KESAH.IDPermukiman di sekitar Sungai Karangmumus merupakan salah satu cikal bakal tumbuhnya Kota Samarinda. Ada banyak memori masyarakat Samarinda tentang Karangmumus. Sungai ini adalah kolam renang pertamanya anak-anak Samarinda dan sebagian pemimpin maupun pejabat baik di tingkat Provinsi maupun Kota pernah mengalami tinggal di tepiannya. Tapi memori itu perlahan sirna karena pengambil kebijakan telah memilih untuk menormalisasi Sungai Karangmumus dengan ekosistem buatan.

Saat Redmi, HP android produksi Xiomi dijual pertama kali secara resmi di Indonesia lewat flash sale di Lazada, saya dan teman-teman kerap menyebut diri sebagai Gang Suwandi.

Waktu itu saya memang sering beraktivitas di Jalan Suwandi, kawasan sebrang depan gerbang depan Universitas Mulawarman.

Diskusi tentang Kota Samarinda lebih sering pada urusan ektrasi, tambang batubara dan segala dampaknya untuk kota ini. Salah satu yang paling utama dan kemudian juga disadari oleh warga kota adalah banjir.

“Baru mendung saja sudah kebanjiran,” begitu frasa lebay soal banjir di Kota Samarinda waktu itu.

Di sela obrolan tentang banjir itu kemudian muncul nama Sungai Karang Mumus.

Nama yang tak asing tapi jarang benar-benar saya perbincangkan meski saya sudah hampir 12 tahun tinggal di Kota Samarinda. Memori Karangmumus di kepala saya lebih banyak berasal dari selentingan dan gerutu orang Samarinda pada umumnya tentang rupa dan bau sungainya yang dianggap mencoreng wajah kota.

Satu-satunya nada yang mengandung unsur bangga hanya dalam sebutan populer Primus atau Pria Karangmumus. Selebihnya Sungai Karangmumus yang dulunya merupakan primadona Kota Samarinda sungguh merana.

Sayapun cenderung mengikuti pandangan-pandangan populer soal Karangmumus yang permukimannya di sekitarnya dianggap kumuh. Normalisasi atau yang mulanya disebut sebagai Prokasih atau Program Kali Bersih saya anggap sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah Sungai Karang Mumus yang terus terdegradasi fungsi dan kemanfaatannya.

Seorang teman bercerita tentang sekelompok mahasiswa yang rutin menyusuri Sungai Karang Mumus dari Bendung Lempake ke hilir.

“Mereka punya banyak catatan dan foto-foto terutama burung,” ujarnya sambil menyebut nama seseorang yang layak disebut sebagai pengamat burung-burung Karangmumus.

Cerita itu membuat saya penasaran, hingga kemudian saya mengusulkan untuk membuat sebuah ekpedisi susur sungai yang dinamai EX Primus, Expedisi Pria Karangmumus.

Rencana itu tinggal menjadi rencana karena tak berselang lama lewat pemberitaan sebuah media ada kabar tentang seseorang yang rajin memungguti sampah di Sungai Karangmumus.

Saya yang waktu itu masih menjadi kontributor sebuah media berita dan pengetahuan lingkungan hidup berniat membuka ruang silaturahmi dengannya. Selain untuk membuat berita, juga untuk turut serta dalam aktivitasnya.

Tapi saya tak langsung menemuinya melainkan mengutus seorang teman yang kesana-sini doyan menenteng Video Camera Recorder merek Sony yang berat itu. Dia baru-baru ini telah dilantik menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Paser.

Berbekal clip-clip video hasil rekaman bincang-bincangnya dengan perintis punggut sampah Karangmumus dan temu janji yang dilakukan olehnya, saya dan beberapa teman lain mulai ikut memunggut sampah Sungai Karang Mumus serta merenung di tepiannya.

Ternyata memungguti sampah di Sungai Karangmumus asyik dan menarik. Sampahnya rupa-rupa. Walau di lubuk hati sedih, namun terkadang juga tak mampu untuk menahan tawa dan senyum kecut.

