Saya mesti menuliskan peristiwa pengepungan masyarakat di Desa Wadas karena desa ini berada di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.
Purworejo adalah tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Tepatnya saya lahir di Kecamatan Kutoarjo, lalu diasuh dan dibesarkan di Kecamatan Purworejo.
Meski tak benar-benar mengenal Kecamatan Bener, namun daerah ini selalu saya lewati jika akan pergi ke Semarang atau Magelang. Dan seingat saya ada beberapa teman sekolah di SMP yang berasal dari sana.
Pengerahan aparat untuk memaksa masyarakat menerima rencana pembangunan ini mengingatkan saya pada peristiwa yang terjadi di tahun 1989, saat pemerintah Suharto berniat membangun Waduk Kedungombo di Kabupaten Boyolali.
Waduk ini menenggelamkan 37 desa yang berada di 7 kecamatan yang termasuk dalam 3 wilayah kabupaten. 5000 lebih keluarga harus hengkang dari lokasi pembangunan waduk, saat itu dikenal dengan nama bedol desa, untuk ditransmigrasikan.
Sebagian masyarakat melawan, membangkang dan melakukan protes. Salah satu yang ikut mendampingi secara aktif adalah Almarhum Romo Y.B. Mangunwijaya. Kisah aktivisme Romo Mangun itu saya baca melalui Majalah Hidup.
Seperti biasa, atas segala perlawanan terhadap kebijakannya, Suharto biasa menjawab melalui pepatah Jawa. Suharto menyebut “Jer basuki mawa beya.”. Maksudnya, untuk menjadi sejahtera diperlukan biaya.
Sayangnya yang dimaksud dengan biaya lebih sering bermakna pengorbanan. Yang dikorbankan adalah orang-orang miskin dan lemah. Justifikasi pembangunan kerap kali menjadikan warganya sendiri, warga yang lemah menjadi tumbal.
Jika warga sekitar Kedungombo waktu itu menjadi tumbal karena kampung halamannya ditenggelamkan, kini masyarakat Wadas yang sebagian besar adalah petani menjadi tumbal karena batuan tempat air disimpan sebagai sumber mata air untuk kebutuhan hidup dan pertanian mereka akan ditambang.
Kekayaan batuan di permukaan hingga perut bumi Desa Wadas akan ditambang untuk dipakai sebagai bahan bangunan bagi Bedungan Bener yang akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia dan nomor dua tertinggi di Asia Tenggara.
Bendungan Bener akan dibangun dengan metode concrete face rockfill dam {CFRD}. Ini merupakan tipe bendungan yang jarang digunakan di Indonesia. Tipe ini butuh marerial yang tahan dan kedap air serta tahan pelapukan, paling tidak dalam waktu lima puluh tahun ke depan. Maka batu andesit menjadi pilihan material terbaik selain semen.
BACA JUGA : Korupsi dan Investasi Bodong
Berada di jajaran perbukitan Menoreh yang membentang dari Magelang, Purworejo hingga Kulon Progo, wilayah ini mempunyai kekayaan batuan. Selain batu marmer, gamping tentu saja juga batu andesit.
Seingat saya masyarakat umum menyebut batuan ini dengan nama wadas. Dan tak jauh dari rumah tempat saya dibesarkan ada bukit yang dinamakan Puntuk. Bukit itu adalah bukit batu, masyarakat sekitar memanfaatkan batuan untuk membuat umpak, wuwungan, leyeh dan lumpang.
Batuan yang berasal dari bekuan magma yang meleleh keluar melalui celah retakan bumi ini memang dimanfaatkan untuk kerajinan {batu perkakas atau dekorasi} dan bangunan {konstruksi}.
Nama Andesit berasal dari pengunungan Andes, tempat batuan ini banyak ditemukan. Namun di tempat lain termasuk di Indonesia juga banyak ditemukan. Pusat kerajinan dan pemotongan batu Andesit misalnya ada di Cirebon dan Majalengka.
