KESAH.IDDrama politik pilkada serentak segera akan memasuki tahap akhir. Kisah-kisah yang diduga-duga akan segera kelihatan ending-nya. Keriuhan yang begitu panjang mulai dari pra pemilu presiden 2024 hingga pilkada serentak bakal segera luruh, berganti dengan harapan yang diobral di masa kampanye namun belum tentu terwujud. Politik memang drama, walau idealisasi sungguh mulia. Politik memang selalu diimpikan sebagai cara mengatur kehidupan bersama agar bermakna untuk semuanya.

Mau tak mau setiap bulan Desember saya harus ikut dalam pentas drama kelahiran Yesus Kristus. Walau terpaksa pada akhirnya toh saya senang-senang saja.

Biasanya saya akan memilih peran sebagai pengembala saja, peran yang gampang ketimbang menjadi 3 raja atau pemilik penginapan. Dan sebisa mungkin saya menghindari dipilih menjadi Yusuf, suami Maria bunda Yesus.

Menjadi Yusuf artinya akan berpasangan dengan Maria, saya malu. Soalnya peran itu bisa jadi bahan poyokan, gurauan yang bernada mengolok-olok atau menjodoh-jodohkan.

Dalam drama natal, peran Yusuf merupakan salah satu peran utama. Banyak yang mesti dihafal dan di-aktingkan. Saya merasa tak berbakat, sulit bagi saya merubah-rubah cara bicara apalagi merubah mimik.

Masalahnya mimik saya standar aja, standar anak-anak kampung yang konstan memasang pose memelas agar dikasihani. Sayangnya walau berwajah memelas ternyata tak mempan menarik simpati dan empati orang lain.

Artinya memang saya tak berbakat memainkan drama. Persingungan saya dengan drama sejatinya bernuansa murung.

Di sekolah juga ada drama yang mesti dimainkan. Biasanya pada saat Persami atau Perkemahan Sabtu Minggu, setiap group diminta memainkan fragmen kecil dengan cerita perjuangan. Kisah favorit yang biasa dimainkan adalah Gerilya Jendral Sudirman dan Perang Diponegoro.

Semua dilakukan serba dadakan, improvisasi. Tapi tetap menyenangkan terlebih jika berperan menjadi Jenderal Sudirman yang naik tandu.

Rasanya di SMP dan SMA, saya tak lagi memainkan drama.

Ibarat malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih ternyata sampai saya sekolah di Sekolah Tinggi masih saja diajak untuk memainkan drama.

Kebanyakan rencana pementasan drama selalu kurang orang. Saya selalu diajak untuk menjadi penggenap.

Seiring dengan waktu drama yang mesti saya ikut perankan makin tidak sederhana. Drama bukan lagi fragmen dadakan, tetapi pementasan serius yang dilabeli sebagai teater.

Saya makin merasa tidak berbakat.

Sebab teater sungguh tidak sederhana, teater bukan sebuah pementasan drama yang begitu saja karena ada pendalaman dalam setiap tarikan nafas, ucapan dan gerak tubuh. Semua dimaknai.

Teater sangat filsafati. Mestinya relate saja dengan saya karena saya belajar filsafat secara formal di Sekolah Tinggi.

Tapi rasanya setiap kali berbicara atau terlibat dengan para pegiat teater pikiran saya tidak nyambung. Saya tak berpikir sedalam mereka walau saya diajarkan untuk menyelami realita sedalam mungkin.

Mungkin saya lupa kalau drama adalah bagian dari sastra. Dan saya jarang membaca buku naskah drama yang memang teramat jarang dibukukan di Indonesia.

Dalam konteks penghargaan Nobel dalam bidang sastra, ternyata ada 20-an orang peraih hadiah Nobel sastra adalah penulis naskah drama.

Sastra memang dekat dengan filsafat. Nama-nama seperti Voltaire, Jean Jacquez Rousseau, Montesque, Denis Diderot, Rene Decartes juga dikenal sebagai penulis karya sastra.

BACA JUGA : Fast Food

Drama dan teater adalah kehidupan di panggung dunia. Dunia memang dipenuhi oleh drama atau sandiwara.

Walau tak berbakat memainkan atau menuliskannya, drama, sandiwara atau teater menarik perhatian kita.

Saya ingat di jaman radio begitu digdaya, drama radio berjudul Butir-Butir Pasir Di Laut mampu menyedot perhatian. Membuat orang khusyuk berkumpul di depan radio. Demikian juga ketika disiarkan drama legenda Brama Kumbara.

Di panggung pertunjukan dari Teater Ketjil, Bengkel Teater, Teater Koma, Teater Gandrik dan lainnya juga ditunggu. Pertunjukannya selalu menimbulkan kejutan, sesekali bahkan membuat regim tersinggung dan marah. Pertunjukan teater kerap tak memperoleh ijin.

Drama dan teater kemudian merambah ke televisi. Pertunjukannya menjadi lebih terkenal karena disiarkan sebagai sebuah serial.

Sebuah serial dengan judul Losmen menjadi salah satu pionernya. Mesti menampilkan kisah keseharian yang ringan dengan latar sebuah penginapan, serial ini tertanam kuat dalam benak pemirsanya.

Para pemeran atau pemainnya adalah sosok-sosok yang malang melintang dalam dunia teater dan seni peran seperti Eeng Saptohadi, Ida Leman, Mathias Muchus, Dewi Yull, Mang Udel, Sutopo HS, Mieke Wijaya dan lain-lain.

