KESAH.ID – Ada kisah panjang yang selalu membuat saya merasa pulang dan senang setiap kali ke Yogyakarta. Padahal saya tak terlahir di kota itu, pun juga tak pernah tinggal lama disana. Tapi wibawa dan aura Yogyakarta selalu membuat saya merasa tengah menjalani tetirah untuk mereguk kembali gairah kehidupan setiap kali menginjakkan kaki disana.
Saya berpikir maka saya ada, itu ungkapan terkenal dari Decartes, filsuf dari Perancis yang awalnya meragukan segala sesuatu yang dianggap ada. Tapi lupakan saja Decartes dengan pikiran rumitnya soal mencari yang ada itu.
Yang lebih menarik justru plesetan mudiko ergo sum, saya mudik maka saya ada. Rasanya yang ini lebih related untuk kita-kita yang merantau, pergi dari kampung halaman tanpa rasa dendam.
Meninggalkan kampung halaman dan masih punya keluarga disana, sanak saudara serta warisan biasanya rindu pulang. Pulang kampung atau mudik kemudian menjadi ritual orang rantau. Disebut mudik karena kampung halaman umumnya lebih udik dari tanah tujuan perantauan.
Mudik lahir dalam ekosistem dikotomis antara desa dan kota. Yang disebut mudikers adalah orang-orang perkotaan yang pergi ke perdesaan. Merantau adalah pergi ke tempat lain yang dipandang lebih baik, entah pendidikannya, ekonomi, infrastruktur dan lain-lain.
Sejak tahun 1989 saya tak lagi jadi anak kampung. Dengan KMP Kambuna yang berangkat dari Tanjung Priok Jakarta saya menyeberang ke pulau lain.
Jika ditanya merantau kemana, saya akan bilang ke Manado. Padahal beberapa tahun pertama di Sulawesi Utara, saya tinggal di Pineleng, Minahasa. Desa yang kurang lebih sama dengan kampung halaman saya. Sama-sama bukan kota.
Tapi saya tak bohong soal tinggal di Manado. Cuma nanti setelah tahun 1996, beberapa saat sebelum reformasi pecah.
Di tahun itu pula saya mudik, pulang kampung beberapa hari. Naik Bis AKAP {Antar Kota Antar Provinsi} dari Surabaya. Ketika turun di Terminal Purworejo saya merasa kebingungan, karena stamplat bisnya telah pindah. Terminal barunya terasa asing.
Datang tengah malam memang membuat saya bingung. Baru besok harinya saya kembali mengenali daerah sekitar terminal baru karena hampir setiap hari saya melewatinya ketika pergi ke sekolah ketika SMA.
Dalam kesempatan mudik berikutnya, saya naik pesawat yang mendarat di Yogyakarta, Bandara Adi Sutjipto. Kota yang lebih sedikit saya kenal ketimbang Surabaya.
Kelak ketika saya berpindah tanah rantau ke Pulau Kalimantan, Bandara Adi Sutjipto kemudian menjadi jalur utama untuk mudik ke kampung halaman.
Dan kini bandaranya berpindah dan berganti nama menjadi Yogya International Airport. Bandaranya lebih dekat dengan kampung halaman saya karena berada di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo.
Disebelah barat, Kecamatan Temon berbatasan dengan Kecamatan Bagelen yang merupakan wilayah Kabupaten Purworejo. Tanah dan batu urukan untuk menutupi sawah yang kemudian menjadi bandara, sebagian berasal dari bukit-bukit yang ada di Purworejo.
Ini kali kelima saya menginjakkan kaki di YIA. Dan tak sekalipun begitu mendarat di bandara ini saya langsung pulang ke Purworejo. Yogya selalu lebih mengoda untuk disinggahi terlebih dahulu.
Selalu ada yang pertama setiap tiba, kini untuk pertama kalinya saya meninggalkan bandara YIA dengan naik kereta api. Kereta yang langsung akan membawa ke jantung Kota Yogya yakni Malioboro.
Almarhum Joko Pinurbo memang benar ketika mengatakan Yogya terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.
Sekurangnya untuk saya walau tak selalu nongkrong di angkringan, tapi setiap pulang kampung yang saya ampiri justru Yogya duluan.
BACA JUGA : Musim Tuyul
Sebenarnya saya tak tahu persis apa yang membuat Yogya selalu membuat rindu hingga ketika mudik menjadi jujugan yang wajib untuk disinggahi.
Kalau yang merindu itu orang-orang yang pernah sekolah atau kuliah lama disana tentu lebih mudah untuk dipahami karena Yogya sudah merasuk dalam dirinya. Tapi memori saya tentang Yogya tak begitu dalam. Yogya sedari saya kecil hanya tempat singgahan, tak pernah benar-benar saya tinggali dalam waktu yang cukup lama.
Selain Purworejo, kampung halaman saya; kota lain di pulau Jawa yang cukup lama saya tinggali hanyalah Karanganyar, Kebumen dan Mertoyudan, Magelang. Tapi nyatanya Yogya lebih memanggil daripada keduanya.
Yogya menjadi istimewa karena memang sebutannya Daerah Istimewa Yogyakarta. Informasi tentang Yogya bukan hanya dipaparkan lewat pelajaran sejarah dan geografi di sekolah, tapi juga lewat cerita kerabat dan sanak saudara serta kenalan lainnya.
