Salah satu kekayaan Nusantara yang berhubungan dengan kuliner dalam arti seluas-luasnya adalah rempah. Karena kekayaan bahan bumbu-bumbuan, obat dan juga komestik, negara-negara yang invasif kemudian datang ke wilayah Nusantara untuk menjajah.
Para penjajah sendiri kemudian tidak sekedar memonopoli perdagangan rempah melainkan juga memaksa warga diwilayah jajahannya untuk menanam produk atau komoditas tertentu seperti kopi, tembakau, teh, tebu dan lain sebagainya.
Kehadiran bangsa atau masyarakat luar Nusantara baik untuk berdagang maupun menjajah menghasilkan interaksi. Mereka datang, hadir, bertemu dan berkumpul dengan masyarakat Nusantara dalam berbagai posisi dan gaya serta hubungan komunikasi.
Perjumpaan ini menghasilkan saling tahu tentang makanan. Yang datang melihat apa yang dimakan oleh orang Nusantara, masyarakat Nusantara melihat apa yang dimakan oleh yang datang dan bagaimana mengolahnya.
Mereka yang datang hadir dengan kebudayaan dan teknologi makannya. Ada alat makan, alat masak, bumbu dan bahan-bahan. Namun lama kelamaan ketersediaan bumbu dan bahannya bisa jadi menipis serta tak bisa dengan cepat didatangkan. Mulailah terjadi modifikasi, dipakai bahan dan bumbu penganti yang bisa ditemukan di wilayah Nusantara.
Masyarakat Nusantara karena perjumpaannya dengan mereka yang datang juga mulai mencoba-coba membuat apa yang mereka buat. Meniru resep dengan bahan yang ada. Bukan hanya makanan melainkan juga membuat berbagai macam saus termasuk makanan yang difermentasi.
-000-
Apa makanan pokok masyarakat Nusantara sebelum kedatangan berbagai bangsa dari penjuru dunia lainnya.
Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa masyarakat Nusantara sebelum mengenal makanan pokok seperti nasi, umbi ketela pohon, jagung dan tepung-tepungan terutama terigu, makanan pokoknya adalah sagu.
Salah satu bukti yang sering diungkapkan adalah adanya relief di Candi Borobudur tentang palma kehidupan yang terdiri dari pohon nyiur, aren, lontar dan sagu.
Jejak lainnya adalah sebutan untuk nasi. Orang Jawa menyebut nasi sebagai sego, sementara orang Sunda menyebut nasi sebagai sangu. Sego dan sangu ditengarai meneruskan atau berasal dari kata sagu. Jejak lain ada pada sebuah panganan yang terbuat dari tepung yang dinamakan sebagai sagon. Meski kini tak terbuat dari tepung sagu, melainkan tepung beras, diberi gula, garam dan parutan kelapa lalu dipanggang, namanya adalah sagon. Sagon kemungkinan besar berasal dari kata sagu.
Bukti lain yang lebih menyakinkan adalah adanya hutan sagu, tumbuhan sagu yang hidup secara alami yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara, mulai dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku hingga Papua.
Cerita tentang sagu liar mampu membuat orang bertahan dalam hutan, dikisahkan dalam sejarah tentara Jepang yang melarikan diri masuk dalam hutan. Tentara yang diketemukan pada tahun 1982 di Halmahera itu selama 35 tahun bertahan dengan makan sagu. Jepang kemudian peduli dan semangat untuk meneliti Sagu sebagai sumber pangan alternatif.
Kebiasaan makan sagu sampai sekarang masih ditemui di sebagian masyarakat nusantara terutama di Indonesia bagian timur. Di Sulawesi masih terkenal olahan sagu sederhana yang disebut Kapurung, Sinonggi, Ilabulo dan Sagu Porno {sagu bakar}.
Di Maluku dan Papua, masih mudah ditemui Sagu Lempeng dan Papeda.
Selain Sagu, masyarakat Nusantara waktu itu juga lazim mengkonsumsi umbi-umbian seperti ubi jalar, keladi, suweg, gadung dan lain sebagainya.
Kedatangan bangsa-bangsa dari luar Nusantara kemudian memperkenalkan makanan pokok baru dan tumbuhan penghasilnya.
Orang India dan Tiongkok konon memperkenalkan beras serta padi sebagai tumbuhan penghasilnya.
Padi mulai ditanam di jaman kerajaan kuno nusantara, di masa Hindu dan Budha. Selain tertulis dalam beberapa naskah kuno, di candi Borobudur juga ada relief tentang padi dan tumpeng yang merupakan wujud olahan makanan dari padi yang dianggap sakral.
Meski demikian ada catatan lain bahwa kemungkinan besar padi liar atau padi asli tumbuh di bumi nusantara. Jauh sebelum masyarakat nusantara mengkonsumsi padi putih, ada catatan sejarah soal padi hitam.
