KESAH.ID – Dari cerita kabarnya pulau-pulau di Delta Mahakam dulu dibuka untuk bertanam kelapa. Wilayah ini menjadi penghasil kopra. Namun air kemudian meninggi, ladang tergenang hingga kemudian ada yang mulai beralih menjadikan ladangnya sebagai empang. Sukses besar, dan kemudian diikuti oleh yang lainnya. Sebagian pulau-pulau kecil kemudian terlihat hijau di pinggiran namun didalamnya lapang karena satu orang bisa memiliki puluhan hektar empang. Dan kini yang airnya meninggi adalah kawasan permukiman. Banyak rumah mulai terendam jika air naik. Masalah lainnya adalah abrasi. Ada permukiman yang mundur makin ke dalam anak sungai. Muaranya terus bergeser ke dalam.
Kampung pertama yang disinggahi dalam kunjungan ke Delta Mahakam kali ini adalah Dusun Sungai Banjar, Desa Sepatin. Penduduknya bermukim di kanan kiri aliran sungai, permukiman di kanan kiri sungai dihubungkan dengan jembatan. Sementara antar rumah dihubungkan dengan gang berupa jembatan panjang dari kayu ulin.
Permukiman yang memanjang di kiri kanan sungai itu mungkin terdiri dari sekitar 50 rumah. Sungai Banjar adalah bagian dari Dusun Bannati bersama dengan Mangkubur. Dusun ini terpisah dari permukiman yang ada di pusat pemerintahan Desa Sepatin.
Rumah berderet antara sungai dan hutan mangrove. Sehingga pemandangan bagian belakang rumah terasa hijau. Jika angin bertiup, meski udara terasa panas akan ada sapuan sejuk mengipasi badan.
Sambil menikmati es setrup yang disajikan oleh Pak RT untuk mengusir gerah karena hawa panas, duduk di beranda rumah menjadi pilihan yang paling masuk akal.
Dalam perbincangan muncul keluhan kalau harga udang tak naik-naik mulai dari jaman Covid, padahal ongkos atau biaya untuk membudidaya stabil naiknya.
Untung saja warga ditolong oleh harga kepiting yang masih membaik, terutama ketika peringatan imlek yang baru berlalu. Harga kepiting bisa untuk membeli mobil ujar mereka sambil tertawa. Tentu saja kalau membeli mobil tak mungkin dibawa ke Sungai Banjar. Warga Delta Mahakam yang membeli mobil akan ditaruh di Anggana, atau bahkan di Samarinda. Entah di rumah sendiri atau rumah sewaan.
Kepiting Delta Mahakam memang kepiting super. Kepiting yang kalau dijual di resto sea food, harganya bikin saldo e-wallet kering kerontang.
Soal hasil laut yang bikin kantong tebal sudah lama saya dengar. Delta Mahakam melahirkan banyak saudagar, bos atau sosok yang lazim disebut Ponggawa. Orang-orang kaya yang berasal dari latar belakang orang biasa sehingga penampilannya jarang terlihat seperti sultan-sultan yang sering flexing di media sosial.
Kawasan permukiman ini disebut Sungai Banjar, karena yang pertama mendiami adalah orang-orang Banjar. Orang Banjar memang dikenal sebagai perantau dan peniaga. Hingga menyebar ke seluruh Kalimantan, bahkan hingga ke Jawa, Malaysia dan Singapura.
Tapi sepertinya Sungai Banjar sekarang ini lebih banyak didiami oleh warga keturunan Sulawesi Selatan.
Setelah bercerita sana-sini, ada keluhan tentang permukiman yang semakin masuk ke dalam. Muara mengalami abrasi. Menurut warga, pemukiman sudah bergeser hampir satu kilo. Dulu ujung permukiman adalah tanjung, sekarang sudah hilang.
Warga memang tidak mencatat secara detail, namun permukiman yang terkikis kemungkinan terjadi dalam 50 tahun terakhir ini.
