KESAH.ID – Beredar kabar mulai 1 Juli 2022, pembeli BBM bersubsidi harus memakai aplikasi mypertamina. Aplikasi ini merupakan layanan keuangan digital Pertamina yang terhubung dengan aplikasi LinkAja. Dengan aplikasi ini pembelian bahan bakar di SPBU Pertamina dilakukan secara non tunai.
Semalam lewat rekomandasi berita dari Google, saya membaca berita dari berbagai media ternama nasional tentang tata cara pembelian BBM bersubsidi melalui aplikasi MyPertamina.
Judulnya macam-macam, namun pada intinya semua pembeli BBM bersubsidi harus menggunakan aplikasi MyPertamina, pembelian tidak lagi tunai atau cashless. Pendaftaran untuk para pengguna BBM bersubsidi akan dilakukan mulai tanggal 1 Juli 2022 melalui link yang ada di mypertamina.id.
Sebagai pemakai BBM bersubsidi, saya kemudian membuka website mypertamina, dan di halaman pertama ada banner ads bertuliskan “Pembelian Solar Subsidi dan Pertalite Roda 4 Wajib Terdaftar Di …”
Solar Subsidi dan Pertalite Roda 4 ditulis dengan warna merah.
Artinya yang harus mendaftarkan diri dan harus membeli dengan aplikasi mypertamina adalah solar bersubsidi dan pertalite untuk roda 4.
Namun dalam berita di berbagai media dituliskan semua pembeli solar bersubsidi dan pertalite wajib mendaftarkan diri untuk kemudian bisa membelinya melalui aplikasi mypertamina.
Dan ternyata pula, pendaftaran yang dimulai pada 1 Juli 2022 nanti adalah ujicoba implementasi tahap pertama. Uji coba itu hanya akan diberlakukan di kabupaten dan kota sebagai berikut : Kota Bukit Tinggi, Kab. Agam, Kab. Padang Panjang, Kab. Tanah Datar, Kota Banjarmasin, Kota Bandung, Kota Tasik Malaya, Kab. Ciamis, Kota Manado, Kota Yogyakarta dan Kota Sukabumi.
Lepas dari BBM bersubsidi, aplikasi mypertamina sendiri merupakan layanan pembayaran non tunai untuk pembelian BBM di SPBU Pertamina, mulai dari bahan bakar untuk kendaraan atau mesin dan Elpiji.
Setiap pembelian dengan aplikasi mypertamina akan diberi poin dan poin yang dikumpulkan bisa dipakai untuk melakukan pembelian BBM dalam tahun berjalan.
Dengan demikian tujuan dari aplikasi mypertamina adalah mensukseskan langkah untuk membentuk masyarakat non tunai, sebagai bagian dari road map menuju rupiah digital.
Hanya saja khusus untuk pengaturan BBM bersubsidi, aplikasi ini kemudian dipakai untuk menvalidasi atau memverifikasi siapa-siapa yang berhak untuk membeli BBM bersubsidi. Tujuannya adalah agar BBM bersubsidi tepat sasaran.
Tujuan lain adalah agar BBM bersubsidi tidak diselewengkan baik oleh pembeli maupun petugas SPBU.
Bagaimana bisa?.
Tentu saja berdasarkan data yang nanti dikumpulkan berdasarkan transaksi lewat mypertamina, para analis yang dibantu dengan mesin pengolah data akan melakukan kajian sehingga akan diperoleh informasi yang valid soal perilaku pemanfaatan BBM bersubsidi.
BACA JUGA : Teh Terenak Nomor 2 Se Indonesia
Indonesia pernah mengalami masa jaya karena minyak bumi yang berlimpah. Anak-anak sekolah di jaman pemerintahan Suharto pasti ingat persis dengan OPEC, organisasi negara-negara pengekspor minyak.
Subroto yang gemar memakai dasi kupu-kupu hampir identik dengan OPEC, sehari-hari wajahnya kerap muncul layar kaca apabila ada berita yang berhubungan dengan minyak.
