KESAH.ID – Samarinda bisa dikatakan sebagai kota air, kota dengan budaya air. Di masa Hindia Belanda disebut dengan Amsterdam Klein karena kanal-kanalnya menyerupai yang ada di Kota Amsterdam. Namun pembangunan di Kota Samarinda setelah masa kemerdekaan cenderung berkonsepsi daratan, pembangunannya kemudian tidak berkesesuaian dengan air seperti tercermin dalam kata asal sama randah. Banjir makin hari makin menjadi keseharian Kota Samarinda karena air kehilangan tempatnya.
Saya tak pernah membayangkan akan tinggal di Samarinda, tentang Kalimantan yang ada di kepala saya justru Pontianak. Karena tetangga sebelah rumah yang bekerja sebagai pelaut menikah dengan orang Kalimantan Barat.
Daerah lain yang selalu ada dalam kepala saya adalah Irian Barat, sebutan untuk Papua waktu itu.
Saya ingin ke Papua karena keindahan alam dan budayanya sebagaimana saya baca-baca di artikel majalan langganan ibu saya. Dan niat itu makin mengental ketika ada teman bapak, mampir sambil membawa oleh-oleh dari Papua, tas noken dan kapak batu.
Tas noken itu saya pakai sebagai tas sekolah. Terbuat dari kayu tas itu kuat hanya saja kalau terkena hujan seperti mengkerut.
Dan Manado kemudian menjadi tujuan, jalan untuk pergi ke Papua kelak.
Namun rencana yang ada di kepala ternyata tak terwujud. Hanya saja Papua tetap di kepala dan mesti dicari jalan lain.
Akhirnya saya mesti terdampar dulu di Samarinda, kota yang sebenarnya asing untuk saya. Kelak dari Samarinda ini saya mendapat ajakan ke Papua, bukan Jayapura, Merauke, Manokwari atau Baliem tapi Sorong dan Raja Ampat.
Dan selama tinggal di Samarinda, sudah empat kali saya ke Papua Barat, Tiga kali ke Sorong dan Raja Ampat, serta satu kali ke Kaimana.
Samarinda justru yang membuka jalan saya ke Papua, kota tepian Sungai Mahakam ini menjadi tempat berlabuh, tempat tinggal saya yang terlama hingga saat ini.
Ketika pertama kali ke Samarinda, melewati Jembatan Mahakam, ada rasa terpana. Sungainya begitu lebar, melintas jembatannya bikin bergidik. Sampai sekarang saya masih tetap merasa tak nyaman saat melewati Jembatan Mahakam terlebih jika naik motor.
Menjadi warga Samarinda kemudian saya mengalami pengalaman baru, dekat dengan banjir. Walau tak tinggal di daerah yang menjadi pelanggan genangan tatkala hujan, tapi wilayah sekitar tempat tinggal saya dikenal sebagai daerah yang sering calap.
Sebutan banjir memang populer di Samarinda. Yang pertama tentu banjir kap, kisah banjir kayu log yang juga berarti banjir uang. Banjir ini menyenangkan bahkan memakmurkan. Di pusat-pusat ekonomi ada cerita tentang uang cash berkantong-kantong.
Banjir kap adalah sebutan, banjir di anak-anak Sungai Mahakam sehingga kayu-kayu log bisa dihanyutkan melalui anak sungai itu menuju Sungai Mahakam untuk dirangkai menjadi rakit lalu dilarutkan menuju tempat penumpukan atau penjualan.
Saya hanya mendengar cerita tentang rakit kayu yang panjangnya bisa kiloan meter itu, yang sudah ditunggu oleh kapal Jepang, Amerika dan Eropa di bandar Samarinda.
Cerita banjir uang karena kayu gelondongan ini, mirip dengan cerita yang saya dengar di Minahasa sewaktu jaya-jayanya cengkeh.
Dua jaman yang berada di tempat berbeda ini sama-sama menghasilkan Orang Kaya Baru, kisah tentang uang bukan tentang dompet tebal, tapi uang karungan.
Tapi saya cuma mendengar ceritanya, walau masih bisa melihat jejak-jejak kekayaan masa itu yang tertinggal dalam wujud bangunan, rumah-rumah orang kaya jaman bahari.
BACA JUGA : Samar Kotak
Sebenarnya sewaktu mulai tinggal di Kota Samarinda saya masih melihat sisa-sisa kejayaan industri kayu yang sedang luruh.
Saat pertama masuk Kota Samarinda dari Kota Balikpapan, bus yang saya tumpangi melewati Daerah Loa Janan Ilir. Di sisi kanan dan kiri jalan ada banyak bangsalan yang masih ditinggali oleh pekerja di pabrik kayu lapis atau plywood yang masih tersisa.
Di depan gang yang mengarah ke Sungai Mahakam masih banyak tulisan Taxi Air. Perahu yang akan membawa pulang pergi ke seberang.
Di titik-titik tertentu aliran Sungai Mahakam selintas masih ditemui deretan kayu gelondongan mengapung di pinggiran.
