KESAH.ID – Samarinda mendeklarasikan diri sebagai Kota Pusat Peradaban, geliatnya ditandai dengan pembangunan infrastruktur besar-besar, revitalisasi dan normalisasi di sana-sini. Hanya saja pembangunan yang walau dilabeli sebagai mitigasi iklim, pembangunan hijau atau apapun tetap nuansa kuatnya adalah semen, ini menandakan gerak pembangunannya tak sensitif air. Tapi bisa jadi konsepsi Peradaban Baru Kota Samarinda mungkin akan dicapai dengan membunuh peradaban lama, yakni adab air yang melahirkan dan membesarkan kota ini.
Beberapa hari ini saya kembali dekat dengan Karangmumus karena diajak blusukan di salah satu titik yang dulu paling terkenal tapi hilang yakni Jembatan Gang Nibung.
Di Jalan Sutomo, tak jauh dari Pasar Segiri dulu ada jembatan yang dibangun oleh warga melintas diatas Sungai Karang Mumus. Jembatan itu dikenal dengan nama Jembatan Nibung, sedangkan permukimannya dikenal sebagai kawasan Gang Nibung.
Untuk yang belum tahu, nama nibung berasal dari nama pohon. Pohon dengan nama ilmiah Oncosperma tigalarium ini adalah jenis palem-paleman yang hidup di rawa-rawa. Ketinggiannya bisa mencapai 25 meter, dan seperti kebanyakan pohon palma pada umumnya disekitar pokok pohonnya bisa memunculkan anakan.
Karena karakternya yang tahan lapuk, kayu ini di banyak daerah sering dipakai sebagai tiang penyangga rumah pada permukiman di lingkungan tepi sungai atau rawa-rawa gambut.
Masyarakat Riau misalnya menjadikan pohon Nibung sebagai maskot dan simbol. Pohon Nibung menjadi simbol persatuan dan persaudaraan. Di Provinsi Riau, batang pohon Nibung dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, daunnya dipakai sebagai atap sementara bunganya dipakai untuk mengharumkan beras. Umbut dan kuncup bunganya juga sering dijadikan sayur.
Karena ketahanan dan panjang batangnya, masyarakat di Gang Nibung yang sekitar wilayahnya dulu banyak ditumbuhi pohon Nibung kemudian memanfaatkan batang kayunya menjadi jembatan.
Dari jalan Sutomo, kelokan Sungai Karang Mumus yang melewati Gang Nibung membentuk telukan. Jika dipandang dari atas, kelokan sungainya memang membentuk huruf S kearah Pasar Segiri.Kelokan ini lama-lama mengerus sisi jalan Sutomo, dan pada saat hujan air Sungai Karang Mumus yang meluap kemudian mengenangi ruas jalan, Jika hujannya deras dan waktunya cukup lama, jalanan menjadi tidak bisa dilewati.
Segmen sisi jalan Sutomo ini kemudian menjadi prioritas ketika pemerintah melanjutkan program normalisasi Sungai Karangmumus yang ditandai dengan pemasangan sheet pile yang berfungsi sebagai tanggul dan turap sungai.
Ketika proyek ini berjalan, jembatan ikonik Gang Nibung kemudian dibongkar bersama jembatan-jembatan lain di belakang Pasar Segiri. Selain jembatan, normalisasi dari segmen Pasar Segiri hingga Jembatan S. Parman menjadi akhir dari layanan perahu penyeberangan satu-satunya yang masih tersisa di Sungai Karang Mumus. Layanan penyeberangan dengan perahu ini dulu beroperasi di belakang Pasar Segiri di sekitar tempat pemotongan unggas.
Jembatan Gang Nibung kini telah diganti dengan jembatan beton dan besi di sisi mudik Pasar Segiri. Meski jauh lebih megah dan kokoh, namun Ibu-Ibu anggota salah satu dasawisma di Gang Nibung tetap merasa kehilangan.
Mereka merasa kehilangan karena Jembatan Gang Nibung dibangun sendiri oleh masyarakat dengan bahan yang berasal dari pohon yang tumbuh disitu. Namun lama kelamaan lingkungan Sungai Karangmumus berubah baik karena pertambahan penduduk maupun pembangunan lainnya.
Pohon Nibung serta banyak jenis pohon lokal Karangmumus lainnya pun lenyap dan punah. Jembatan pun diganti dengan bahan lainnya, termasuk beton.