Salah satu catatan yang istimewa di Sungai Banjar ini adalah bisa mengisi baterei HP disiang hari. Ternyata listrik disini sudah 24 jam karena mempunyai Pembangkit Listrik Tenaga Surya Komunal yang beroperasi sejak tahun 2016.
PLTS ini bisa melayani kebutuhan kurang lebih 40 rumah dan fasilitas umum di Sungai Banjar. Sayang tak sempat menikmati malam di Sungai Banjar yang gang utamanya diterangi oleh lampu penerangan bertenaga surya.
“Disini kalau malam terang, ada lampu Penerangan Jalan Umum. Tidak seperti di Sepatin sana, lampu jalanannya hilang dengan tiang-tiangnya,” ujar Pak RT.

BACA JUGA :
Setelah menikmati makan siang yang ditemani dengan lauk udang, ikan asin, kerupuk udang dan kepiting rebus, Sungai Banjar mesti ditinggalkan untuk pergi ke Dusun Bannati.
Berbeda dengan Sungai Banjar, di Bannati warganya bermukim dalam lokasi terpencar-pencar. Ada yang di pinggir anak sungai, ada pula yang tinggal di empang.
Dan kemudian hari pertama di Delta Mahakam ditutup dengan istirahat di Mangkubur. Sebuah permukiman yang berhubungan dengan kampung tua di Delta Mahakam yakni Pemangkaran.
Dinamakan Mangkubur karena ada banyak kubur-kubur tua yang ditemukan disana.
Malam di Mangkubur terasa nyaman karena di malam hari turun hujan yang bertahan hingga pagi menjelang. Tidurpun terasa nyemak tanpa gangguan nyamuk dan rasa gerah.
Menikmati pagi di teras mushala sambil menyeruput kopi hangat dan mengunyah ubi goreng sungguh menyenangkan. Perahu mulai lalu lalang dan sesekali ada speed boat lewat. Speed boat selalu berjalan pelan setiap kali melewati sungai yang pinggirannya ada permukiman.
“Speed harus pelan kalau lewat sini. Karena kalau kencang ombaknya bisa merontokkan pematang empang,” ujar ibu yang mewarisi empang dari suaminya dan kini diurus oleh kedua anaknya itu.
Pematang empang atau tambak memang rawan runtuh karena pematang yang berfungsi sebagai tanggul tambak itu merupakan tanah urukan.
Terus menerus terkena hempasan gelombang, pematang empang lama-lama bisa rontok, terlebih jika pematang itu langsung berhadapan dengan sungai tanpa pelindung hijau atau green belt berupa pohon mangrove dan nipah-nipah.
Pematang yang runtuh atau jebol adalah petaka untuk petambak, karena memperbaikinya bisa menghabiskan banyak dana.
Usaha empang atau tambak, walau menghasilkan cerita manis, tetap saja padat modal terutama saat membuka dan memperbaikinya. Dulu dikerjakan dengan padat karya, memakai tenaga manusia, namun kini telah digantikan oleh eksa. Sekali garuk, ongkosnya 50 hingga 70 ribu rupiah.
Alat berat yang umumnya dipunyai oleh Ponggawa atau Boss ini dalam sebulan saja bisa meraih omzet ratusan juta.
Bukan hanya pukulan ombak atau gelombang yang mengancam empang tetapi juga permukaan air yang makin naik dari hari ke hari. Entah ada hubungannya dengan pemanasan global atau tidak, sebab gunung-gunung es di kutub utara mulai mencair dan menyebabkan volume air laut bertambah.
Tapi yang pasti adalah sungai-sungai makin mendangkal, sehingga permukaan airnya makin meninggi saat pasang atau saat banjir.
Maka pematang empang dari tahun ke tahun harus ditinggikan agar tidak kemasukan air yang tak bisa dikendalikan lewat pintu air.
Anak-anak sungai yang mendangkal terasa benar pada musim tertentu. Muara sungai menjadi sulit dilewati saat air begitu surut. Ada banyak lumpur mengendap di sekitar muara, membuat munculnya gusung-gusung.

