KESAH.IDMemori pada banjir bandang karena bendungan jebol pada tahun 1998, membuat orang Samarinda ketika terjadi banjir mengatakan “Pintu bendungan benanga dibuka,”. Padahal tidak selalu demikian, dan fungsi pintu air di Bendungan Lempake bukan untuk mengalirkan air dari waduk ke Sungai Karangmumus melainkan untuk menjaga keamanan. Pintu air akan dibuka jika volume air di waduk tinggi dan mulai membahayakan konstruksi bendungan.

“Bener nggak sih, Bendung Lempake punya pintu air?”

Sekilas memang tidak kelihatan kalau tak benar-benar diperhatikan. Apalagi kalau kita melihat dari jauh, yang kelihatan menonjol hanyalah pelimpas air atau spillway.

Spillway berfungsi untuk menjaga keamanan bendungan, begitu air penuh melewati batas beton penahan maka otomatis akan mengalir menuju hilir.

Tapi selain spillway, Bendung Lempake juga dilengkapi dengan pintu air yang akan dibuka saat ketinggian air melewati batas  waspada. Pintu air berfungsi untuk mempercepat atau memperbesar buangan air dari spillway ke arah hilir.

Selain pintu air yang mengalirkan air ke hilir atau masuk ke Sungai Karangmumus, Bendung Lempake juga mempunyai pintu air untuk mengalirkan air ke saluran irigasi teknis.

Spillway atau pelimpas air Bendung Benanga sebenarnya juga ada dua. Ada satu spillway pembantu yang tak kelihatan karena berada di pojok jauh dari jalan.

Saya sendiri termasuk salah satu penentang ucapan yang dulu populer di Kota Samarinda setiap kejadian banjir. Orang-orang akan dengan cepat mengatakan “Pintu Waduk Benanga dibuka,”.

Untuk saya menjadikan pembukaan pintu air di Waduk Benanga, sebutan populer untuk Bendung Lempake sebagai satu-satunya penyebab banjir tidaklah benar.

Sebab tak dibuka sekalipun, berbagai titik genangan di Samarinda tetap terjadi. Ada banyak titik genangan yang tak berhubungan dengan aliran Sungai Karang Mumus.

Menyebut banjir di Kota Samarinda karena pintu air Bendung Lempake dibuka menjadi sebuah simplifikasi.

Dan setelah kabar tentang Kelurahan Budaya Pampang terendam air bertaburan di media sosial dan WAG, esok harinya ada postingan yang meneruskan tangkapan dokumen berupa surat yang dikirimkan oleh Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan IV kepada Walikota Samarinda perihal Laporan Keadaan Darurat Bendungan Lempake.

Dalam surat itu disampaikan BWS akan melakukan operasi bendungan dengan membuka pintu air untuk mengurangi tekanan air kepada konstruksi bendungan. Pengelola bendungan memberi peringatan kepada warga yang berada di hilir Sungai Karangmumus tentang kemungkinan genangan air. Beberapa daerah disebut bakal menjadi titik-titik banjir.

Membaca postingan itu saya kemudian membuat konten yang kemudian saya posting di facebook dan instagram.

Postingan di facebook mendapat sambutan, sampai saya tuliskan cerita ini sekurangnya telah dibagikan sebanyak 56 kali.

Tapi sebuah postingan akan selalu memancing kontra narasi.

Dan dalam postingan itu sekurangnya ada dua kontra narasi. Yang pertama menyebutkan “Jalan-jalanlah ke bendungan. Bendungan nggak punya pintu. Ada cuma ke kampung irigasi, itupun pintu kecil ngga menuju ke sungai,”

Sedangkan kontra narasi yang kedua mengatakan “Dari sebelum banjir pintu air pembersih lumpur selalu dibuka,”

Kontra narasi kedua ini tidak saya tanggapi karena sepanjang ingatan saya mempelajari air dan sungai serta segala infrastrukturnya, istilah pintu air pembersih lumpur belum pernah saya temukan. Dan kalaupun memang benar fungsi pintu air di Bendungan Lempake untuk pembersih lumpur, mestinya sedimentasi disana tidak sampai membuat waduk menjadi dangkal. Sedimentasi di waduk bahkan sampai membuat pulau-pulau.

