KESAH.ID – Air merupakan kebutuhan essensial manusia. Sama seperti tubuh, sebagian besar bumi adalah air. Namun tidak semua airnya layak sebagai sumber air bersih, baik untuk keperluan MCK maupun konsumsi. Persediaan air yang yang layak pakai atau layak konsumsi yang tidak merata, meski diantisipasi dengan cara menanam, merawat dan memulihkan air.
Hingga sepuluhan tahun pertama tinggal di Kota Samarinda satu hal yang bikin merana adalah air. Pipa yang menyalurkan air bersih dari PDAM kelewat kecil tak sebanding dengan pertumbuhan rumah yang mesti dialiri air olehnya.
Saking jengkelnya karena masalahnya berlarut-larut, saya sampai mengamini kalau PDAM adalah singkatan dari Perusahaan Daerah Angin Melulu.
Karena airnya sering tak sampai, atau hanya menetes seperti air kencing kaum manula, maka jalan satu-satunya adalah menyedot dengan mesin pompa.
Akibatnya menjelang tengah malam hingga memasuki dinihari, saya hampir selalu begadang sambil mendengarkan orkestra bunyi pompa air yang bersahut-sahutan. Saking akrabnya dengan bunyi pompa air, saya bisa membedakan mana bunyi yang menyedot air dan mana bunyi yang hanya menyemburkan angin di kran.
Sebenarnya ada sumur di pojok depan rumah, tapi airnya kurang baik. Terlebih ketika musim hujan, sumur penuh dengan air tanah permukaan, butek atau keruh sekali airnya. Karena kualitas airnya tidak cukup baik sumurnya kemudian ditutup.
Namun kesusahan akibat mati hidupnya air PDAM membuat saya mencintai air hujan. Ya air hujan yang kemudian banyak menyelamatkan sehingga saya sesekali tidak perlu begadang malam-malam.
Dengan berbekal beberapa drum, air hujan yang mengalir lewat talang pada saat hujan deras bisa membuat tandon air penuh untuk kebutuhan satu dua hari kedepan.
Karena kepepet, saya yang waktu itu belum mempelajari tentang rainfall harvesting sudah mempraktekkan panen air hujan dengan teknik seadanya.
Kelak ketika air PAM lancar jaya karena pipanya diganti dengan yang lebih besar, saya justru mulai mempelajari tentang memanen air hujan lewat atap dan talang. Bukan hanya lewat bacaan dan video, tetapi juga ikut belajar di Sekolah Vokasi yang diselenggarakan oleh UGM. Disana saya bertemu dan menimba ilmu dari Bapak Panen Air Hujan, Dr. Agoes Maryono.
Sayangnya sampai sekarang ilmu panen air hujan itu justru belum saya praktekkan karena air PAM lancar jaya, bahkan saking kuatnya tekanan airnya kadang jebol disana-sini.
Justru kini yang bermasalah untuk saya adalah air hujan. Makin hari nampaknya air hujan makin tak terserap oleh tanah karena perkerasan permukaan tanah terjadi dimana-mana. Di permukiman, hampir semua permukaan tanah tertutup oleh semen. Halaman disemen, semua gang disemen, jalanan disemen, got atau parit disemen.
Air hujan yang berlimpah kemudian menjadi air permukaan. Koefisiensi air permukaan yang tinggi atau air hujan yang tak terserap tanah hingga kemudian menjadi air liaran atau run off menyebabkan genangan dimana-mana.
Area sekitar rumah saya memang tidak tergenang, namun wilayah sekelilingnya otomatis akan tergenang begitu hujan deras turun. Dan itu akan menyulitkan atau menganggu perjalan pergi maupun pulang ke rumah. Kalau ngotot memaksa menerobos genangan, motor mesti segera ganti oli. Besoknya rem motor juga akan berbunyi, berderit-derit bikin telinga sakit.
BACA JUGA : Pembaharuan Komunisme
Maka setiap kali hujan deras muncul kegundahan dalam diri saya. Rasanya hujan kok disia-siakan airnya, dibuang begitu saja.
Padahal hujan adalah ibu dari segala air. Tanpa hujan siklus air akan terhenti, air yang dimurnikan lewat penguapan tak bakal turun lagi ke bumi untuk disimpan dan dipanen sebagai sumber air bersih.
Kedudukan hujan sebagai ibu dari segala air makin luntur. Semakin hari hujan lebih sering dianggap sebagai bencana atau bahkan gangguan. Kian hari tak banyak lagi anak-anak main hujan-hujanan, bapak ibu anak-anak jaman ini menganggap bermain air hujan bisa bikin sakit.
Hujan di perkotaan memang identik dengan gangguan, banyak aktivitas terganggu karena hujan. Dan semakin deras dan lama hujannya semakin membuat orang khawatir karena bencana banjir dan longsor akan segera tiba.
Padahal bukan salah hujan kalau kota-kota terendam banjir. Resiko banjir di perkotaan dipicu oleh penggunaan lahan yang tidak berkesesuaian dengan air. Pembangunan perkotaan tidak ramah air.
Pertumbuhan kota selain banyak menghilangkan ruang air karena alih fungsi lahan dan perkerasan permukaan juga membenci air hujan. Kota selalu sibuk dengan drainase, sistem aliran pengering yang bertujuan membuang secepat mungkin air hujan ke laut.
