KESAH.ID – Salah satu pencapaian peradaban manusia yang terbesar adalah sopan-santun atau manners. Terima atau tidak, yang disebut dengan sopan santun kerap kali sama artinya dengan ‘mengatakan yang bukan sesungguhnya’.
Orang Jawa sering kali mengucapkan “Nyuwun pangapunten’ atau ‘ Sepurane’ dalam banyak kesempatan. Keduanya mempunyai arti yang sama yakni permintaan maaf. Ucapannya memang beda karena yang satu dalam bahasa krama inggil dan yang satunya lagi ngoko.
Dengan sering mengucapkan kata maaf apakah berarti orang Jawa mudah untuk mengakui kesalahan?.
Tidak juga, sebab ucapan maaf itu tidak selalu terjadi setelah berbuat salah. Kata maaf adalah bagian dari sopan santun.
Untuk menghormati yang lebih tua, mereka yang lebih muda namun mendapat giliran atau kesempatan lebih dahulu kemudian akan mengucapkan “Mohon maaf, saya lebih dulu,”
Ternyata yang gemar meminta maaf bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya tak perlu bukan hanya orang Jawa. Orang Kanada konon juga tak bisa berhenti mengucapkan kata maaf. Saking gemarnya meminta maaf, kebiasaan ini kemudian menjadi bermasalah.
Adalah Provinsi Ontario Kanada yang kemudian mengesahkan sebuah undang-undang yang bernama Undang Undang Permintaan Maaf {Apology Act}. Tujuan dari undang undang ini adalah untuk melindungi warga Kanada yang gemar meminta maaf agar permintaan maaf yang disampaikan di pengadilan tidak dipakai sebagai bukti pengakuan bersalah.
Absurb banget ya.
Tapi ini memang nyata karena sering kali dalam sebuah kejadian orang meski tak bersalah kemudian mengucapkan kata maaf. Maaf karena prihatin pada kejadian tersebut. Seperti pada kecelakaan, karena yang bersalah malah mengalami luka yang cukup parah, maka yang ditabrak justru meminta maaf.
Meminta maaf karena mobilnya lebih kuat dari yang menabrak sehingga mobil si penabrak ringsek dan melukai pengendaranya.
Jika permintaan maaf seperti itu dianggap sebagai pengakuan bersalah tentu saja celaka. Yang dirugikan atau yang lebih hati-hati malah lebih sering dipenjara.
Maka dengan disahkannya Apology Act, orang Kanada menjadi tak perlu khawatir lagi permintaan maaf dianggap sebagai pengakuan kesalahan di pengadilan. Dengan begitu mereka bisa tetap mengucapkan maaf sepuas hati, sebanyak yang mereka mau tanpa khawatir lagi.
Bagaimana dengan Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah orang Jawa, apakah diperlukan juga Undang Undang Permintaan maaf seperti di Kanada?.
Sepertinya tidak perlu, sebab berbeda di Indonesia jarang sekali orang mengucapkan permohonan maaf di pengadilan. Bahkan ketika terbukti salah sekalipun, sulit sekali akan terucap kata maaf dari bibirnya.
Makanya kasus di pengadilan kerap tidak selesai-selesai, selalu banding dan banding. Bahkan tak sedikit yang kemudian melakukan PK atau peninjauan kembali untuk mengulur-ulur waktu agar tak segera mendapat hukuman untuk membayar kesalahannya.
BACA JUGA : Membincang Relawan Tahan Stress Di Taman Samarendah
Henry Hitching menuliskan sebuah artikel berjudul : Sorry! : The English and their Manners {Maaf! Orang Inggris dan Perilaku Mereka}. Dalam tulisan ini Henry menyorot tentang kenyataan bahwa orang Inggris amat sering meminta maaf atas sesuatu yang tidak mereka lakukan. Namun sebaliknya kesediaan itu tidak diimbangi dengan kemampuan untuk meminta maaf atas sesuatu yang mereka lakukan.
Benar, kata ‘sorry’ memang sering muncul dalam percakapan orang Inggris. Mereka kerap minta maaf atas cuaca panas, kereta yang terlambat, jalanan yang berlumpur, segala sesuatu yang tidak disebabkan oleh mereka.
Sebuah survey yang dilakukan pada 1.000 orang Inggris menemukan bahwa masing-masing seritap harinya rata-rata mengucapkan maaf sebanyak delapan kali. Satu dari delapan orang meminta maaf hampir 20 kali sehari.
Dalam film-film Hollywood, ‘Sorry’ merupakan salah satu kata yang sering terucap. Orang Amerika ternyata juga gemar mengucapkan kata maaf. Memang tak serajin orang Inggris, sebagaimana jajak pendapat yang diungkapkan oleh YouGov, dimana untuk satu hal yang sama misalnya bersin, bersenggolan dengan orang lain atau terlambat datang ke pertemuan, jika di Inggris ada 15 pernyataan maaf, di Amerika ada 10 pernyataan maaf.
