KESAH.ID – Sejak jaman orde baru, kota-kota mempunyai motto. Obsesi kota masih pada kebersihan, keindahan, keamanan, kenyamanan dan lainnya. Tapi makin lama obsesi kota-kota makin tinggi, mottonya makin canggih dan tak jarang sungguh kelewatan. Motto kemudian lebih sering mewakili keinginan dari para penyelenggara kota ketimbang mewakili corak dan dinamika kehidupan yang khas dari kota itu. Penyelenggara pemerintahan dengan bangga mendeklarasikan moto atau label kotanya, sementara warganya tertawa karena yang ditetapkan sungguh kocak adanya.
Setiap kota selalu punya julukan, baik yang didasarkan pada persepsi orang atau masyarakatnya maupun yang coba dirumuskan berdasarkan visi misi, selera atau keinginan pemimpinnya.
Kota tempat kelahiran saya, Purworejo sering disebut sebagai kota pensiunan. Muasalnya karena banyak Purnawiran TNI yang merupakan putra asli kelahiran Purworejo. Yang paling terkenal adalah Ahmad Yani, lalu ada Urip Sumoharjo, Pranoto Reksasamudera, Sarwo Edhie Wibowo, Endriartono Sutarto dan lain-lain.
Rasanya waktu itu tak ada yang keberatan dengan selentingan kota pensiunan, julukan itu cenderung diamini karena banyak orang Purworejo memang merantau dan nanti pulang kembali setelah pensiun.
Karakter Purworejo memang cocok untuk pensiunan, daerahnya cenderung tenang dan tumbuh pelan. Berpuluh tahun saya tinggal disana hampir tak ada perubahan yang mencolok. Pemandangan yang dominan adalah hamparan sawah luas dengan latar perbukitan dan gunung.
Saya lupa persis tahun berapa, Purworejo kemudian mengemakan slogan ‘Berirama’, bersih, indah, rapi, aman dan nyaman. Kemana-mana saya selalu bertemu slogan itu karena ditulis pada bodi mobil angkutan kota.
Kelak ketika saya mulai berkelana dari kota ke kota, ternyata semua mempunyai slogan yang hampir serupa.
Ketika saya melanjutkan sekolah ke Magelang tepatnya di Mertoyudan. Mobil angkot bertuliskan ‘Harapan’. Hidup, aman, rapi, asli lan nyaman.
Lalu saya menyeberangi lautan, meninggalkan tanah Jawa menuju Sulawesi melalui Tanjung Priok menuju Bitung. Sesampai di Bumi Nyiur Melambai, saya kemudian tinggal di Kota Manado. Kota itu mempunyai slogan ‘Bersehati’. Akronim dari bersih, sehat, aman, tertib dan indah.
Selain ditulis di badan angkot, slogan ini juga diabadikan sebagai nama sebuah pasar yakni Pasar Bersehati yang dulunya sering disebut Pasar Jengki.
Pasar yang dulu dikenal jorok itu kemudian sering dipakai untuk plesetan atau olok-olok bersehati dengan kepanjangan berak sesuka hati.
Sepanjang saya tinggal di Kota Manado, ada beberapa julukan, slogan atau moto yang berkembang dari waktu ke waktu. Manado pernah menyebut diri sebagai green and clean city, dalam konteks kerukunan Manado menyebut diri sebagai Kota Torang Samua Basudara. Lalu ditingkatkan menjadi Kota Kasih.
Mempunyai Taman Nasional Laut Bunaken, Manado kemudian menyebut dirinya sebagai Kota Wisata Dunia. Dan merangkum semua hal baik tentang kota ini, Manado membranding dirinya dengan sebutan Kota Tinutuan.
Tiba saatnya saya meninggalkan kota yang berkembang pesat karena reklamasi pantai sepanjang Teluk Manado yang belum selesai hingga hari ini.
Saya menyeberang ke salah satu pulau terbesar di Nusantara, Pulau Borneo. Kali ini tidak lagi menaiki kapal laut tapi kapal terbang.
Turun di Kota Minyak Balikpapan, saya menuju Samarinda dengan Bus AKAP melewati Bukit Suharto. Impresi pertama saya pada Samarinda adalah Sungai Mahakam dan permukiman di sepanjang sungai.
Ternyata Samarinda menyebut dirinya sebagai Kota Tepian. Tepian dalam arti senyata-nyatanya karena kota ini memang berada di tepian aliran sungai.
Ketika mulai membaca beberapa catatan tentang kota ini, Samarinda memang terus bergulat dengan tepian sungai.
BACA JUGA : Keberatan Nama
Samarinda mulai menata diri semenjak jaman Walikota Kadrie Oening. Tepian sungai mulai dari Mahakam dirapikan. Rumah rakit dan rumah panggung tepian sungai dibongkar, warganya direlokasi di beberapa kawasan permukiman baru.
Namun pola ini tak bisa dilanjutkan, kebijakan keuangan pemerintah tak lagi memungkinkan untuk mengganti rugi rumah yang dibongkar dengan tanah dan rumah baru di lokasi yang dimungkinkan untuk membangun permukiman.
Normalisasi, revitalisasi tepian sungai atau apapun istilahnya kemudian mengendur di masa pemerintahan Ahmad Amins dan Sjaharie Jaang. Namun menjelang berakhirnya periode kedua pemerintahan Sjaharie Jaang, pembongkaran permukiman tepian Karang Mumus kembali dilanjutkan.