Drama atau sinema eletronik yang punya kekuatan teaterikal lainnya adalah Keluarga Cemara. Naskah garapan Arswendo Atmowiloto ini dengan apik diperankan oleh Adi Kurdi.

Sinetron lain yang bertabur aktor-aktor teater adalah Preman Pensiun. Disana ada Didi Petet, Epy Kusnandar, Mat Drajad, dan lain-lain.

Namun sinetron dengan kekuatan drama dan teater tidak menjadi mainstream di televisi. Sinema elektronik di televisi kemudian lebih diisi oleh serial-serial yang lebih mengaduk-aduk emosi dengan taburan bintang-bintang yang lebih menjawab kebutuhan mata penonton. Akting dibanting oleh body dan wajah.

Drama para bintang populer ini kemudian menerobos layar kaca. Kehidupan keseharian mereka menjadi sajian drama tersendiri lewat moda siaran dengan nama infotainment. Yang diudar adalah gosip-gosip panas, yang kebanyakan merupakan peristiwa setting-an.

Baru bermain satu seri, nama dan wajahnya hari-hari muncul di layar televisi dan lembar media lainnya. Entah karena cinlok, putus nyambung, selingkuh atau konflik-konflik lainnya.

Algoritma media yang terpenting adalah popularitas, wajah dan namanya selalu muncul apapun penyebabnya.

Hingga kadang kita jadi heran, orang ini artis apa?. Kok hari-hari wajahnya berseliweran di media dan linimasa.

Kita tak bisa membedakan, dia tengah akting atau tidak.

Televisi dan media sosial membuat drama menjadi merasuk dalam kehidupan keseharian. Tanpa drama tak akan terkenal. No drama no viral.

BACA JUGA : Endorse Politik

Politik yang pada dasarnya merupakan cara untuk mengatur kehidupan bersama agar bermakna untuk semua orang kemudian juga disusupi oleh drama. Drama politik bahkan mengalahkan drama-drama lainnya.

Seni peran, pengkaryaan sastra bahkan komedi juga tenggelam karena politik. Narasi, kisah dan plot politik lebih menarik perhatian, pentasnya gratis dan dipanggungkan tanpa mengenal waktu.

Drama politik merampas hampir seluruh waktu, membuat kita tak bisa lari darinya.

Setelah bertahun tenggelam dalam drama politik pemilu presiden 2024, kita kembali dibenamkan dalam drama politik pilkada serentak 2024. Kita bukan hanya dalam tahun, tetapi bulan, minggu, hari, jam dan detik-detik politik.

Dalam lanskap politik pilkada serentak ada drama nasional, regional dan lokal. Semua berkelindan membentuk pusaran dalam silang sengkarut yang tak mudah diurai. Politik bukan lagi substansi tentang menjawab masalah rakyat dan kehidupan bersama, tapi menarik pilihan dengan drama-drama yang mengedepankan emosi.

Dramanya adalah tentang menang. Padahal idealisasi politik elektoral adalah tentang pemilih yang cerdas dan calon yang berkualitas.

Konsultan politikpun tahu, mereka disewa bukan untuk mencerdaskan pemilih melainkan memenangkan calon. Moral minimalnya adalah memenangkan calon tanpa membodohi pemilih.

Di Kalimantan Timur, terkhusus pada pilkada Gubernur Kaltim  dan pilkada Walikota Samarinda tersiar kabar petahana akan mendaftar melalui jalur independen atau perseorangan. Sebuah pilihan jalur pencalonan yang menimbulkan pertanyaan.

Calon walikota Samarinda ternyata memang mendaftar lewat jalur perseorangan, sementara calon gubernur urung.

Wakil Walikota petahana Kota Samarinda berupaya untuk maju menjadi calon lewat jalur partai. Namun bahkan partainya sendiri ternyata tidak merestui. Partai-partai tak punya calon, yang bertabur justru calon wakil walikota yang berebut melamar menjadi pasangan dari walikota petahana.

Pendaftaran lewat jalur perseorangan kemudian dibatalkan oleh walikota petahana. Dan kemudian hampir semua partai diborong olehnya untuk maju melalui jalur partai. Akhirnya sampai pendaftaran ditutup dan diperpanjang tak ada calon lain yang mendaftar.

Ada Aliansi Kotak Kosong yang muncul di Kota Samarinda namun sepertinya tidak menyasar pilkada Kota Samarinda melainkan untuk menyerang kecenderungan calon gubernur yang bernafsu memborong semua dukungan partai untuk menghambat gubernur petahana maju kembali dan kesulitan mencari dukungan partai.

Akhirnya gubernur petahana memang mendapat dukungan dari partai politik dan berhasil maju di detik-detik terakhir menjelang penutupan masa pendaftaran.

Drama lain muncul yang menghubungkan antara Kota Samarinda dan Provinsi Kaltim. Foto dari calon walikota Kota Samarinda muncul dalam alat peraga kampanye dari calon gubernur petahana. Mereka memang punya kedekatan politik sebelumnya. Namun dalam konteks pilkada keduanya beda koalisi.

Calon walikota Samarinda sepertinya main dua kaki.

Politik memang tidak hitam putih maka plot dramanya memang kerap tak terduga.

note : sumber gambar – RMOL