Magelang dan sekitarnya juga merupakan gudang serta pusat dari kerajinan batu Andesit.
Dimasa lalu batuan ini telah membantu membangun karya peradaban dalam bentuk sarkofagus, punden berundak, arca, altar batu dan juga candi. Karya-karya yang kini menjadi salah satu kebanggaan dari kebudayaan Indonesia.
Memanfaatkan batuan untuk karya seni relative tidak bermasalah namun lain ceritanya untuk kontruksi apalagi kontruksi raksasa. Dibutuhkan batuan dalam jumlah yang besar dan cepat, sehingga perlu ditambang dengan cara diledakkan.
Dan untuk membangun bendungan tertinggi tentu saja dibutuhkan batuan dalam jumlah banyak dengan lokasi yang tak terlalu jauh dari titik pembangunan agar efektif dan efisien dari sisi pembiayaan proyek.
Karena kekayaan batuan andesit, akhirnya Desa Wadas yang kemudian terpilih menjadi lokasi penambangan untuk pembangunan Bendungan Bener, sebuah proyek yang masuk dalam proyek strategis nasional.
Apapun tujuannya, salah satu yang dikejar adalah bisa diselesaikan sebelum tahun 2024, agar peresmiannya bisa dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Hal ini akan menjadi legacy bagi Pesiden Jokowi yang namanya juga akan terpatri sebagai presiden yang berhasil memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Nusantara.
Masyarakat Desa Wadas pantas untuk menolak penambangan batu Andesit seluas 145 hektar di wilayahnya. Mereka khawatir penambangan akan mematikan 27 sumber mata air yang menjadi gantungan hidup dan penghidupan mereka.
Penambangan besar-besaran juga dikhawatirkan akan menimbulkan bencana yaitu longsor, mengingat kawasan ini memang rawan longsor.
Soal isu sumber air, pelaksana dan penanggungjawab proyek menyebutkan akan menganti dengan melakukan pengeboran. Membuat sumur untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Pun demikian dengan isu lingkungan dimana area yang ditambang akan direklamasi dengan mengembalikan top soilnya.
Janji-janji semacam ini kerap kali hanya ada di dokumen dan presentasi, tapi dalam kenyataannya tak ada pelaksana proyek yang benar-benar berjibaku untuk mewujudkan rencana seperti itu.
Dan rakyat paham benar dengan omong kosong seperti itu, sebab contoh atau kejadiannya bisa dengan mudah ditemukan dari Sabang hingga Merauke. Pelaksana dan penanggungjawab proyek hanya akan mengejar penyelesaian proyek raksasanya, keberatan atau tuntutan masyarakat tidak pernah dipertimbangan sejak semula.
Terbukti ketika bermasalah sehingga proyek tak berjalan lancar maka pengerahan aparat menjadi sebuah pilihan. Rakyat bukan diajak komunikasi untuk membangun kesepahaman bersama melainkan diintimidasi agar kemudian menerima meski terpaksa.
Masalahnya kita kerap lupa, mereka yang berkorban paling besar biasanya adalah mereka yang paling tidak menikmati dampak baik atau tujuan dari pembangunan mega proyek itu.
BACA JUGA : Pasukan Pemuji Pimpinan vs Pasukan Pembenci Pimpinan
Imajinasi dan proyeksi tentang proyek strategis nasional selalu agung. Digaungkan mempunyai banyak dampak positif dalam jangka panjang ke depan. Seperti Bendungan Bener yang dimaksudkan untuk memasok air baku untuk air bersih di Purworejo, Kebumen dan Kulon Progo, juga air irigasi untuk pertanian dengan luas puluhan ribu hektar, mengurangi banjir di Purworejo dan Kulon Progo dan tentu saja untuk pariwisata.
Nampak ada keuntungan besar di depan mata karena pembangunannya, termasuk salah satunya mengamankan Yogyakarta International Airport yang berada di Kecamatan Temon, Kulonprogo. Kecamatan yang sering terendam banjir karena luapan air dari Sungai Bogowonto.
