KESAH.ID – Lazada menjadi situs pertama saya berkenalan dengan e-commerce. Saya tertarik berbelanja karena flash sale Xiomi yang memperkenalkan redmi 1s untuk pertama kali di Indonesia. Waktu itu Lazada sempat ‘tumbang’ karena tak siap menerima serbuan peminat smartphone yang digadang-gadang mampu menyaingi Samsung dan Iphone itu.
Internet memang sensasi. Sayapun harus mengakui sering terserang fear of missing out {FOMO} terhadapnya. Maka sejak semula mengenal internet di akhir tahun 1996, kegemaran saya adalah mendownload dan menginstall berbagai macam software, layanan dan aplikasi yang muncul menyertainya.
Ketika aplikasi transportasi online bermunculan saya juga mendaftarkan diri sebagai pemakaianya. Saat mereka mengembangkan layanan pembayaran digital, saya juga membuat dompet digitalnya, meski isinya kosong karena jarang top up.
Buat saya yang penting di gadget yang masih setia bersama Xiomi ada aplikasi yang kini sudah berkembang menjadi superapps itu. Jadi saya merasa nggak ketinggalan-ketinggalan amat. Kalaupun terpaksa mesti memakai jasa atau layanannya, saya membayarnya dengan uang tunai.
Jadi secara pengetahuan dan adaptasi saya tak ketinggalan, tapi urusan perilaku sudah jauh ketinggalan jaman.
Desakan untuk memasuki ekosistem cashless amat terasa ketika saya mesti ke Jakarta dan sekitarnya pada akhir tahun lalu. Tempat yang akan saya kunjungi, beberapa diantaranya telah menerapkan sistem pembayaran non tunai.
Maka saya harus memilih platform atau aplikasi apa yang akan saya gunakan.
Karena rekening bank yang masih aktif adalah Bank Mandiri maka saya memutuskan untuk memakai Livin. Sejak lama saya ingin memakainya, namun waktu itu untuk mengaktivasi mesti datang ke kantor bank. Saya malas.
Tapi kini sudah bisa mendownload dan mendaftar secara online, mestinya memang begitu karena nggak lucu layanan digital kok otorisasinya mesti tatap muka.
Dan begitu berhasil log-in, masuk ke akun Livin saya ternyata di dalam user interface-nya telah tersedia Quick Response Code Indonesian Standard {QRIS}.
Dalam hati saya merasa aman, nggak perlu ribet top up ke dompet digital semacam Go Pay, Ovo atau Shopee Pay. Lagi pula Livin juga bisa dipakai sebagai kartu debet.
Sayapun pergi ke Jakarta dengan percaya diri, selain karena status Peduli Lindunginya hijau, sudah divaksin dua kali, di tangan saya juga sudah ada senjata untuk memasuki ekosistem cashless.
Dengan bekal itu saya tak akan kesulitan masuk ke tempat keramaian dan tak akan kelihatan ‘ndeso’ ketika melakukan pembayaran di Jakarta, Ibukota yang kabarnya lebih kejam dari ibu tiri itu.
BACA JUGA : Kalau Pejabat Masuk Angin, Yang Ngeronda Jaga Warga Siapa?
Suatu kali saya diwawancarai oleh peneliti komunikasi dari sebuah institusi pendidikan tinggi di Jakarta. Di akhir wawancara saya diberi goodie bag yang diserahkan sambil berfoto. Di dalamnya berisi buku, soft case untuk notebook dan satu kartu e-money.
Sebelum digital wallet seperti ovo, gopay, link aja dan lain-lain dikenal, uang elektronik yang lebih dahulu ada disimpan dalam bentuk kartu. Yang mengeluarkan kartunya macam-macam, namun kesemuanya berhubungan dengan bank tertentu.
Kartu umumnya dijual di gerai-gerai minimarket atau swalayan, ada yang kosongan, namun ada pula yang sudah berisi uang dalam jumlah tertentu.
Saldo dalam kartu e money akan otomatis berkurang setelah transaksi. Dan bisa diisi kembali baik dengan cara transfer dari rekening bank atau top up di gerai-gerai tertentu.
Dalam bentuk kartu, membawa uang kemana-mana menjadi ringkas. Dan kartu uang elektronik tidak dilengkapi dengan PIN, sehingga nggak perlu menghafal, tinggal digesek atau ditempel di mesin pembaca dan transaksi terlaksana.
Dengan uang elektronik, pemakai juga tak khawatir ditangkap oleh polisi dengan tuduhan memakai atau turut mengedarkan uang palsu. Nggak perlu baper, seperti ketika berbelanja dengan uang fisik lalu kasirnya terlebih dahulu mengecek uang di mesin pemindai keaslian uang.
Hanya saja uang elektronik mempunyai beberapa kelemahan, waktu itu jumlah yang saldonya terbatas, terbanyak yang bisa disimpan kurang lebih 1 juta rupiah, entah kalau sekarang mungkin sudah bisa lebih.
Kelemahan lainnya adalah tidak dilengkapi dengan PIN, sehingga kalau jatuh dan diambil oleh orang lain bisa langsung dipakai dan dikuras isinya.
Penggunaan uang elektronik dalam bentuk kartu juga terbatas pada gerai-gerai tertentu yang dilengkapi dengan mesin pembaca. Kartu uang elektronik tidak bisa dipakai untuk belanja online atau membayar layanan transportasi online, terkecuali penyedia jasanya membawa serta mesin pembaca atau smartphonenya telah dilengkapi dengan fitur near field communication {NFC} sehingga bisa memindai kartu.
