KESAH.ID – Setiap kontestasi politik selalu menghasilkan kekhawatiran akan hal-hal negatif yang bisa menganggu kehidupan bersama bahkan masa depan bangsa dan negara. Ada banyak isu yang menyebabkan sebelum, pada saat dan sesudah pemilu situasi dalam masyarakat menjadi memanas. Banyaknya aktor yang terlibat dengan kepentingannya masing-masing memang rawan memicu konflik. Namun yang paling mengkhawatirkan adalah keterlibatan aktor-aktor yang mempunyai kekuasaan dan menggunakan kekuatan untuk ‘memaksakan’ kehendaknya.
Pemilu horor, saya baru mendengar ungkapan itu kemarin saat mendengar cerita dari mantan penyelenggara dan aktivis kepemiluan dari Jakarta yang sedang mampir di Samarinda.
Yang sedang mereka ceritakan adalah pengalaman Pilkada DKI saat dalam putaran kedua, Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama berhadapan dengan Anies Baswedan.
Ahok yang posisinya kuat, kemudian dikalahkan oleh Anies dengan senjata isu yang sensitif.
Ancaman terhadap pemilih dengan isu indentitas memang menakutkan. Hingga kemudian para pemilih urung menjatuhkan pilihan pada Ahok karena tak ingin ada masalah dalam kehidupan mereka setelah Pilkada.
Salah satu ancaman yang disampaikan lewat ceramah maupun bentangan spanduk adalah “Orang muslim yang mendukung Ahok tidak akan di-sholati kalau meninggal”
Tentu saja banyak warga muslim yang mendukung Ahok dan secara publik mereka disebut sebagai orang munafik. Namun setelah pilkada dan Ahok kalah ternyata ancaman itu nihil. Politik identitas hanya menjadi perkakas, alat untuk mengertak dan setelah itu disimpan kembali untuk digunakan dengan cara lain dalam kontestasi berikutnya.
Dalam kontestasi politik, SARA memang kerap disimpan sebagai senjata terakhir untuk memburu kemenangan. Hal itu kerap membuat politik menjadi kotor.
Dan horor akan hadir begitu SARA digunakan untuk meraih kemenangan dalam kontestasi politik. Masyarakat pada umumnya yang tak terlalu melek dengan politik dan tak ingin ribet akan memutuskan untuk memilih calon yang dianggap tidak akan membawa masalah yang berhubungan dengan SARA agar kehidupan tak bergejolak.
Kemenangan Anies dalam Pilkada DKI dengan model kampanye politik yang mungkin saja tidak dirancang oleh Anies Baswedan sendiri membuat kelompok tertentu mulai punya imajinasi untuk merebut kekuasaan tertinggi.
Pemilu presiden 2019 diskenario seperti Pilkada DKI putaran kedua. Maka sedari awal pemilu 2019 yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon sudah dimulai dengan horor, masyarakat yang terbelah menjadi kelompok cebong dan kampret.
Jagat informasi hanya diwarnai oleh perseteruan, saling cemooh, saling hina dan juga saling fitnah serta drama-drama lain yang dihadirkan oleh dua kelompok ini. Masyarakat di luar dua kelompok ini menjadi khawatir, was-was akan terjadi sesuatu.
Dan tensi memanas, tenggara kearah kerusuhan di Ibu Kota mulai terasa. Usai pemunggutan suara, kedua calon mengklaim kemenangan. Dan mulai ada ancaman untuk menduduki institusi penyelenggara yang dituduh sebagai curang apabila pasangan tertentu kalah.
Jakarta membara di tanggal 21-22 Mei 2019, ada sejumlah bentrokan terjadi di sekitar Sarinah, Tanah Abang dan Sabang. Lebih dari 400 orang ditangkap oleh polisi
Kerusuhan ini bermula dari pengerahan massa oleh kelompok tertentu untuk aksi damai menggugat pemilu yang ditenggarai diwarnai dengan kecurangan. Yang diopinikan sebagai bentuk kecurangan adalah pengerahan ASN untuk mendukung paslon tertentu, ketidaknetralan aparat, pengerahan dukungan dari kepala daerah dan kepala desa serta lain-lainnya sehingga disimpulkan kecurangan bersifat masiv, terstruktur dan sistematis.