Dua pintu air Bendungan Lempake. Satu pintu aliran airnya ke Sungai Karangmumus, dan satu pintu aliran airnya ke saluran irigasi.

BACA JUGA : Tongkat Musa

Saya menanggapi anjuran untuk jalan-jalan ke Bendungan Lempake dengan mengucapkan terimakasih atas nasehatnya.

Sebenarnya saya bisa menjawab kalau saya sudah sering ke Bendungan Lempake, sering sekali. Bahkan pernah satu kali, ibu-ibu di Muang Datu/Muang Hilir heran karena saya dan beberapa teman menuju Bendungan Lempake dengan naik perahu.

Segmen Sungai Karangmumus antara Muang Ilir dan Bendung Benanga waktu itu dianggap berbahaya untuk dilewati perahu karena banyak tunggul pohon yang rebah dan terbenam di badan sungai. Dan memang satu kali ketika melewati segmen itu, mesin ketinting lepas baling-balingnya karena terhantuk batang pohon rebah yang tak kelihatan.

Pada dasarnya Bendungan Benanga bukanlah infrastruktur air dan keairan yang asing untuk saya. Beberapa tahun lalu, selama bertahun-tahun saya mengakrabi Sungai Karangmumus dari segmen Bendungan Benanga hingga hilir. Tak terhitung saya bolak-balik menyusuri baik dari sisi air maupun sisi darat.

Tapi saya tak menuliskan pengalaman itu di kolom komentar untuk membahas kontra narasi yang dikirimkan oleh pembaca postingan saya itu.

Padahal yang berkomentar menentang Bendung Lempake punya pintu air itu juga kontradiktif. Dia sendiri menuliskan ada pintu tapi kecil. Ya walaupun sekecil apapun toh tetap pintu juga. Dan dalam postingan saya juga sudah menyebutkan ada dua pintu air, yang satu alirannya ke Sungai Karangmumus dan yang satu ke sistem irigasi teknis.

Saya berusaha menerangkan sebaik-baiknya bahkan menyertakan tangkapan surat dari Kepala BWS ke Walikota dengan penegasan bahwa ‘membuka pintu air Bendung Lempake’ adalah langkah resmi yang dilakukan oleh pengelola dan penanggungjawab Bendung Lempake berdasarkan SOP Bendungan.

Cukup panjang saya memberi jawaban untuk mempertanggungjawabkan postingan yang olehnya dianggap sebagai ngarang dan kurang pengetahuan itu.

Namun tetap saja sang kontra narator bersikukuh  tak ada pintu air di Bendungan Lempake.

Saya tentu tak masalah kalau ada orang yang bersikukuh dengan pendapatnya, tapi tentu saya keberatan kalau secara implisit postingan saya dianggap hoax atau menyesatkan.

Maka saya beri jawaban pamungkas dengan mengatakan kalau postingan saya pertama dikomentari oleh seseorang yang punya jabatan di BWS Kalimantan IV dan yang bersangkutan tak komplain. Artinya tak ada mis atau disinformasi dalam postingan saya.

Saya meniatkan jawaban ini sebagai balasan paling akhir, saya tak berniat menyerang atau menangkis serangan dengan jawaban yang menyerang pribadi. Walau dia menyebut “Yang buat ini tak tahu bendungan,”, sebuah pernyataan yang menyerang pribadi saya padahal dia tak tahu saya.

Niat saya tak menjawab karena saya yakin akan ada teman yang pengetahuannya tentang sungai dan bendungan tak kalah banyak bakal memberi jawaban yang jauh lebih pedas dari saya.

Dan benar, esok ada jawaban dari teman yang isinya “Dari postingan ini ternyata memang jadi momok soal pola pikir dan minat baca yang rendah warga 62 😑😑 yang penting komentar walaupun gak nyambung dan pakai ilmu pokoknya🙏🙏,”

Pintu air Bendungan Lempake yang mengalirkan air ke saluran irigasi teknis untuk persawahan di bagian tengah Sungai Karangmumus.

