Lelah dibayar dengan kecewa. Begitu kira-kira gambaran perasaan anggota koalisi yang mendukung pasangan Prabowo – Sandi dalam pemilu 2019, begitu melihat Prabowo bergabung dengan Koalisi Indonesia Kerja sebagai Menteri Pertahanan.

Bergabungnya Prabowo tentu saja dengan Gerindra ke kubu lawan dalam kontestasi pemilu 2019 menjadi antitesis dari pertempuran dua koalisi politik dalam pemilu presiden yang sempat membelah publik menjadi dua kubu.

Perkubuan dalam pilpres 2019 dimulai dari dua koalisi satu hati, yang menghasilkan dua blok politik yaitu Koalisi Indonesia Adil Makmur dan Koalisi Indonesia Kerja.

Karena yang bertarung hanya dua kubu maka pertarungan menjadi hitam putih. Antara si buruk dan si baik. Masing-masing kubu mengklaim dirinya sebagai si baik dan menganggap yang lain sebagai si buruk.

Narasi di bangun oleh masing-masing kubu. Bukan narasi substansial melainkan justru narasi yang menimbulkan panas dan bara di publik.

Media sosial dan media massa menjadi arena pertempuran. Masing-masing kelompok menunjukkan diri seolah solid.

Usai pemilu, prediksi perolehan angka bisa dengan cepat diperoleh melalui melalui quick count.

Sebagai ilmu dan metode, quick count sudah teruji dan terbukti presisi antara prediksi dan hasil perhitungan penyelenggara pemilu.

Sebelum pemilu tak ada yang menyoal quick count. Bahkan hampir semua organ politik menggunakan jasa lembaga riset dan konsultan politik yang di hari pemungutan suara melakukan quick count.

Sesaat setelah pemunggutan suara, koalisi masih satu hati. Ada yabg bersorak menang ada yabg merasa dicurangi atau dirampok kemenangannya.

Seiring dengan waktu, koalisi pemenang mulai berhitung take and give-nya. Yang kalah mulai terlihat gejala mencari jalan penyelematan masing masing.

Koalisi satu hati mulai bergeser menjadi koalisi setengah hati. Safari-safari politik mulai dilakukan. Manuver ini mulai membuat khawatir baik di internal maupun eksternal koalisi. Ada kemungkinan koalisi bubar, perluasan koalisi dan munculnya koalisi baru.

Koalisi pada dasarnya adalah persekutuan antar organ untuk tujuan tertentu.

Koalisi pemerintahan di Indonesia muncul paska reformasi ketika tidak ada partai politik yang dominan perolehan suaranya. Partai yang memenangkan pemilu presiden misalnya khawatir pemerintahannya tidak akan stabil apabila tidak mendapat sokongan mayoritas suara di DPR.

Oleh sebab itu partai pemenang pemilu kemudian mengajak partai lain yang mempunyai wakil di DPR untuk bergabung atau mendukung pemerintah sehingga ada sebutan partai pendukung pemerintah.

Mereka yang tidak mendukung kemudian disebut dengan partai oposisi. Namun yang beroposisi tidak selalu berada dalam koalisi oposisi murni. Ada juga yang memainkan politik dua kaki. Kanan kiri oke.

Di masa orde baru dan masa awal orde reformasi, koalisi lebih dikenal sebagai model persekutuan atau aliansi masyarakat sipil untuk melawan regim dan menjaga amanat reformasi.

Koalisi ini umumnya dimotori oleh LSM, Mahasiswa dan kelompok kategorial.

Kita mengenal banyak koalisi seperti Koalisi Perempuan Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Informasi, Koalisi Buruh dan lain sebagainya. Sedangkan pada kelompok mahasiswa koalisi biasanya bersifar taktis atau temporer ketika mengangkat isu tertentu.

Namun pada umumnya koalisi memang bersifat temporer dan taktis. Koalisi dibentuk lebih untuk tujuan berjangka pendek dan praktis sehingga koalisi kerap dengan mudah dikacaukan atau diganggu dimana salah satu atau beberapa anggota koalisi ditawari ‘sesuatu’ yang lebih menarik ketimbang yang bisa diperoleh dari koalisi oleh pihak lainnya.

Koalisi menjadi mudah goyah bila tidak bersifat ideologis dan tidak diikat oleh etika koalisi yang kuat.

Dan itulah yang kerap kali terjadi dalam koalisi politik kita. Sehingga kebanyakan koalisi politik berakhir dengan koalisi patah hati.

Adalah sah untuk memenangkan sesuatu seseorang atau sekelompok orang menggunakan segala cara untuk meraihnya.

Bahkan sebuah keputusan misalnya keputusan hukum yang didasarkan atas bukti dan perundang-undangan bisa dipengaruhi dengan tekanan publik.

Menggabungkan kekuatan dalam sebuah koalisi merupakan salah satu pilihan jalan.

Kekuatan yang beragam akan memperluas sumberdaya termasuk kepentingan. Semakin besar jumlah yang berkepentingan, strategi untuk meraih kemenangan akan semakin efektif.

Koalisi yang solid bisa dibangun oleh kelompok yang sebenarnya berseberangan atau tak sepaham. Namun kemudian mereka bertemu dalam kepentingan yang sama.

Maka ketika langkah untuk meraih kepentingan yang sama tidak tercapai, koalisi itu dengan sendirinya akan bubar baik dibubarkan maupun bubar sendiri karena ada anggota koalisi yang kemudian berpaling pada koalisi lainnya karena kepentingan mereka diakomodir.

Hanya saja tidak semua bisa menerima kenyataan seperti ini. Maka tindakan seseorang atau sekelompok orang yang melompat atau menyeberang ke sebelah selalu akan meninggalkan sakit hati pada beberapa kelompok yang ditinggalkannya.

Kelompok yang sakit hati biasanya kelompok yang mengklaim sebagai pendukung kuat atau penyokong paling digdaya namun sebenarnya lemah secara infrastruktur politik.

Sehingga ketika ditinggal mereka menjadi benang yang basah. Eksistensinya masih ada namun tak punya cukup kekuatan untuk menekankan kepentingan mereka secara mandiri.

Maka hati hatilah berkoalisi. Jangan terlalu percaya atau mempercayakan harapan semata-mata pada koalisi. Sebab dalam koalisi yang terjadi sesungguhnya masing masing saling menunggangi. Dan yang lain akan bertahan adalah yang mampu mencari tunggangan lain ketika yang ditunggangi ambruk.

Jadi biar tetap eksis, rajin rajinlah berlatih menunggang kuda.