.

Latar belakang karir politik Leni dan keluarganya adalah perlawanan pada Ferdinand Marcos, bapak dari Bongbong yang memimpin Philipina kurang lebih selama 20 tahun.

Masa diktator Marcos Senior berakhir ketika digulingkan lewat ‘people power’ pada tahun 1986. Gerakan masyarakat untuk mengakhiri kepemimpinan diktatorial yang menginspirasi gerakan serupa di negeri lainnya.

Marcos Senior terusir dari negerinya dan kemudian meninggal dalam pengasingan di Hawai.

Di Indonesia, Suharto yang juga merupakan sahabat dan rekan seangkatan Ferdinand Marcos kemudian juga jatuh karena gelombang besar ‘people power’, namun nasib Suharto lebih baik karena dia dan keluarganya tidak terusir dari Indonesia.

BACA JUGA : Nikola Tesla Ironi Seorang Penemu

Salah satu amanat dari reformasi adalah membersihkan dugaan praktik korupsi oleh Suharto, keluarga dan kroninya. Karir politik klan Suharto dan kroninya terancam. Namun ternyata tidak terbukti. Kalaupun ada anak Suharto yang sempat dihukum, kasusnya bukanlah korupsi. Tommy Suharto dihukum karena tersangkut kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita yang mengadili dalam kasus tukar guling Goro.

Paska reformasi karir politik keluarga Cendana memang meredup, tapi tak lenyap. Istirahat sejenak, Mbak Tutut yang digadang-gadang meneruskan Suharto bahkan sempat menjadi menteri pada periode terakhir pemerintahan bapaknya, di tahun 2004 kembali dalam kontestasi politik lewat Partai Karya Peduli Bangsa. Namun PKPB tidak memperoleh suara yang signifikan.

Tommy Suharto selepas dari penjara kemudian pernah ikut maju sebagai calon ketua Umum Golkar, namun tak ada yang meminati.

Pamor keluarga Suharto naik ketika Titik Suharto terpilih menjadi anggota DPR lewat Partai Goldar dari Dapil Yogyakarta. Titik bahkan sempat menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua MPR mengantikan Mahyudin.

Bongbong Marcos sejak muda juga sudah didorong untuk terjun dalam dunia politik. Dia menjadi Gubernur Provinsi Ilocos Norte di usia 20 tahun.  Ketika bapaknya digulingkan, dia kabur ke Amerika Serikat dan pada tahun 1991 kembali ke Philipina setelah kematian bapaknya.

Dia kembali berpolitik dan berhasil menjadi gubernur kembali lalu ikut bersaing untuk pemilihan senat, awalnya kalah dan ikut kembali lalu menang di tahun 2010. Bongbong pernah disoal perihal gelar dimana dia sering mencantumkan sebagai lulusan Oxford. Tapi hal itu dibantah oleh pihak Oxford yang menyatakan Bongbong tak menyelesaikan studinya.

2016 Bongbong ikut pertarungan untuk memperebutkan kursi wakil presiden dan kalah.

Jika kemenangan Bongbong disahkan maka dia akan didampingi oleh wakil presiden Sara Duterte Carpio, putri dari Presiden Rodigrro  Duterte. Sara adalah walikota perempuan pertama di Davao. Menjabat selama lebih dari dua dekade.

Pasangan presiden dan wakil presiden yang sama-sama anak bekas presiden ini nampaknya berhasil mengeruk keuntungan dengan melanjutkan popularitas orang tua mereka.

Tommy Suharto juga mencoba peruntungan yang sama. Setelah tak berhasil menguasai Golkar, kendaraan politik bapaknya, Tommy mendirikan Partai Berkarya. Nampaknya keluarga Suharto tidak bisa lepas dari kata ‘Karya’.

Tapi Tommy tak seberuntung Bongbong yang sukses dengan comeback-nya. Yang sukses dari lingkungan keluarga Suharto justru mantan menantunya yakni Prabowo Subianto. Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra menjadi partai besar. Prabowo masuk dalam jajaran politisi elit, dua kali menjadi calon pemenang pemilu presiden.

Kini Prabowo masih menempati posisi sebagai calon pemenang dalam pemilu presiden 2024 mendatang.

Akankah sukses Bongbong yang mengeser persepsi politik publik dari anggota keluarga diktator yang dihinakan kemudian berhasil menjadi pemimpin kembali akan memicu semangat Tommy yang kendur karena Partai Berkarya tidak sukses dalam pemilu yang lalu.