BACA JUGA : Walikota Baperan

Dalam keseharian sebenarnya saya tipikal yang getol menyerang balik dengan antusias setiap ada orang yang kontra pada narasi saya. Tapi di media sosial saya jarang sekali melakukannya, karena percakapan di media sosial bukan percakapan langsung. Dan orang-orang yang berada dalam lingkaran pengikut, follower atau apapun tidak semuanya benar-benar kita kenal.

Sikap hati-hati di media sosial bukan karena saya takut dilaporkan dengan UU ITE, melainkan karena beberapa waktu terakhir ini salah satu hal yang terbaru yang saya pelajari adalah neurosains.

Dengan mempelajari neorusains saya lebih mengerti cara kerja otak manusia yang memang lebih banyak berpikir dengan otak emosional ketimbang otak rasional.

Saya menjadi mudah menerima bias-bias pikiran, karena memang pikiran kita dengan mudah diwarnai oleh hal-hal yang sifatnya emosional.

Walau mempunyai otak yang istimewa, tetap saja indera manusia bukan sesuatu yang multitasking.

Dalam dunia film dikenal istilah ‘bocor’. Artinya tangkapan klip video kameramen ternyata kemasukan obyek yang tidak dikehendaki.

Mata kameramen yang terfokus pada obyek yang menjadi poin utama tidak melihat obyek lain yang melintas. Klip videopun kemudian mesti diulangi.

Pun juga dengan kita, apa yang kita simpan dalam memori perihal tempat atau obyek yang kita lihat hanyalah yang kita pilih. Ada banyak sudut lain yang kita tidak lihat atau kita tidak perhatikan.

Maka ketika menceritakan sebuah obyek, walau berada dalam tempat atau wilayah yang sama bisa jadi yang kita ceritakan berbeda dengan orang lain.

“Oh, ada itu disana ya. Saya nggak perhatikan,” itu pernyataan orang yang pikirannya terbuka ketika ada orang lain menambahkan apa yang tidak dilihatnya di tempat itu.

Tapi banyak yang lainnya tidak akan terima, dia merasa yang dilihatnya yang paling benar. Dan orang yang menyatakan berbeda dari yang dilihat dan diyakininya sebagai sesat.

Ya, tidak apa-apa. Toh, memang banyak orang yang disebut ngeyelan atau bebal. Bakatnya memang demikian. Persis sama dengan bakat bahagia, yang tak berbakat bahagia walau hidup berkecukupan tetap saja merasa kekurangan.

Seseorang jika sudah merasa tahu memang kerap menutup pengetahuan baru. Otak manusia memang cenderung memilih-milih pengetahuan atau informasi. Apa yang tidak disukai dengan berbagai alasan akan ditolaknya.

Seseorang yang percaya bahwa ada orang bisa menggandakan uang, walau berhasil mendapat gelar doktor dalam bidang matematika, kimia atau fisika tetap saja akan percaya bahwa ada orang pintar semacam itu.

Otak manusia memang bisa mempercayai dua hal yang kontradiktif seperti itu.

Jadi buat saya orang ngeyelan tak akan menganggu atau membuat saya emosi. Saya justru menganggapnya sebagai variasi kehidupan. Di dalam hidup memang banyak homo sapiens yang termasuk dalam varian aneh dan random.

Namun demi bisa membantah dengan bukti, Jum’at 31 Januari 2025 ini saya meluangkan waktu untuk pergi ke Bendung Lempake. Saya akan mengambil foto pintu air walau kecil agar kelak jika ada yang membantah dan menyatakan Bendungan Lempake tak punya pintu akan saya kirimkan fotonya.

Soal kemudian percaya atau tidak dan memperbaiki keyakinannya itu urusan lain. Karena manusia sering kali bisa melihat yang tak ada, sebaliknya yang ada juga sering tak dilihat.

Tugas saya hanya memberi bukti, soal orang percaya atau tidak itu urusannya dia sendiri.

Sebab kata Einstein, kepintaran itu ada batasnya tapi kebodohan tidak.

note : sumber gambar – NON PROFIT JOURNALISM