Kelemahan lainnya dari kartu uang elektronik, saldonya bersifat permanen artinya kalau sudah diisi tidak bisa diuangkan kembali atau ditransfer ke orang lain. Uang hanya bisa dipakai untuk melakukan transaksi pembayaran.
Tapi itu dulu, kini uang elektronik semakin terdigitasi. Makin populernya e-commerce membuat para penyedia layanan termasuk layanan keuangan dan pembayaran kemudian mengembangkan uang digital yang tidak tersimpan dalam kartu melainkan dalam server atau cloud.
Tidak ada lagi bentuk fisiknya, jalan-jalan jadi lebih aman karena tak perlu lagi bawa dompet untuk menaruh kartu. Dompet dan uang disatukan dalam aplikasi di dalam smartphone.
Uang digital itu disimpan dalam layanan dompet elektronik. Ada banyak layanan dompet elektronik atau e wallet, beberapa yang terkenal antara lain gopay, shopee pay, ovo, danaku, link aja dan lain-lain.
Pemakaiannya menjadi lebih luas, bisa digunakan dalam hampir keseluruhan ekosistem berbagai layanan ekonomi digital. Uangnya juga lebih aman karena dilengkapi dengan kode keamanan sehingga kalau smartphone jatuh lalu diambil oleh orang tidak otomatis isi dompet digital bisa dikuras.
Transaksi melalui uang digital juga menjadi lebih cepat, minim atau bahkan tanpa kontak langsung dengan kasir, semua tinggal pindai, klik dan beres. Bukti dan catatan transaksi juga akan langsung tersedia.
Dengan uang yang ada dalam dompet digital, meja kasir tak perlu lagi dilengkapi mesin pemindai. Mereka hanya menyedian cetakan kode QR yang akan dipindai oleh konsumennya.
BACA JUGA : Subsidi Tepat Lewat My Pertamina
Masalahnya akan jadi ribet jika dompet digital kita ternyata tidak sama dengan yang ada pada penyedia jasa. Atau penyedia jasa hanya menerima dompet digital yang ternyata tidak kita punya.
Sebenarnya masih bisa diatasi jika penyedia jasa mempunyai aplikasi payment gateway, sistem yang memungkinkan menerima pembayaran dari berbagai layanan uang digital. Tapi tak semua mau menyediakan itu karena harus mengeluarkan uang lebih untuk membayar aplikasinya.
Disitulah Bank Indonesia hadir lewat QRIS yang bersemboyan satu kode QR untuk semua pembayaran. Dan oleh Bank Indonesia, QRIS diwajibkan untuk dipakai oleh semua institusi layanan keuangan.
QRIS sendiri dikembangkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2019, tapi saya mendengarnya sekitar 3 tahun kemudian, sungguh ketinggalan.
Pertama kali saya mendengar tentang QRIS di Tenggarong, tepatnya di Taman Gubang, lokasi wisata bekar lubang tambang yang terletak di desa Loa Ulung, Tenggarong Seberang.
Dalam acara bincang-bincang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu hadir Kepala Perwakilan BI Kaltim. Waktu itu dia memberikan pertanyaan kuis yang ada hadiahnya. “Apa itu QRIS”.
Ternyata tak ada yang tahu dengan persis. Yang memberi pertanyaan itu kini sudah pindah tugas, jauh sekali karena ditempatkan di Kantor Perwakilan BI Shanghai, Tiongkok.
Karena tak ada yang bisa menjawab, kemudian Kepala Perwakilan BI Kaltim menerangkan apa itu QRIS dengan memakai standing banner tentang layanan QRIS yang ternyata sudah dipakai oleh Taman Gubang.
“Sialan,” ujar saya dalam hati karena merasa malu meski tanpa dipermalukan.
Bayangkan, bisa-bisanya saya tidak tahu ada alat pembayaran digital yang jumlah pemakaianya sudah jutaan. Dan yang lebih membanggakan, kebanyakan dari pemakainya adalah UMKM.
Selama ini saya memang tahu kalau BI rajin melakukan sosialisasi tentang cashless society, tapi saya sendiri belum pernah ikut karena acaranya lebih untuk kaum millennial.
Kali ini BI layak dipuji ketimbang institusi negara lainnya yang gemar berslogan tapi minim aksi nyata dalam mempersiapkan cetak biru menuju masyarakat digital. Dua jempol untuk BI karena telah mempersiapkan jalan menuju cashless society.
Pandemi Covid 19, memang memilukan namun disisi lainnya ternyata turut mengakselerasi kesadaran dan lonjakan pemakaian rupiah digital. Dan saya yakin mestinya bukan sekedar untuk gaya-gayaan sebab uang digital memang tak terhindarkan lagi.
Pun juga terbukti bahwa pemakaian uang digital selain lebih ringkas, juga lebih cepat, aman dan sehat.
Mengucapkan “Sebentar ya, saya tak ambil uang di ATM dulu,” segera akan berlalu.
Dengan uang digital tak perlu lagi pura-pura menjadi orang beruang dengan menonjolkan dompet tebal di saku belakang bokong yang tepos.
Percayalah dengan uang digital ukuran beruang atau tidak beruang tak lagi pada tebal tipisnya dompet di kantong. Uang tak lagi kita pegang karena semua ada di rekening bank.
Yang perlu dipelajari hanyalah cara mengendalikan diri. Karena tidak dipegang dan gampang untuk membelanjakan maka perlu lebih hati-hati dalam menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran.
Jika mata dan telinga lebih kuat dari jempol, salah-salah saldonya bakal jebol. Pengeluaran lebih banyak dari pemasukan, apalagi ada iming-iming pay later.
Ingat jauh lebih gampang berhutang daripada bayar pinjaman.
note : sumber gambar QRIS.ID