Satu hal yang pasti, Tommy masih lebih muda dari Bongbong, mungkin 5 tahun lebih.

BACA JUGA : Ba’do Ketupat Jawa Tondano

Bagaimana mungkin keluarga dan kroni dari seorang diktator yang digulingkan oleh kekuatan rakyat dengan cepat bisa kembali ke panggung politik, bahkan dengan dukungan yang besar dari rakyatnya?.

Hal ini berhubungan erat dengan penyakit yang disebut amnesia publik atau ingatan pendek masyarakat pada sejarah politik. Selain itu comeback yang sukses juga dimungkinkan akibat sistem politik yang bobrok.

Soal amnesia publik, April yang lalu Kaharuddin, Ketua Umum BEM SI mengatakan masyarakat dapat memperoleh kebebasan dan kesejahteraan di jaman Orde Baru. Ucapan itu bukan slip lidah atau kepleset.

Sebagai sosok elit di kalangan pemuda mahasiswa jelas ucapan itu menunjukkan amnesia publik tentang masa pemerintahan Orde Baru. Dosa orde baru bukan hanya dimaafkan tapi tidak dikenali lagi oleh pemilih potensial di pemilu-pemilu mendatang.

Karena amnesia publik ini maka keluarga Suharto dan juga kroni-kroninya tetap bisa bercokol dalam kancah politik di Indonesia. Dan sistem politik kita memungkinkan hal itu tetap terjadi karena sistem kepartaian paska reformasi cenderung sama dengan Philipina.

Para peneliti dan pengamat politik bahkan menyebut sedang ada Philipinasisasi di Indonesia yang mewujud dalam bentuk :

Konsentrasi partai {baik baru maupun lama} hanya pada kontestasi calon presiden. Partai dimobilisasi untuk menjadi kursi capres dan dipersonalisasi pada capres tertentu. Ambil contoh saja PKB dan PSI sejak dini sudah mulai mengkampanyekan Ketua Umumnya sebagai calon presiden. Walau mungkin sekarang sudah dikoreksi.

Demikian juga dengan kepemimpinan partai yang bertumpu pada tokoh tertentu. Partai sebagai kendaraan demokrasi bahkan mempraktekkan yang sebaliknya. Tidak ada demokrasi dalam partai, semua tergantung ketua umum. Maka selalu muncul gejolak internal. Ambil contoh saja kisruh di PDIP terkait dengan Ganjar dan Puan.

Maraknya politik uang dan koalisi-koalisi pragmatis {transaksional}. Persekutuan karena uang ini membuat partai rawan menjadi kendaraan politik tidak kelihatan dari kaum oligark.

Tugas pokok partai politik sebagai alat pendidikan politik justru tidak jalan. Partai miskin program, hanya rajin pencitraan, bagi-bagi ini dan itu, bergerak cepat kalau ada bencana namun tak mampu memainkan peran sebagai penyalur aspirasi rakyat. Dana aspirasi saja yang kuat disalurkan.

Pada akhirnya konstituensi menjadi lemah. Ikatan antara partai dan masyarakat tidak menguat. Masyarakat terpaku pada sosok-sosok tertentu sehingga para politisi dengan mudah berpindah dari satu partai ke partai lainnya untuk mengejar peluang. Atau kalau perlu {dan punya duit} mendirikan partai sendiri

Itulah realita politik di Indonesia yang mirip-mirip dengan keadaan yang terlebih dahulu berkembang di Philipina. Jadi tak perlu heran jika nanti Indonesia kembali dipimpin oleh entah keluarga atau kroni Suharto, presiden yang dilengserkan oleh kekuatan rakyat.

Bukankan bagi sebagian besar masyarakat reformasi kini telah basi dan malah menjadi refotnasi. Dalam kondisi seperti ini para calon pemimpin yang dididik dan dibesarkan oleh orde baru pasti paham bagaimana cara memikat pilihan rakyat, yakni lewat janji segala sesuatu serba murah atau gratis kalau perlu.

Janji orde baru pasti lebih menarik, karena di orde reformasi bukan hanya bahan bakar minyak yang mahal, minyak goreng juga membuat kelimpungan.

Maka tak salah jika ada pasukan rindu pada orde baru, orde serba murah, BBM murah, minyak goreng murah meriah. Para perindu orde baru ini akan bersyukur lagi jika calon presidennya berjanji untuk membuat harga skincare juga makin terjangkau untuk rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

note : sumber gambar international.sindonews.com