Seperti iklan para afiliator robot dan aplikasi trading, janji-janji manisnya kerap kali terlalu indah untuk terwujud. Pun demikian juga dengan janji pembangunan yang diatas kertas kerap kali teramat optimistik dan indah.
Jadi kalaupun ada keuntungan maka perlu ditanyakan kembali siapa yang paling diuntungkan dan kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan siapa pula yang paling dirugikan untuk memperoleh keuntungan yang besar itu.
Persis sama seperti ‘jer basuki mawa beya’, hanya saja siapa yang basuki {sejatera} dan siapa yang harus menanggung biayanya.
Dalam kasus pembangunan dan investasi bisa diduga bahwa yang selalu membayar {berkorban} adalah rakyat jelata. Orang-orang miskin seperti orang wadas yang desanya ditambang batunya untuk membangun bendungan tertinggi, kemudian akan menjadi masyarakat terendah, masyarakat paling lemah sehingga mudah untuk dikorbankan.
Bayangkan desa yang selama ini tidak dikenal, jauh dari sorotan kemudian didatangi ribuan polisi. Meski dulu kawasan ini masuk dalam wilayah pertahanan Pangeran Diponegoro dalam melawan tentara Belanda, namun warganya pasti tak pernah membayangkan akan digeruduk oleh aparat bersenjata lengkap seakan mau perang.
‘Persekusi’ semacam ini tentu akan menimbulkan luka yang dalam terutama bagi anak-anak, luka yang bisa membuat mereka tidak akan pernah bangga lagi menjadi warga negara Indonesia. Sakit hatinya kelak juga akan bertambah ketika melihat warga di tempat lain bisa bersawah dan menikmati air bersih sementara mereka tak lagi bisa berkebun dan berkesusahan memperoleh air karena bukit tempat sumber air mereka ditambang untuk menjadi pondasi bendungan.
Para perencana proyek raksasa, proyek yang dilabeli sebagai strategis nasional nampaknya lupa belajar, entah karena merasa sudah terlalu pintar atau karena jumawa akibat kekuasaan.
Mestinya dalam proyek yang berskala besar, proyek bernilai trilyunan yang pertama mesti dilakukan adalah menghapus kekhawatiran rakyat. Jangan sekali-kali merasa bahwa persoalan akan bisa diatasi dengan ganti rugi.
Sebab ganti rugi meski bernilai milyardan, membuat orang kampung menjadi milyader atau orang kaya baru, namun pada akhirnya tetap hanya akan berakhir menjadi tahi.
Ganti rugi tidak akan menyelesaikan masalah sebab ganti rugi adalah skema jangka pendek yang diberikan demi kelancaran proyek semata namun tidak menganti kerugian atau harga yang harus dibayar oleh rakyat karena kehilangan penghidupannya.
Pilihan terbaik untuk menyelesaikan persoalan ini masih terbuka, ada banyak ahli yang punya banyak sertifikat untuk memberikan rekomandasi dan alternatif penyelesaian yang tidak hanya menyenangkan pemerintah atau empunya proyek.
Tapi nampaknya itu tidak menjadi pilihan karena butuh waktu dan biaya sehingga membuat proyek tidak bisa segera diselesaikan.
Maka pilihan paling gampang adalah tumbal. Ya warga Desa Wadas ditumbalkan dengan cara yang paling primitif yakni menggunakan aparat bersenjata.
Saya ingat di masa kecil dulu jika ada pembangunan besar selalu muncul isu tentang penculik yang berkeliaran. Mereka berkeliling dengan mobil yang memakai tanda tertentu. Kamipun lari setiap kali di jalanan dan bertemu dengan mobil yang dicurigai sebagai penculik.
Bocah yang diculik akan dikorbankan sebagai tumbal pembangunan, ditanam di pondasi sehingga tak akan ditemukan. Cerita itu tidak terbukti, namun kisah tentang rakyat yang ditumbalkan untuk berbagai pembangunan raksasa terbukti dimana-mana, hingga hari ini.