Isu ini terus digoreng untuk memprovokasi publik sehingga aksi damai kemudian berujung menjadi kerusuhan.
Beruntung ‘skenario martir’ dengan mengorbankan orang-orang kecil tak berhasil memancing kemarahan masyarakat yang bisa diarahkan untuk merusak dan menjarah Ibu Kota.
Dan aparat segera menetapkan keadaan darurat di Ibu Kota Jakarta sehingga gejolak rivalitas pemilu tidak berkelanjutan dan membumihanguskan Jakarta.
BACA JUGA : Mereka Yang Pingin Banget Jadi Presiden
Menjelang pemilu 2024 ini rivalitas ala Pilkada DKI atau Pemilu 2024 bisa diredam. Jauh-jauh hari berbagai pihak sudah mengingatkan soal ‘politisasi’ identitas.
Semakin mendekati saat pencoblosan tiba hal yang mengkhawatirkan bukan soal potensi masyarakat yang terbelah, atau konflik di dalam masyarakat karena pilihannya.
Yang mengkhawatirkan dari Pemilu 2024 justru hal yang lebih dalam, pemilu 2024 berpotensi merusak demokrasi itu sendiri, mengerogoti demokrasi dari dalam karena abai pada moralitas dan etika dalam berpolitik.
Pemilu sesungguhnya merupakan persaingan terbuka, tidak boleh diatur-atur atau diskenario oleh pihak atau kelompok tertentu walau ada niat baik dibelakangnya.
Joko Widodo yang selama kontestasi setelah meninggalkan Solo, bisa jadi punya catatan atau memori yang mengkhawatirkan dirinya perihal pemilu. Maka dia ingin pemilu yang akan menghasilkan penerus dirinya berlangsung dengan damai, kalau bisa cepat satu putaran saja.
Karena niatan itu, sebagai presiden Joko Widodo kemudian aktif turut campur atas pemilu 2024. Sepertinya Joko Widodo punya skenario memasangkan tokoh tertentu yang dipandangnya bisa memenangkan kontestasi dengan cepat.
Joko Widodo cukup percaya diri karena masa kepresidenannya yang kedua berhasil mengkonsolidasi sebagian besar partai yang ada di parlemen. Dengan modus bagi-bagi kursi menteri dan kursi jabatan-jabatan elit lainnya, Joko Widodo punya massa walau dirinya bukanlah elit partai.
Sayangnya skenario itu tidak berhasil mulus meski sebagian besar ketua partai di parlemen secara terus terang mengaku sebagai ‘Orangnya Jokowi’, namun suara itu tidak bulat.
Nasdem ternyata membelot dan jauh-jauh hari berani menyatakan telah punya pilihan capres sendiri.
Dan PDI Perjuangan, partai yang membesarkan Joko Widodo nampaknya juga tak sepaham dengan rencananya. PDIP tetap ingin punya calon presiden sendiri dan sosok dari PDIP yang paling digadang-gadang sebagai cawapres juga tak mau mengkhianati partainya.
Muncul skenario baru. Capres dari PDIP yang dalam opini publik dianggap sebagai penerus Joko Widodo mesti didegradasi. Joko Widodo mesti menunjukkan dirinya ‘tidak merestui’ calon dari PDIP. Meski tidak demonstratif menunjuk siapa penerusnya, namun Joko Widodo membiarkan Prabowo Subianto membawa-mbawa namanya.
Kelakuan Prabowo membuat gerah Cak Imin yang berharap menjadi cawapres. Merasa tak ada harapan, Cak Imin tanpa pikir panjang langsung menyambar tawaran Nasdem untuk menjadi cawapres dari Anies Baswedan.
Koalisi All The President Man sempat goyah, namun masuknya Cak Imin membuat Demokrat hengkang dari koalisi dengan Nasdem dan PKS. Koalisi partai tidak berubah, yang merapat ke Prabowo tetap yang paling banyak.
Jokowi pun tidak malu-malu lagi berpihak pada Prabowo. Terlebih ketika anaknya yang Walikota Solo kemudian direstui oleh MK untuk menjadi cawapres. Setelah putusan MK keluar, Golkar memberi jalan bagi Gibran untuk menjadi cawapres yang diusulkan oleh Golkar. Dan Gibranpun menjadi cawapresnya Prabowo.