“Tidak seperti jembatan yang dulu, jembatan baru sekarang ini tak lagi dihias kalau hari-hari besar. Padahal dulu anak-anak muda antusias sekali menghias jembatan untuk merayakan hari besar nasional maupun hari besar keagamaan,” ujar salah seorang ibu memutar ulang memorinya atas jembatan Gang Nibung yang telah berganti wujud dan posisinya.
BACA JUGA : Ibukota Foto
Selain Mahakam, tak ada anak sungai lain di Kota Samarinda yang seterkenal Sungai Karangmumus. Tahun 90-an, anak-anak mudanya kerap menyebut diri sebagai Primus, singkatan dari Pria Karangmumus. Waktu itu selebritas Primus Justitio memang sedang naik daun.
Sungai Karangmumus memang anak sungai Mahakam yang terbesar dari puluhan anak sungai Mahakam lainnya yang ada di Kota Samarinda.
Dan di muaranya dulu tumbuh permukiman atau perkampungan bersama beberapa perkampungan lainnya menjadi cikal bakal Kota Samarinda.
Samarinda yang waktu itu berada dalam wilayah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara, pada masa kekuasaan Sultan Aji Muhammad Salehuddin menandatangani pernyataan tahkluk dibawah pemerintahan Hindia Belanda.
Oleh Gubernur Hindia Belanda, Samarinda ditetapkan menjadi vierkante paal atau tempat kedudukan asisten residen dari Afdeeling Oost Borneo atau pemerintahan Hindia Belanda di Kalimantan Timur.
Wilayah pusat pemerintahannya masih sepenggal, terbentang antara Sungai Karangmumus di sisi timur atau hilir dan Sungai Karangasam Besar di sisi barat atau hulu.
Berada di tepian Sungai Mahakam dan diapit oleh dua anak sungai, pemerintahan Hindia Belanda waktu itu segera sadar dengan kondisi hidrogeografi Samarinda yang kerap tergenang.
Pemerintahan Hindia Belanda di Kaltim segera menata kawasan Samarinda seperti kota air di Eropa, Amsterdam dan Venesia.
DIbangunlah kanal-kanal besar yang menghubungkan antara Sungai Karang Mumus dan Sungai Mahakam. Kanal-kanal yang bisa dilewati oleh perahu dengan ukuran cukup besar. Setelah pembangunan kanal selesai, Samarinda sering disebut sebagai de klein Amsterdam atau Amsterdam mini. Mereka yang berada di luar wilayah Kaltim lebih mengenal sebagai Amsterdam van Kutai.
Kanal-kanal yang cukup besar karena bisa dilintasi perahu yang berlawanan arah ini kemudian menjadi ruang tampungan air dikala hujan dan Sungai Mahakam pasang. Wilayah permukiman atau yang dimaksudkan sebagai wilayah kering kemudian bebas dari genangan, atau genangan tak lagi menenggelamkan permukiman.
Berkaca pada rancang bangun awal Kota Samarinda pada masa kolonial Belanda mejadi jelas bahwa Kota Samarinda dibangun sebagai kota air. Pembangunan dan pengembangan Samarinda dilakukan oleh Hindia Belanda dengan keasadaran atau sensitifitas untuk memberi ruang kepada air.
Dan konsep ini terus bertahan hingga jaman kemerdekaan. Di masa orde lama, Sukarno mengunjungi Kota Samarinda dengan pesawat amphibi. Pesawat yang mendarat di Sungai Mahakam.
Konsepsi atau kesadaran terhadap air yang berlimpah di Kota Samarinda masih terus bertahan hingga awal-awal masa Orde Baru. Jika ditelisik, bangunan perumahan dari berbagai kantor atau departemen di masa orde baru yang disebut Kantor Wilayah atau Kanwil masih dibangun dengan konsep rumah panggung. Rumah atau infrastruktur dibangun dengan menyedian ruang air, sehingga air yang kerap mengenangi terbagi rata, menutupi permukaan tanah sehingga genangannya tidak tinggi.
Dengan genangan yang tidak tinggi, maka tutupan atau genangan air itu tidak menganggu aktifitas karena jalan penghubung antar rumah berupa jembatan panjang yang dirancang ketinggiannya berada diatas rata-rata tinggi genangan air.
Dan permukiman yang kemudian bertumbuh makin masuk ke dalam mengikuti alur anak-anak Sungai Mahakam yang umumnya berada di tepian sungai juga dibangun dengan model rumah panggung. Kolong rumah menjadi dataran banjir atau flood plain namun sehingga genangannya tidak menenggelamkan lantai rumah.