Setelah itu saya banyak membaca berita di koran tentang dinamika pabrik pengolahan kayu. Pegawainya kadang bekerja kadang dirumahkan. Berita PHK atau pemutusan hubungan kerja tak kalah banyak. Sering juga terjadi demonstrasi, pekerja atau buruh meminta diperlakukan dengan layak oleh pemilik dan manajemen perusahaan.
Cerita tentang pekerja yang lama tidak dibayar, atau hak-haknya tak diberikan sepertinya menjadi cerita biasa.
Seiring dengan luruhnya industri kayu, Samarinda bangkit lagi. Kali ini bukan dengan menebang apa yang ada di atas tanah, tetapi menggalinya.
Batubara menjadi primadona baru, Samarinda kembali booming penduduk lagi.
Sungai Mahakam tak jadi sepi, kalau dulu yang lalu lalang adalah rakit kayu gelondongan dan kapal pengangkutnya, kemudian yang meramaikan Sungai Mahakam adalah ponton pengangkut batubara. Pemandangan Sungai Mahakam dipenuhi oleh gunung hitam berjalan.
Jika dulu sepanjang Sungai Mahakam banyak los-los pabrik pengolahan kayu, pemandangan itu diganti dengan deretan conveyor yang mencurahkan butir batubara ke atas ponton.
Samarinda seperti selalu punya cara untuk keluar dari celah kemerosotan ekonominya.
Masa otonomi daerah memang jadi masa jaya baru. Pemerintah daerah punya kewenangan mengelola sumberdaya alam.
Jika di masa emas coklat muncul orang kaya baru, di jaman emas hitam lebih banyak lagi yang ikut kecipratan. Yang ikut menjadi orang kaya baru bukan hanya yang menambang tetapi juga para perantara, para pelindung, pemberi ijin dan lain-lain.
Pemerintah dengan pendapatan dari batubara juga rajin memberi bantuan sosial atau bansos. Penerima bansos bukan hanya warga miskin tetapi kelompok masyarakat sipil yang piawai mendirikan organisasi.
Orang-orang muda yang civilize pada masa itu tampil mentereng karena guyuran bansos.
Pesta pora itu memang tak lama tetapi cukup meninggalkan cerita.
Perlahan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya alam dipreteli, ditarik lagi ke pemerintah pusat.
Yang dulu kebagian jatah bansos besar kemudian memotori aksi-aksi agar pemerintah nasional memberi dana bagi hasil yang lebih besar.
BACA JUGA : KOPI SAMARINDA
‘Banjir uang’ sampai dengan masa penerapan otonomi daerah ternyata linear dengan banjir air, Samarinda mudah tergenang tatkala hujan.
Penebangan kayu, pembukaan lahan untuk tambang membuat pola limpasan air berubah. Koefisiensi air permukaan makin meningkat. Sebagian besar air hujan tidak tertangkap dan tidak terserap oleh tanah.
Peningkatan jumlah air permukaan atau liaran ini semakin menjadi masalah karena penurunan kualitas ruang-ruang air.
Konversi atau pembukaan lahan yang menghilangkan tutupan vegetasinya membuat tanah mudah tererosi. Badan-badan air menjadi mendangkal, daya tampungnya menjadi berkurang.
Selain itu pertumbuhan permukiman kemudian juga mengkonversi ruang parkir sementara air yakni rawa-rawa baik yang terkoneksi dengan sungai maupun tidak. Samarinda menjadi rawan banjir karena ruang airnya mendangkal dan banyak yang hilang berubah menjadi daratan.
Kehilangan ini tidak dikonpensasi sehingga air kemudian meluap atau mengenangi wilayah-wilayah yang seharusnya tidak digenangi air. Itulah banjir.
Banjir yang dulu dipersepsikan sebagai ‘melimpah uang atau rejeki’ berubah menjadi bencana.
Samarinda menjadi kelebihan air di musim penghujan.
Tapi ada ironi lain, sebagai kota berlimpah air, ternyata Samarinda mengalami masalah dengan ketersediaan air bersih.
Air bersih Kota Samarinda bersumber dari sungai-sungainya.
Kualitas air sungainya tidak bisa dikendalikan, sungai memburuk baik karena perilaku masyarakat, industri maupun dinamika alamnya.
Di musim kemarau, air baku untuk sumber air bersih bermasalah karena air Sungai Mahakam akan meningkat kandungan garamnya. Perusahaan Umum Daerah Air Minum belum punya cukup teknologi untuk melakukan desalinisasi walau masalah ini sudah ada sejak Samarinda ada.
Dan pada musim tertentu, air Sungai Mahakam akan berubah warna mungkin juga berbau. Lagi-lagi masalah ini belum bisa diatasi. Wargapun mengeluh karena air yang dialirkan ke rumah-rumah amat keruh. Jangankan untuk memasak, untuk MCK saja mesti diendapkan lebih dahulu.
Umumnya warga untuk keperluan dapur kemudian memakai air isi ulang, masalahnya sumber air isi ulang juga sama dengan air yang mengalir ke kamar mandi dan wc warga.
Sebagai kota air, kota dengan budaya air, Samarinda kemudian tumbuh tanpa memuliakan air. Hingga kota ini seperti dikutuk oleh air.
note : sumber gambar – SUSUR GANG SAMARINDA