Samarinda seperti kisah dibalik namanya memang lekat dengan air. Air yang kemudian semakin hari semakin dipandang sebagai masalah karena pemeliharaan badan-badan air diabaikan. Ruang air diokupasi untuk permukiman, bukan hanya tepian sungai, anak sungai dan cucu sungainya tetapi juga ruang-ruang genangan seperti rawa-rawa yang kemudian hilang.
Samarinda kemudian kekurangan ruang parkir air sementara sebelum dialirkan ke outlet untuk mengirim air ke laut secepat mungkin yakni Sungai Mahakam.
Menggantikan Sjaharie Jaang, Walikota Andi Harun langsung ngebut. Bukan hanya tepian Sungai Karang Mumus yang dibersihkan. Got, parit dan saluran drainase juga dibongkar habis hampir bersamaan di berbagai ruas jalan.
Pembongkaran yang kerap membuat warga Samarinda mesti berputar-putar untuk mencapai tujuan. Yang tak terlalu hafal bisa-bisa hilang jalan. Seperti seorang anak yang berangkat dari Jalan Merdeka mau ke Jalan Belibis tapi malah mlipir sampai ke Kuburan Kampung Jawa belakang Rumah Sakit Dirgahayu.
Ketika Samarinda masih sepenggal wilayahnya di masa kolonial Belanda, residensial Samarinda pernah menata airnya dengan membuat kanal-kanal. Samarinda mau dibangun seperti Amsterdam kecil.
Kanal-kanal itu mungkin masih tersimpan dalam memori para senior citizen Kota Samarinda yang makin sedikit jumlahnya dimakan usia. Tapi dalam faktanya, kanal itu tak lagi kasat mata karena sebagian besar ditelan oleh perkembangan permukiman dan infrastruktur kota.
Entahlah apakah Andi Harun terinspirasi oleh kanal-kanal Belanda atau tidak. Namun kalau boleh saya duga mungkin tidak. Konsepsi dibalik revitalisasi got, parit atau saluran air adalah drainase, saluran untuk membuang air permukaan secepat mungkin ke laut.
Drainase, berbasis pada kata to drain atau mengeringkan. Sementara kanal-kanal Belanda dimaksudkan untuk membagi air, memberi ruang pada air sehingga tetap bisa dimanfaatkan untuk sarana transportasi air.
Got, parit atau saluran air kita sekarang ini bukan dimaksudkan untuk itu.
Mungkin ini yang kemudian membuat slogan Tepian menjadi tak berbunyi lagi karena diganti dengan moto Samarinda Pusat Peradaban.
Dulu Samarinda dibangun dengan konsepsi peradaban air sehingga menjadi kota air. Namun karena berkembang menjadi kota banjir, peradaban baru yang hendak dibangun di Kota Samarinda adalah membuang air agar tak menjadi genangan.
Jika tak hati-hati, peradaban baru ini bakal membuat Samarinda mungkin saja bebas dari banjir tetapi bakal rawan kekurangan air karena semua airnya dibuang kelaut lewat Sungai Mahakam.
BACA JUGA : Mas Anies
Tak salah untuk memberi ‘pujian sementara’ setinggi langit kepada Walikota Andi Harun atas inisiatifnya. Apresiasi masyarakat yang mungkin akan memenangkan dirinya secara menyakinkan dalam pilkada serentak 2024 ini.
Namun dampak dari pembangunan yang dilakukan selama ini utamanya yang bertujuan mengatasi banjir di Kota Samarinda mesti diuji hingga 5 sampai 10 tahun ke depan. Fakta keberhasilan mengatasi banjir di titik tertentu seringkali anekdotal, karena kerap bermakna memindah banjir ke tempat lainnya.
Hanya kalau boleh dikritisi maraknya pembangunan fisik sepertinya tak punya ikatan yang kuat dengan narasi Samarinda sebagai Kota Pusat Peradaban.
Untung saja baru-baru ini, Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata {Ekonomi Kreatif} Kota Samarinda dengan asistensi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menetapkan Samarinda sebagai Kota Kreatif Musik.
Sebagai orang yang awam musik namun sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Kota Samarinda tentu saja saya terhenyak. Dan saya yakin mereka yang mengamati atau memperhatikan musik di Kota Samarinda akan lebih terkaget-kaget lagi.
Penetapan yang konon lahir dari penilaian dan serangkaian Focus Group Discussion ini jatuhnya seperti ilham atau wahyu yang turun dari langit.
Mungkin Samarinda ingin menyusul Kutai Kartanegara yang sebelumnya sudah ditetapkan menjadi Kota Kreatif Seni Pertunjukan dan Balikpapan yang ditetapkan sebagai Kota Kreatif untuk Games Developer.
Tapi menetapkan Kota Samarinda sebagai Kota Kreatif Musik sungguh kocak.
Seorang teman yang tak perlu diragukan lagi pengetahuan dan pengalamannya dalam permusikan di Kota Samarinda lewat pesan di WAG mengatakan “Nyari band yang bener aja susah. Band cover banyak, band copy paste juga banyak”.
Dia menambahkan “Orangnya muter-muter aja. Itu-itu saja. Kreatif begimana nya?”
Tapi ya sudahlah, mungkin kita lupa kalau peradaban adalah puncak dari kreatifitas, inovasi dan kejeniusan masyarakat setempat.
Kita lebih suka menjadi sesuai yang kita inginkan. Walau keinginan itu kerap kali dicantolkan jauh tinggi diatas awang-awang.
Bisa jadi ini bentuk keberhasilan dari sebuah nasehat para tetua yang kerap mengatakan “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”.
Nasehat yang tidak riil memang lebih sering berhasil daripada buanglah sampah pada tempatnya.
note : sumber gambar – DREAM