Cawe-cawe Joko Widodo untuk memenangkan Prabowo-Gibran makin kentara ketika lagi-lagi anaknya yakni Kaesang Pangarep diangkat menjadi Ketua PSI. PSI adalah partai yang tak malu-malu mendaku sebagai partainya Jokowi.
Inilah drama yang disebut oleh para petinggi PSI, drama yang bukan sekedar menunjukkan pengkhianatan Joko Widodo pada PDIP dan Megawati tetapi juga pada demokrasi.
Sebagai presiden Joko Widodo mencoreng demokrasi lewat skandal yang secara hukum memang tak melanggar ketentuan apapun, namun secara etik dan moral cacat. Jalan Gibran menjadi cawapres memang mulus demikian juga ketika Kaesang menjadi ketua PSI, namun jalan itu jalan kotor.
BACA JUGA : Take Away Masih Kuat, Pesan Antar Melemah
Demokrasi akan selalu menemukan jalannya kembali walau berliku-liku.
Amerika Serikat, negara yang dikenal sebagai kampiun demokrasi bahkan juga pernah tertipu lewat pemilu. Donald Trump yang hampir tak mempunyai apapun yang pantas untuk memimpin Amerika Serikat berhasil menjadi presiden. Yang dikalahkan bukan orang main-main, Hilary Clinton.
Selain karena tipu daya dan cara-cara kotor, bahkan di negara yang terkenal karena demokrasinya sejak ratusan lalu mungkin belum siap dipimpin oleh seorang wanita. Padahal sebelumnya Amerika Serikat dipuji karena menerima Presiden yang berlatar peranakan kulit hitam.
Demokrasi di Indonesia belum lama, belum setengah abad. Demokrasi belum mampu mengikis aristrokrasi. Isu dinasti masih menjadi persoalan kuat dalam kontestasi politik di Indonesia.
Dinasti politik sendiri tumbuh seiring dengan iklim demokrasi di Indonesia paska reformasi. Tumbuh dari daerah-daerah lewat isu otonomi atau desentralisasi. Di tingkat daerah, adalah biasa seorang pemimpin yang habis masa jabatannya digantikan oleh anak atau pasangannya. Ada juga pasangan yang mengepalai eksekutif dan legislatif.
Namun pada pemilu 2024 ini, isu dinasti justru meracuni kontestasi di tingkat nasional. Anak presiden yang masih aktif, ikut dalam kontestasi untuk menggantikan bapaknya. Dan jalan yang dipakai adalah jalan kotor, karena lembaga yang berwenang untuk ‘merubah’ UU dipimpin oleh keluarga sendiri.
Presiden bukanlah raja, walau dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI yang terakhir Joko Widodo mengenakan pakaian seorang raja.
Jangan-jangan itu pertanda atau spill, kalau Presiden hendak mengatakan dirinya adalah seorang raja. Maka sah ketika lengser digantikan oleh anaknya.
Dan ingat apa yang dikatakan oleh raja adalah titah. Titah yang tidak bisa dibantah oleh para punggawa-punggawanya.
Presiden yang mengibaratkan dirinya adalah raja pasti ingin semua instrumen negara dan pemerintahan tunduk pada titahnya.
Dan dalam pemilu presiden 2024 titah sang raja adalah menang satu putaran.
Ini yang mengkhawatirkan, karena dari sudut manapun sulit untuk memenangkan pemilu presiden 2024 satu putaran. Walau survey menunjukkan peringkat yang berbeda, namun sebenarnya bedanya tipis-tipis saja.
Namun karena titah raja yang tidak mungkin dari sisi akal sehat bisa saja tetap terwujud. Bahwa kemudian dipenuhi dengan kecurangan, selama penegak hukum tidak menyatakan sebagai putusan maka curang bukanlah keculasan.
Toh dalam politik kita membiasakan diri dengan adagium “Tidak ada kekalahan yang terhormat, yang ada hanya kemenangan walau penuh kecurangan”.
Itulah hal yang paling menghkawatirkan pada pemilu 2024 ini.
Dan yang paling mengkhawatirkan adalah kita tak menganggap hal itu sebagai yang perlu dikhawatirkan alias wajar-wajar saja.