Pembuang sampah di Sungai Karangmumus sungguh serius. Kebanyakan sampah yang mengapung dikemas baik-baik, dalam tas keresek atau karung plastik. Sampah-sampah itu berpawai diselingi dengan bannyak bangkai. Umumnya bangkai ayam.

Sesekali akan nampak pula, kasur, bantal, guling dan lemari yang mengapung, larut menuju muara.

Pada akhirnya kebanyakan sampah ini akan bersemayam di lantai Sungai Karangmumus yang berlumpur tebal, sampah tidak masuk ke Sungai Mahakam karena ketika sampai muara akan didorong kembali ke Sungai Karangmumus oleh arus pasang Mahakam.

BACA JUGA : Pria Karangmumus

Menjelang peringatan Hari Air Sedunia ada ajakan untuk menyusur Sungai Karangmumus dari sekelompok mahasiswa pecinta alam. Pucuk dicinta ulam tiba, sayapun langsung mengiyakan.

Perahu akan start dari Bendung Lempake. Berbekal perahu karet yang ditumpangkan ke taxi {angkot} kamipun pergi kesana. Ternyata airnya terlalu dangkal, maka kamipun pergi ke Muang Ilir untuk mulai perjalanan menyusur Sungai Karangmumus dari bagian tengah ke hilir.

Bergantian perahu didayung pelan-pelan menyusuri Sungai Karangmumus yang dibeberapa tempat mendangkal sehingga memunculkan ‘pulau-pulau’ ditengahnya.

Menjelang intake PDAM di Bengkuring ada tumpukan panjang sampah bercampur dengan rumput, enceng gondok, batang pohon dan segala rupa lainnya yang tak mungkin dilewati. Badan sungai benar-benar tertutupi.

Untung perahu yang dipakai adalah perahu karet sehingga bisa diangkat.

Dan teman lain yang menunggu di Tepian Lempake sudah tak sabar. Mereka menyusul keatas dengan perahu karet bermesin.

Perjalanan menuju hilir kemudian berganti dengan perahu karet dengan mesin tempel sehingga lebih cepat.

Hanya saja perjalanan tetap tak lancar, dibeberapa titik selalu ada tutupan sampah dan batang pohon serta rerumputan yang menutupi badan sungai. Sedangkan di titik lainnya rumput yang tumbuh subur dari kanan kiri sungai hanya menyisakan alur sempit untuk dilewati.

Di beberapa titik ada jembatan yang dibangun oleh warga, jembatan kayu dengan tiang yang cukup sapat sehingga kerap membuat apapun yang hanyut tersangkut dan menjadi penghalang. Terkadang tumpukan enceng gondok yang hanyut dari Bendung Lempake menutupi badan sungai cukup panjang.

Namun perjalanan susur Sungai Karangmumus untuk pertama kalinya ini juga menyajikan pemandangan yang menarik. Antara Jembatan Lempake Tepian dan Perumahan Griya Mukti ada sebuah kawasan yang kelihatannya masih asli, belum diotak-atik.

Alur sungainya tidak selebar aliran diatas Jembatan Tepian Lempake hingga Jembatan Muang Ilir yang konon pernah dikeruk dan kelokan-kelokannya diluruskan. Dari atas Lempake Tepian ke Muang Ilir, tepian Sungai Karangmumus bertanggul karena tanah kerukan sungainya ditumpuk di kanan-kiri sungai.

Titik yang masih asli dengan pepohonan yang bervariasi ini kelak dinamai Kanopi Karangmumus. Kanopi karena ranting dan dahan pohon yanh tumbuh dikanan kirinya hampir bertemu diatas aliran sungai seperti membentuk atap.

Selain Pohon Bunggur, di Kanopi Karangmumus ini juga ditumbuhi Singkil, Kariwaya, Rengas, Bengkal, Kademba, Bengalon, Rambai Punai dan juga tumbuh Pohon Katong. Yang terakhir ini merupakan satu-satunya yang tumbuh di sepanjang aliran Karangmumus.