Sebagai negara produsen atau ekportir minyak berkali-kali Indonesia menikmati oil boom, lonjakan harga membuat untungnya seperti puting beliung. Dengan keuntungan itu Pemerintah Orde Baru bisa menghambur aneka subsidi dan bantuan, membangun berbagai sarana dan prasarana terutama pendidikan, kesehatan dan pertanian.
Masyarakat juga menikmati harga BBM yang murah, terutama yang paling banyak dipakai adalah minyak tanah.
Perlahan-lahan produksi minyak menurun hingga pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi. Indonesia mulai mengimport minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di tahun 2008 dengan sukarela Indonesia keluar dari OPEC. Sadar diri walau masih mengekport minyak namun importnya jauh lebih besar.
Berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintahan setelah orde baru untuk mencegah negara dari kebangkrutan karena harus menanggung subsidi yang besar untuk BBM. Salah satunya dengan mematikan minyak tanah dan kemudian mengkonversi menjadi Elpiji. Subsidi minyak tanah diganti dengan subsidi Elpiji 3 Kg, tabung melon, subsidi yang juga terus dikoreksi.
Premium atau lebih dikenal dengan bensin juga dihapuskan diganti dengan pertamax dan pertalite, bahan bakar yang dianggap lebih ramah lingkungan, tidak seperti bensin yang mengandung banyak timbal sehingga emisinya lebih tinggi.
Alasan untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup, menurunkan emisi menjadi latar belakang untuk melakukan konversi. Hanya saja solar tetap dipertahankan dan disubsidi, walau solar adalah salah satu BBM yang paling kotor.
Dan solar inilah yang kemudian kerap bermasalah, dimana-mana selalu terjadi antrian pembelian. Di berbagai SPBU dengan mudah disaksikan antrian panjang kendaraan yang menunggu SPBU buka atau menunggu tangki pengangkut solar datang mengisi stok di SPBU yang cepat habis.
Sedangkan pertalite, penganti bensin harganya menurut pemerintah sering dipertahankan agar tidak naik mengikuti harga pasar. Untuk itu pemerintah juga mengeluarkan subsidi. Dalam regim subsidi akan diberlakukan kuota, atau batas sejauh mana bisa ditanggung oleh negara. oleh karenanya BBM yang disubsidi kerap menjadi langka karena pasokan dibatasi berdasarkan kuota.
Di Kalimantan Timur, BBM terutama solar sudah jamak menjadi masalah. Antrian panjang kendaraan untuk membeli solar bukan hanya menganggu pemakai jalan tapi juga membuat gerah pengusaha warung, toko dan lainnya yang jalanan depannya ditutupi oleh antrian kendaraan, antrian yang tidak putus-putus, hampir permanen setiap harinya.
Nampaknya solar bersubsidi dibeli dan kemudian dinikmati oleh perusahaan tambang dan perkebunan sawit yang tak sudi membeli solar industri karena harganya jauh lebih mahal. Maka solar bersubsidi menjadi pilihan agar biaya BBM bisa ditekan atau mungkin dikorupsi.
Yang tukang makan atau minum minyak memang banyak sebab uang minyak memang licin. Dan para pemainnya juga licin seperti Belut yang mandi oli. Sulit untuk ditangkap selalu lolos lewat kongkalikong dan negosiasi.
Kombinasi antara Batubara, Sawit dan Solar menghasilkan lingkaran setan yang sulit untuk diatasi. Bikin puyeng lingkungan hidup dan penghuni negeri.
Akankah digitasi yang dilakukan oleh Pertamina melalui mypertamina mampu mengatasinya?
Entahlah, satu hal yang pasti di beberapa kota pada tanggal 1 Juli 2022 nanti mengaktifkan Smartphone di SPBU tak bakal dilagi.
BACA JUGA : Apa Bedanya, Ada dan Tiada Aturan?
Untuk seorang Presiden, mengumumkan kenaikan harga minyak selalu menjadi pengumuman yang tidak enak. Untung saja pada jaman Presiden Jokowi, kenaikan harga BBM tidak lagi diikuti oleh demo di seluruh negeri.