Apapun itu padi kemudian didomestifikasi dalam bentuk cerita-cerita rakyat tentang asal usul padi. Cerita tentang asal-usul padi dan upacara terkait dengannya ada di seluruh penjuru Nusantara.
Kedatangan bangsa Portugis juga membawa tumbuhan penghasil umbi yang kemudian lazim dikonsumsi sebagai makanan pokok. Portugis datang membawa singkong atau ketela pohon yang asalnya dari Amerika Selatan.
Singkong oleh orang Portugis dibawa ke Maluku dan diperkenalkan sebagai castila {baca : kastiya}. Dan kini orang Maluku menyebut singkong atau ubi kayu dengan sebutan kasbi.
Kelak ketika penduduk Jawa bertambah dengan cepat, singkong kemudian dibudidayakan besar-besaran di pulau Jawa. Singkong menjadi salah satu penanda generasi. Muncul anak singkong yang merujuk pada mudahnya orang tua di jaman itu memproduksi anak seperti halnya menanam singkong. Anak singkong juga menjadi istilah yang diperlawankan dengan anak keju. Anak singkong adalah anak bumiputera, ditumbuhkan berdasarkan alam. Sementara anak keju adalah anak-anak Belanda, atau anak-anak yang kebarat-baratan.
Di masa penjajahan Belanda, singkong juga menjadi komoditas perdagangan internasional. Singkong dieksport dalam bentuk tepung tapioka. Olahan singkong itu dipakai sebagai bahan pembuat lem, permen karet, tekstil dan perabot {meja, kursi, lemari}.
Selain singkong, orang Portugis juga memperkenalkan jagung. Nama Portugis jagung adalah milho. Jejak nama ini masih bisa ditemukan di Sulawesi Utara, disana jagung disebut dengan nama milu.
Jagung kemudian lazim dikonsumsi sebagai makanan pokok penganti nasi. Sebutannya nasi jagung yang dibuat dari biji jagung kering yang kemudian digiling kasar seukuran beras. ‘Beras jagung’ dimasak dengan cara dikukus.
Umumnya orang memasak beras jagung dicampur dengan beras putih. Karena dikukus, maka sebelumnya beras jagung dan beras putih jika dicampur akan direndam lebih dahulu.
Kebiasaan makan beras jagung ini ada di banyak daerah. Namun kini bisa jadi masih populer di Madura dan Nusa Tenggara Timur.
Di tanah Timor itu dikenal masakan semacam bubur yang disebut Jagung Bose. Sementara di Gorontalo orang masih terbiasa sarapan dengan Milu Siram, masakan semacam sup yang terbuat dari jagung. Sebutan lain dari milu siram adalah Binte Biluhuta.
-000-
Setiap bangsa pasti mempunyai sejarah makannya sendiri-sendiri. Perjumpaan dengan bangsa lain dalam semangat keterbukaan kemudian menghasilkan pengayaan atau adaptasi baru pada pola dan jenis makanan serta proses pengolahannya.
Apa yang dikenal atau diperkenalkan oleh bangsa lain bukan sekedar diadopsi dan diadaptasi melainkan juga didomestifikasi. Salah satu contohnya adalah padi yang kemudian menjadi salah satu bahan pangan yang banyak mengalami spiritualisasi. Di berbagai penjuru nusantara ada banyak upacara tradisional yang berhubungan dengan padi. Menanam, memanen dan memakan padi berhubungan dengan sakralitas.
Tumbuhan penghasil pangan yang diperkenalkan oleh bangsa lain dan kemudian tumbuh subur di tanah Nusantara membawa spektrum yang luas dalam keragaman pangan. Banyaknya pangan alternatif kemudian berkembang menjadi budaya material dalam wujud keragaman kulinet yang sangat kaya.
Kini pangan itu kerap disebut sebagai makanan lokal. Dianggap hanya berkembang pada komunitas tertentu. Padahal senyatanya apa yang disebut pangan lokal bermuasal dari pangan dunia. Maka tidaklah salah jika menyebut pangan nusantara sejatinya adalah pangan dunia.
Jika kemudian tumbuh semacam kelas pangan, hal ini diakibatkan oleh politik pangan yang diterapkan oleh sebuah regim. Keragaman pangan nusantara gagal dipertahankan karena regim orde baru kemudian menempatkan beras sebagai makanan pokok yang utama.
Karena kebijakan ini kemudian keragaman pangan pokok kemudian terbunuh, sebab sehari-hari memakan nasi jagung, tiwul, ubi atau sagu akan dianggap sebagai masyarakat miskin, masyarakat tertinggal.
Padahal ketika hanya beras dianggap sebagai makanan pokok, maka disaat itu pula muncul istilah rawan pangan. Rawan pangan adalah ketika banyak area penanaman padi mengalami kegagalan panen dan cadangan beras menipis.
Bumi Nusantara sesungguhnya lumbung pangan dunia selama kita tidak terkungkung dalam politik pangan orde baru yang diteruskan oleh orde selanjutan yang menyebut diri sebagai orde reformasi.
sumber gambar : kumparan.com