Para pemangku kebijakan dengan semua pembantu dan penasehatnya memang mempunyai alasan teknis keairan untuk giat membangun drainase guna mengatur air hujan. Namun terlalu fokus pada membangun sistem drainase untuk membuang air hujan secepat mungkin agar tak menimbulkan genangan sama artinya melupakan siklus air hujan.
Semua yang pernah sekolah pasti tahu soal siklus air hujan dimana salah satu bagian dari siklus itu adalah ketika hujan jatuh dari langit sebagian besar mesti diresapkan dan ditampung sementara. Air hujan mesti ditangkap oleh bumi, diresapkan untuk menjadi sumber mata air, menjaga kelembaban tanah, tabungan air untuk anak-anak sungai, sumber air untuk tanaman dan lain-lain.
Tanpa memperhatikan satu siklus yang bertujuan ‘menanam’ dan memarkir air hujan, sama artinya dengan mengundang bencana lain yakni kekeringan.
Bukti kota-kota mengalami ‘kekeringan’ sudah jelas, sungai-sungainya jika hujan tak turun dalam beberapa hari saja mulai menghitam. Air kehitaman adalah tanda bahwa pemasok terbesar air sungainya adalah air got, air limbah.
Pemerintah Kota juga mesti menyediakan armada penyiram tanaman. Sebab tanaman atau pohon-pohon di pinggir, tengah atau taman dekat jalanan mesti disiram. Walau ditanam ditanah, pohon tepian jalan atau taman mirip seperti tanaman dalam pot sehingga perlu disiram.
Pohon atau tanaman di perkotaan berada atau dikelilingi oleh tanah yang mengalami perkerasan. Di dalam tanahnya tak cukup tersedia air tanah permukaan. Jadi tanpa asupan air siraman, tanaman dan pepohonan akan merana jika hutan tak turun.
Jika dalam pemberantasan korupsi para penegak hukum sudah mulai memasukkan angka kerugian lingkungan sehingga korupsi di PT Timah bisa mencapai angka 200-an trilyun, dalam urusan membuang-mbuang atau menyia-nyiakan air hujan para penegak dan penjaga lingkungan belum menghitung kerugian dari segala proyek keairan yang bertujuan mengirim air hujan secepat mungkin ke laut.
Soal air hujan yang selalu dihitung adalah kerugian kalau terjadi banjir.
BACA JUGA : Budak Beras
Di setiap gang hampir dipastikan ada depot pengisian air. Saking banyaknya persaingan untuk memberi layanan terbaik juga terjadi. Mengisi gallon air minum tak pelu lagi repot, tinggal taruh gallon kosong di depan rumah dengan uang diikat karet gelang pada leher galon. Lalu kirim pesan ke Mas Galon yang akan segera datang mengambil, mengisi dan mengantar kembali.
Di kios, warung, toko, swalayan berbagai jenis dan ukuran botol serta galon air minum lengkap tersedia. Asal ada uang, kehausan di jalan bukan masalah besar, penjual minuman ada di mana-mana.
Kemudahan memperoleh air ini membawa konsekwensi dalam diri kita menjadi tidak dekat dengan sumber air. Air yang ada di mana-mana membuat kita lupa darimana datangnya air.
Secara kebudayaan Samarinda memang tidak punya tradisi atau upacara yang berkaitan dengan sumber air. Ini bukan berarti secara kebudayaan Samarinda tidak menghormati air.
Ketiadaan ritual atau upacara pada mata air karena sumber utama air bersih untuk Samarinda adalah sungai atau air permukaan. Sungai yang menampung dan mengalirkan air hujan atau air liaran {run off}.
Makanya karakter air sungainya tidak mengalir deras dan cepat, karena sungai-sungai merupakan sarana untuk memanen air hujan, air yang diresapkan ke permukaan, air yang ditampung sementara di rawa-rawa.
Mengandalkan air sungai sebagai sumber air bersih membawa konsekwensi besar yakni menjadi kualitas, kuantitas dan kontinuitas air sungai.
Sungai sebagai ruang air terbuka rawan terpolusi, tercemar atau terkotori. Tanpa menjaga keberadaan ruang lindung sungai niscaya air yang masuk dan mengalir di sungai adalah air yang terpolusi.
Jumlah atau ketersediaan airnya juga mesti terjaga. Artinya ruang resapan dan ruang tangkapan air mesti tersedia agar jumlah air yang masuk ke sungai selalu cukup. Sungai bukan hanya berair saat hujan saja.
Maka menjaga agar tak terlalu berlebihan air di musim penghujan dan kehabisan air di musim kemarau menjadi tantangan bagi daerah yang sumber air bersihnya dari sungai. Kontinuitas air atau ketersediaan air terus menerus sepanjang musim menjadi tantangannya. Termasuk dalam hal ini menjaga keseimbangan air antara hulu dan hilir.
Menjadi sungai hanya sebagai sistem pengaliran dengan cara ‘normalisasi’ untuk mempercepat aliran air hanya akan menyebabkan kebanjiran di hilir dan kekeringan di hulu.
Salah satu salam yang sekarang sering terucap adalah ‘Salam Budaya’, walau entah apa yang ada dalam benak mereka yang sering mengucapnya.
Hanya saja dalam soal air, air bersih dan sungai sebagai sumbernya salam ini menjadi kehilangan makna karena kita kehilangan budaya menghormati, merawat, menjaga dan memulihkannya.