Di jaman presiden sebelumnya, pengumuman kenaikan harga minyak selalu menjadi ajang mahasiswa untuk mendidikan junior-juniornya menjadi demonstran. Momentum kenaikan harga BBM selalu menjadi isu yang gampang untuk mengkonsolidasi gerakan, demonya selalu diikuti banyak orang.
Kalau dilihat kencenderungannya, Presiden Jokowi awalnya cenderung meletakkan harga BBM dalam kendali pasar. Pemberlakuan subsidi dilakukan dengan amat terbatas, utamanya untuk solar yang dibedakan antara solar subsidi dan solar industri.
Hanya saja gejolak harga minyak paska pandemi, ditambah dengan perang antara Rusia dan Ukraina, membuat harga minyak tak terkendali. Bukan hanya minyak untuk bahan bakar melainkan juga minyak konsumsi juga melambung tinggi.
Dengan demikian semua harga BBM yang non subsidi mestinya juga terkoreksi. Pertamax sudah dinaikkan agar tidak terlalu njomplang dengan harga pasar. Mestinya pertalite juga.
Namun Presiden Jokowi memutuskan untuk menahan harga pertalite. Ditahan-tahan dengan subsidi lewat kemampuan APBN yang tak juga perkasa. Konon subsidi BBM jika dirupiahkan sudah melampaui biaya untuk menbangun IKN Nusantara.
Kapan harga minyak dunia akan turun atau kembali ke harga yang sebenarnya?.
Sulit dipastikan, sementara patokan yang disebut harga sebenarnya juga sulit untuk ditentukan. Sebab minyak bukan hanya diperdagangkan sebagai komoditas di pasar langsung melainkan juga di pasar komoditas layaknya saham.
Dalam perdagangan semacam ini sulit untuk menentukan siapa yang memegang kendali. Hukumnya tak lagi sesederhana lewat keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Ada banyak permainan lainnya, pemainnya juga banyak. Dari antara yang banyak itu sebagian besar diantaranya hanya beriman pada keuntungan.
Negara-negara yang tak takut inflasi akan membiarkan harga BBM-nya mengikuti harga pasar. Tapi negara-negara yang sensitif pada inflasi akan berupaya untuk menahan harga, tidak begitu saja mengikuti harga pasar. Menyerah pada pasar akan membuat inflasi meninggi.
Dan untuk pemimpin yang selalu membanggakan penurunan angka kemiskinan sebagai salah satu prestasi tertinggi, maka menahan harga minyak menjadi sebuah kemutlakkan walau akan menyebabkan anggaran negara defisit.
Bukan rahasia lagi kalau kenaikan harga BBM selalu akan diikuti dengan kenaikan angka kemiskinan. Efek dari naiknya harga BBM adalah naiknya semua harga atau jasa lainnya. Rakyat kebanyakan tidak akan kehilangan kemampuan belanja, dengan pendapatan yang tak naik sementara kebutuhan barang dan jasa sehari-hari naik, daya beli masyarakat akan menurun.
Presiden Jokowi pasti ingin mengakhiri masa jabatannya dengan manis. Tapi situasi ekonomi dunia nampaknya tak berpihak padanya. Penyebab utama masalah ekonomi juga sulit untuk diteroka dengan benar-benar jelas, ekonomopun kebingungan.
Tapi keputusan tetap harus diambil walau pahit. Rakyatpun meski menderita tentu akan tetap menaruh hormat pada pemimpinnya andai tetap peduli pada rakyat walau keuangan negara jadi berdarah-darah.
Orang Jawa ketika mengalami masalah sering bilang “Untungnya”. Ketika mengalami kecelakaan dan kendaraan ringsek, masih bisa bilang “Untung kita selamat, tidak terluka parah,”.
Maka dalam urusan BBM, meski harga minyak dunia meninggi, untungnya harga Batubara dan Sawit juga melambung tinggi.
Tapi mengkompensasi subsidi BBM dengan kenaikan pendapatan yang diperoleh dari Batubara dan Sawit, sama artinya dengan mengingkari slogan Perum Pegadaian. Mengenjot ekspor Batubara dan Sawit sama artinya dengan mengatasi masalah dengan malapetaka.
note : sumber gambar MYPERTAMINA.ID