Waktu itu DIY dipimpin oleh Sultan Hamengkubuana IX, sultan yang sangat terkenal karena pernah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Wibawanya besar melampaui wilayah kekuasaannya. Saya ingat ketika Sultan Hamengkubuana IX menjadi juru kampanye pada pemilu, sayapun ikut-ikutan pergi ke lapangan untuk melihatnya. Masyarakat tumplek blek bukan untuk mendukung Golkar tapi untuk melihat dan mendengar ‘sabda’ Sultan.
Purworejo bukanlah wilayah DIY namun berbatasan. Secara kebudayaan Purworejo berada dalam lingkup kebudayaan Dulangmas atau Kedu Magelang Banyumas. Bambang Pacul, politisi PDIP kerap menggambarkan masyarakat Dulangmas punya karakter mesin diesel alias lambat panas.
Lambat panas karena cenderung suka pada kebatinan. Saya ingat salah satu pastor di Paroki Purworejo kemudian diekskomunikasi oleh Uskup Purwokerto karena menjadi sosok pemuka kelompok kebatinan.
Ketika tinggal di Mertoyudan sesekali saya menjumpai pastor itu yang kemudian mempunyai padepokan di sekitar Borobudur.
Mungkin karena ikut terpengaruh oleh iklim kebatinan itu Upacara Sekaten di Kraton Yogyakarta menjadi magnet yang kerap memanggil saya untuk pergi ke Yogya. Tanpa memperdulikan bakal menginap dimana, saya dan beberapa teman selalu pergi di perayaan puncak Sekatenan.
Niatnya untuk ngalap berkah, ikut memperebutkan gunungan yang diarak menuju Masjid Gedhe. Gunungan yang dibawa oleh Abdi Dalem itu merupakan representasi dari kemakmuran yang diperoleh dari hasil bumi.
Memperebutkan gunungan yang terdiri dari Gunungan Jaler, Gunungan Estri, Gepak dan Pawuhan itu keriuhan dan keramaian akan sangat terasa. Itulah kenapa puncak acara Sekaten dinamakan Grebek, yang berasal dari kata gumerebeg. Artinya riuh, ribut dan ramai .
Memori ngluruk Grebeg Sekatenan itu masih tertanam di kepala hingga sekarang, walau selepas SMA saya tak lagi datang untuk menyaksikannya.
Beberapa kali kembali ke Yogya karena waktunya tak bertepatan, saya menyaksikan lapangan utara Keraton Ngayogjakarta Hadiningrat penuh dengan stan. Sebulan lapangan itu menjadi semacam lokasi ekspo untuk menyambut Sekatenan.
BACA JUGA : Blunder Misano
Purworejo sejak dulu sering dilabeli sebagai Kota Pensiunan. Hingga tak banyak yang tahu kalau salah satu kota tua di Indonesia ini menjadi tempat kelahiran banyak tokoh nasional.
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta yang namanya harum karena melahirkan banyak pemikir, sesungguhnya berhubungan erat dengan Purworejo. Karena nama yang dipakai oleh sekolah itu berasal dari nama seorang yang disebut oleh Soe Hok Gie sebagai filsuf yang sesungguhnya.
Sosok itu bernama Nikolaus Driyarkara yang lahir di Kedunggubah, Purworejo dengan nama kecil Jenthu Soehirman.
Sejarah juga menghubungkan beberapa pahlawan nasional dengan Purworejo. Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya dianggap lahir di Desa Somongari, Purworejo.
Lalu Jenderal Urip Sumoharjo, Ahmad Yani, Kasman Singodimedjo dan Sarwo Edie Wibowo juga kelahiran Purworejo.
Sarwo Edie Wibowo yang adalah mertua dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bukan hanya lahir di Purworejo melainkan juga dimakamkan di tanah kelahirannya dalam kompleks makam keluarga.
Purworejo dulu memang erat dengan kisah pergi dikala muda dan kembali ketika tua.
Cerita Purworejo mungkin saja berbeda andai perlawanan Pangeran Diponegoro pada kolonial Belanda tidak berhasil dipadamkan. Perang Diponegoro yang berkobar dahsyat pernah membuat Belanda berpikir untuk menjadikan Purworejo sebagai Ibu Kota Kolonial Belanda, sebelum dipindahkan dari Maluku ke Batavia.
Jejak konsentrasi kekuatan Belanda di Purworejo diabadikan di kompleks yang sekarang kerap disebut sebagai Tangsi. Kompleks militer besar yang kemudian menjadi salah satu markas dari Komando Strategis Angkatan Darat yang berada di sisi barat Sungai Bogowonto.
Meski begitu untuk saya, Purworejo yang secara kesejarahan dan kebudayaan berada dalam ekosistem Dulangmas kerap kalah wibawa ketimbang Ngayogjakarta Hadiningrat.
Yogyakarta selalu lebih menarik untuk tetirah, menjadi tempat untuk menikmati jeda guna meraup kembali gairah untuk menjalani dan menikmati kehidupan.
Syair dan nada-nada indah memang selalu lebih mudah tercipta untuk Yogyakarta.
Tak apalah, toh kekuatan Yogyakarta untuk menjadi ruang ketiga bagi Indonesia memang tak bisa dicegah dan ditiru. Merapi, Keraton dan Laut Kidul menjadi titik yang menghubungkan sumbu kehidupan yang layak untuk direguk bersama.
Ke Yogya selalu membuat saya merasa pulang dan senang.
note : sumber gambar – KOMPAS