BACA JUGA :
Tiba waktunya meninggalkan Mangkubur, menuju Sepatin ‘kota’, begitu sebutan mereka untuk wilayah permukiman yang menjadi pusat pemerintahan desa itu.
Permukiman di Sepatin sama seperti permukiman tepian sungai lainnya. Namun lebih padat dengan rumah berlapis sehingga gang-gang permukimannya tidak hanya memanjang mengikuti alur aliran sungai.
Permukiman paling dalam mungkin ada yang berjarak 50 meter lebih dari tepian sungai.
Selalu menyenangkan melewati gang yang disampingnya ada rumah menghadap sungai. Biasanya di depan rumah ada dek atau beranda, tempat warga bercengkrama. Namun ada yang menarik, dek biasanya yang sama tinggi dengan pintu depan, di beberapa rumah posisinya lebih tinggi.
Ternyata dek ditinggikan karena jika pasang dan banjir akan terendam.
Rupanya permukiman di tepi sungai yang ada di wilayah Delta Mahakam mengalami masalah yang sama dengan permukiman di tepi sungai yang ada di wilayah Mahakam Tengah. Air mulai menyusul ketinggian tiang-tiang penyangga rumah.
Di Mahakam Tengah, kemudian muncul ahli-ahli dongkrak rumah. Orang-orang yang punya ketrampilan meninggikan rumah yang lantainya mulai disentuh oleh genangan air saat banjir.
Belum terdengar kosa kata ‘dongkrak rumah’ di Delta Mahakam, tapi dalam tahun-tahun kedepan mungkin frasa ini akan populer disana.
Air yang terus meninggi ini sepertinya sudah menjadi kekhawatiran bersama.
Dalam perbincangan dengan ibu-ibu di Muara Pantuan, saat ditanya apa aspirasi atau keinginan di masa depan, ada ibu-ibu yang menjawab “Ingin membuat rumah di kota jika punya uang,”
Dulu Delta Mahakam adalah magnet, kini daya tariknya memudar terutama untuk tinggal. Kota lebih menarik dengan semua aksesnya.
Saat ditanya lanjut kenapa ingin tinggal di kota mereka menjawab dengan kekhawatiran soal permukiman yang akan tenggelam di masa depan.
Dan faktanya memang banyak warga Delta Mahakam yang membangun rumah atau bahkan tinggal di kota. Lihat saja rumah-rumah bagus di Sungai Mariam atau di Kecamatan Anggana wilayah darat, sebagian rumah disana dimiliki oleh warga Delta Mahakam.
Haji Sawiyah, super bos di Muara Pantuan lewat group Sinar Jaya, mengatakan cucunya tinggal di Samarinda. Bisa dipastikan mereka tinggal di rumah sendiri.
Saat bertemu tanpa direncanakan dengan seorang teman dari Samarinda yang tengah makan siang di rumah Haji Sawiyah. Muncul cerita tentang reinvestasi. Beberapa bos besar empang tak lagi berekpansi pada usaha udang atau empang. Mereka mereinvestasi pendapatan dari usaha empang atau udang ke usaha lainnya seperti kebun sawit di tempat lain.
Sepertinya bukan hanya warga biasa yang mulai khawatir dengan masa depan mereka di Delta Mahakam, melainkan juga para usahawan dan pengembang ekonomi lokal disana. Gejala-gejala surut mulai terasa, bukan karena komoditasnya sudah lewat melainkan karena perubahan alam yang sulit untuk dikendalikan dan dipulihkan.
Kisah itu mengingatkan perubahan lima puluhan tahun lalu. Wilayah yang dikenal sebagai penghasil udang ini dulunya adalah kebun kelapa. Kebun yang kemudian sering terendam sehingga dirubah menjadi empang.
Kisah itu mungkin akan berulang dengan cerita yang berbeda.
sumber foto : Yustinus Sapto Hardjanto