Jika genangannya cukup tinggi sampai menenggelamkan telihan atau jembatan kayu, warga akan beraktifias dengan berperahu.
Pengetahuan dan ketrampilan untuk membuat perahu yang biasa disebut gubang atau jukung, menjadi salah satu pengetahuan lokal warga Samarinda waktu itu.
BACA JUGA : Gelas Meledak
Historisitas permukiman di Kaltim sejatinya berhubungan dengan tepian. Ada dua tepian utama yakni tepian hutan dan tepian air {sungai, danau dan rawa}.
Dua tipe permukiman mainstream ini membedakan antara kawasan lahan kering dan basah walau sama-sama berbentuk rumah panggung. Bedanya permukiman di tepi hutan atau lahan kering pada mulanya bersifat komunal dalam bentuk rumah panggung dengan sebutan lamin, betang, luuq dan lainnya.
Sedangkan permukiman di tepi air lebih bersifat rumah tunggal atau individual.
Di wilayah permukiman lahan kering kebutuhan pangan dipenuhi dengan pola cocok tanam rotasi atau ladang berpindah, sementara di permukiman lahan basah kebutuhan pangan dipenuhi dengan model pertanian pangan pasang surut.
Sementara kebutuhan protein di lahan kering dipenuhi dengan cara berburu binatang hutan, sementara di lahan basah dipenuhi dengan cara menangkap ikan dan biota air tawar lainnya.
Bertahan hingga kurang lebih dua windu masa pemerintahan orde baru, Suharto yang semakin menguat sebagai regim mulai menancapkan konsepsi pembangunannya ke seluruh pelosok negeri. Di Samarinda seiring dengan pertumbuhan penduduk karena booming kayu, baik kayu log maupun kayu lapis mulai dimasuki paradigma pembangunan orde baru yang memperkenalkan tepian baru yakni tepian jalan raya.
Tepian hutan hilang karena hutannya dibabat, tepian sungai menjadi tak tertata karena arah hadap hidup berubah dari menghadap sungai kemudian menyembah jalan raya. Sungai kemudian dipunggungi oleh warganya.
Lama kelamaan tepian hutan dianggap udik dan tertinggal, sementara tepian sungai dianggap kumuh, liar serta stigma negatif lainnya.
Di Samarinda, tepian yang adalah hakikat kemudian menjadi akronim Teduh, Rapi, Indah dan Nyaman yang dimulai dengan membersihkan tepian sungai dari permukiman. Baik tepi Sungai Mahakam maupun tepi Sungai Karangmumus.
Rencana besar normalisasi Sungai Karangmumus dimulai sejak 35 tahun lalu. Tapi tak lancar alias timbul tenggelam hingga saat ini.
Mengusung tagline Samarinda Kota Pusat Peradaban, Walikota Samarinda yang kini mencalonkan kembali sejak awal pemerintahannya giat melanjutkan rencana normalisasi Sungai Karang Mumus yang rencananya akan melakukan penurapan hingga segmen tengah yang berada di muka spillway Bendung Lempake.
Rencana pemerintah Kota Samarinda yang timbul tenggelam dari walikota satu ke walikota lainnya ini, di masa pemerintahan Walikota terkini terbilang lancar karena dilaksanakan bersama dengan TNI.
Akankah normalisasi Sungai Karangmumus akan membebaskan Samarinda dari banjir, atau yang paling masuk akal mereduksi banjir tentu perlu ditunggu dan tak bisa diklaim secepat itu. Dan apakah Samarinda sebagai Pusat Peradaban yang artinya memunculkan ‘Peradaban Baru’ karena meninggalkan peradaban air bakal tercapai juga, waktu pula yang akan membuktikannya.
Tapi yang pasti sebagian warga yang tinggal di bantaran Sungai Karangmumus dalam waktu yang sangat lama berada dalam kecemasan soal kapan rumahnya akan digusur. Dan yang lebih membuat mereka cemas adalah soal akan diganti rugi atau tidak.
“Kalaupun diganti rugi yang memang rugi, apalagi kalau tidak diganti,” ujar seorang ibu yang di Gang Sutomo 2 yang rumahnya terpotong karena tanahnya digusur lebih dari 100 meter persegi.
Peradaban versi terbaru memang mesti dibangun dengan pengorbanan warganya.
note : sumber gambar – 968KPFM