Kanopi Karangmumus ini lenyap ketika turap disamping perumahan Griya Mukti diteruskan hingga ke Tepian Lempake.

BACA JUGA : Tahu Tempe

Satu titik lain yang menarik perhatian adalah sebuah rumah di Gunung Lingai. Lingkungan rumah yang menghadap ke sungai itu berbeda dengan kesekitarannya. Di kanan kiri rumah tumbuh pohon yang tingginya sudah melebihi atap. Dari tampakan pohonnya jelas ditanam, karena pepohonannya satu jenis.

Nanti beberapa waktu kemudian ketika saya kembali mencoba menyusuri Sungai Karangmumus dengan teman-teman yang bergiat memunggut sampah SKM, rumah yang dikelilingi pohon menghijau itu adalah rumah Pak Abdul.

Pak Abdul adalah warga Gang Nibung yang terkena pengusuran. Rumah tepi sungai yang dibongkar mendapat ganti di perumahan Talangsari. Namun Pak Abdul yang waktu itu berprofesi sebagai satpam terbiasa tinggal di tepi sungai, hingga merasa tak kerasan tinggal di kompleks perumahan yang jauh dari sungai.

Diapun membeli tanah tepi sungai di Gunung Lingai dan membangun rumah panggung. Pohon yang waktu itu menurut perkiraan berumur lebih dari 16 tahun adalah Pohon Kademba, pohon yang sering tumbuh di sedimen tepian sungai.

Perjalanan susur sungai yang terus saya ulangi semakin memberi banyak informasi dan pengetahuan tentang Sungai Karangmumus melampaui apa yang selama ini saya dengar dan saya lihat di bagian hilirnya.

Sebagai sungai, Karangmumus mestinya masih bisa diselamatkan atau terus dijaga. Jalannya tidak semata-mata dengan normalisasi atau pembangunan sungai. Karangmumus di segmen tengah masih bisa direstorasi, baik restorasi ekosistem maupun restorasi hidrologi agar fisiologi dan morfologi sungainya tetap terjaga.

Namun pemerintah selama 35 lima tahun telah mempunyai ketetapan yang tidak goyah. Karangmumus akan dinormalisasi dengan cara mengeruk sedimennya, melebarkan badan sungai, meluruskan kelokan dan memasang turap serta tanggul berupa sheet pile dari semen di kanan-kirinya.

Karangmumus dinormalisasi agar mampu mengalirkan air dengan lancar guna membebaskan Samarinda dari banjir. Karangmumus yang adalah sungai alami kemudian dibuat menjadi kanal dengan fungsi sebagai drainase, alur pengirim air hujan secepat mungkin ke laut melalui Mahakam.

Normalisasi jelas membuat Karangmumus, primadona Samarinda menjadi semakin merana. Walau alur sungainya semakin terlihat rapi dan kanan kirinya kelak akan menghijau karena ditanami pohon produktif dan tanaman hias namun semua itu tak akan memanggil burung air, burung tanah dan burung lainnya yang dulu suara merdu kicaunya menghibur warga sepanjang aliran sungai.

Pun juga tembok semen yang rapi di kanan-kiri sungai tak akan membuat ikan, udang dan biota air lainnya kembali ke Karangmumus.

Kelak ketika normalisasi selesai mungkin tampilan visual Karangmumus akan rapi. Tapi ingat semen semakin lama akan semakin rapuh dan buruk rupanya. Sedangkan resstorasi ekosistem walau tak langsung bisa menunjukkan hasil yang wow, namun dalam jangka panjang akan kembali menghadirkan kenyamanan dan keindahan asali Sungai Karangmumus.

Dan jika kanan kiri Sungai Karangmumus kembali ditumbuhi oleh pohon spesies lokal, apa yang pergi atau menghilang pasti akan kembali.

Burung-burung akan kembali datang dan berkicau riang, sedangkan ikan juga akan membuat girang para pemancing tanpa menunggu air pasang dari Mahakam.

note : sumber gambar – TRIBUNNEWS