Kata ‘sorry’ jika ditelusuri asal-usulnya bermula dari kata Inggris kuno ‘sarig’ artinya stress, berduka atau penuh kesedihan. Namun kemudian penggunaan dan maknanya berkembang secara berbeda-beda.
Sorry atau maaf kemudian kerap menjadi kata untuk mengungkapkan empati. Dan dalam kelas sosial tertentu, sorry dipakai sebagai bentuk penghargaan atau rasa hormat, keramahan dan seterusnya.
Penggunaan kata sorry atau maaf yang bermacam-macam ini terkadang menimbulkan kebingungan untuk mereka yang tidak terbiasa, atau tidak berasal dari budaya yang sama. Kata maaf menjadi berlebihan dalam banyak hal.
Menariknya meski banyak bangsa atau budaya yang gemar meminta maaf, namun di balik rajinnya minta maaf itu ternyata ada kenyataan lain yakni sama-sama enggan untuk meminta maaf atas kesalahan.
Pengadilan dimanapun menjadi bukti dari keengganan untuk meminta maaf. Yang bersalah selalu berlomba-lomba untuk menyewa pengacara terbaik, untuk membuktikan tidak bersalah. Atau sekurangnya kesalahannya tidak fatal sehingga hukuman bisa diminimalisir.
Ambil contoh saja soal kasus korupsi di Indonesia, amat jarang koruptor yang menyengsarakan rakyat kemudian meminta maaf.
Bangsa Jepang mungkin menjadi salah satu yang paling konsisten dan konsekwen dalam urusan meminta maaf. Dalam beberapa kasus, mungkin tidak diucapkan secara verbal melainkan dengan tindakan. Seperti lewat harakiri atau seppuku, sebuah ritual memotong perutnya sendiri yang muncul dari tradisi para Samurai.
Pejabat dan tokoh-tokoh di Jepang juga akan melakukan pengunduran diri, melepaskan kedudukannya untuk menyatakan rasa bersalah tanpa sidang di majelis kehormatan atau peradilan.
BACA JUGA : Kiamat ATM Sudah Dekat
Membandingkan ungkapan maaf diantara berbagai bangsa atau budaya kelihatan bahwa sorry atau maaf yang dengan mudah diucapkan merupakan bentuk kesopanan. Kesopanan yang negatif atau basa-basi. Dan yang suka basa-basi itu pada umumnya bukanlah bangsa dan budaya yang gemar mengakui kesalahan jika bersalah.
Sekarang bandingkan antara laki-laki dan perempuan tanpa memandang suku, bangsa dan budayanya. Siapa yang lebih sering mengucapkan kata sorry atau maaf?.
Sebenarnya belum ada penelitian yang benar-benar komprehensif untuk menyimpulkan apakah perempuan lebih sering meminta maaf atau sebaliknya. Namun banyak artikel atau tulisan kerap berasumsi bahwa perempuan lebih sering meminta maaf, bahkan untuk sesuatu yang bukan kesalahannya.
Asumsi ini muncul karena stereotip bahwa perempuan lebih suka mengalah, tidak mau masalah atau konflik berkepanjangan. Sedangkan laki-laki selalu digambarkan gengsi mengucapkan kata maaf karena meminta maaf dianggap sebagai bukti kelemahan.
Tapi sekali lagi ini hanya asumsi dan juga generalisasi. Dalam banyak kasus kita bisa menemukan baik laki-laki maupun perempuan sama sulitnya untuk meminta maaf. Alih-alih meminta maaf atas kesalahannya mereka kemudian malah melakukan kekerasan, untuk menutupi kesalahan.
Ada istri membunuh suami, ada suami membunuh istri, karena mereka mendapat kekasih hati yang baru.
Jadi maaf yang sesungguhnya atau maaf bohong-bohongan tidak ada urusannya dengan jender. Pun juga sebenarnya tidak ada urusan dengan suku, bangsa, agama, budaya dan negara.
Kata sorry atau maaf dengan gampang terucap selama tidak punya konsekwensi apapun, sekedar basa-basi atau sopan santun negatif.
Juga maaf yang menghiba-hiba akan dilakukan oleh siapapun untuk melindungi kepentingannya. Tapi begitu minta maaf namun kepentingannya tak terpenuhi yang menghiba-hiba segera akan berubah menjadi mahkluk ganas hingga tega membunuh.
Konsisten dan konsekwen soal meminta maaf sejatinya adalah pencapaian diri. Tanda kedewasaan sebagai seorang manusia yang perlu terus menerus dilatih dan diteladankan. Orang, bangsa, budaya yang tinggi empatinya yang akan tulus meminta maaf.
Dan Jepang, melalui sistem pendidikannya dikenal sebagai salah satu bangsa yang melatih warganya sejak dini untuk berempati.
Sementara sistem pendidikan di Indonesia yang visinya lebih mulia karena ingin menghasilkan insan yang berahklak kerap melupakan bahwa ahklak yang mulia itu tidak akan dicapai jika tidak dilatih sejak dini.
Sitem pendidikan kita lebih memilih untuk menghambur nasehat ketimbang rajin melatih peserta didiknya untuk merasakan penderitaan dan kesedihan orang lain.