KESAH.ID – Pendidikan jarak jauh pertama menggema lewat The Open University di Inggris. Untuk mengatasi ledakan jumlah lulusan SMA dan daya tampung PT, tahun 1984 didirikan universitas negeri ke 45 dengan nama Universitas Terbuka. Dalam usianya yang ke 40 tahun, UT yang mempunyai kurang lebih 43 program studi masih belum sepopuler perguruan-perguruan tinggi negeri lainnya.
Untuk ukuran normal budaya Indonesia, saya terbilang tak normal karena baru menikah di usia lewat dari 30 tahun. Orang Manado bilang “So tua ngana sayang,”.
Dan ternyata sebagai suami istri kurang tok cer, karena 4 tahun setelah pernikahan baru dikaruniai seorang anak. Anak perempuan yang kemudian menjadi anak satu-satunya.
Memang benar kalau makin tua waktu serasa makin cepat. Tak terasa anak saya yang telat lahir kedunia ternyata sudah lulus SMA.
Soal pendidikan saya punya pikiran sendiri. Pengetahuan bisa didapat dimana saja dan saya tak mengandalkan pendidikan formal.
Tapi anak saya bukan diri saya, itu nasehat Kahlil Gibran yang coba saya taati. Saya berupaya sekeras mungkin untuk menaatinya, seperti ketika saya membaca nasehat paling tidak berhasil di Indonesia yakni Buanglah Sampah Pada Tempatnya.
Sebelum lulus SMA, anak saya berubah-ubah keinginan untuk sekolah disini dan disana, jurusan ini dan itu.
Namun ketika lulus, akhirnya dia memutuskan untuk kuliah di Kaltim saja. Jurusannya tak pernah saya bayangkan sebelumnya, dia memilih ekonomi utamanya manajemen.
Dan berbagai jalur penerimaan mahasiswa baru dicoba olehnya. Namun ternyata tak diterima. Rupanya jurusan yang dipilih merupakan salah satu jurusan favorit, yang diterima hanya 10 persen dari pendaftarannya.
Saya tahu dia sedih tak diterima karena keinginan kuliah disana sangat besar. Untung tak jadi stres yang berkepanjangan.
Sebagai orang tua, saya dan istri saya kemudian mencoba memberi wawasan untuk kuliah di jurusan lain yang masih terbuka atau universitas lain yang ada di Kalimantan Timur.
Tapi anak saya ternyata punya pilihan sendiri. Dia menegaskan ingin kuliah di UT, Universitas Terbuka.
Mendengar pilihan itu saya langsung kuatir. Bukan saya ragu soal Universitas Terbuka melainkan karena karakteristiknya.
Saya khawatir dengan kedisiplinan anak saya untuk belajar, karena UT adalah universitas yang mahasiswanya mesti rajin belajar sendiri. Memang ada belajar kelompok tapi tak terlalu sering.
Selain itu meski punya mahasiswa terbanyak se Indonesia, mahasiswa UT tidak bertemu satu sama lain. Soal sosialisasi dan networking ini yang mengkhawatirkan saya. Tak seperti mahasiswa kebanyakan, dengan kuliah di UT anak saya mungkin tak bisa punya banyak teman sesama mahasiswa.
Buat saya menjadi mahasiswa itu bukan hanya belajar ilmu pengetahuan lebih detail, tetapi juga belajar kehidupan lebih dalam. Kurang bertemu dengan sesamanya mungkin akan menghambat pengetahuan dan pengalamannya tentang hidup.
Sayapun mencoba tak menekan dengan memberi alternatif tahun ini belajar di UT namun tahun depan coba lagi untuk ikut ujian penerimaan mahasiswa baru lagi.
Namun lagi-lagi anak saya bilang ingin tetap kuliah di UT sampai selesai.
Saya ingat nasehat teman soal menulis, menurutnya cara menulis paling gampang adalah menulis apa yang kita sukai.
Rasanya belajarpun begitu. Seseorang akan lebih rela belajar jika yang dipelajari adalah apa yang disukai. Saya mesti menggangap UT adalah kampus yang disukai oleh anak saya.
BACA JUGA : Budiman Kudatuli
Terus terang saya tak punya referensi soal UT. Sedikit sekali saya bersentuhan dengannya. Tapi saya tahu kuliah di UT ternyata juga tak gampang.
Sewaktu di Manado ketika mendapat tugas untuk mengajar di sekolah, kepala sekolah tempat saya mengajar ternyata mahasiswa UT.
Dia menceritakan kalau beberapa kali ujiannya tak lulus. Dia kemudian menunjukkan modulnya, ternyata tebal-tebal.
Nanti ketika di Samarinda, saya pernah mengantar kerabat yang bekerja di sebuah perusahaan di wilayah yang kini menjadi Ibu Kota Negara Nusantara, mengambil modul di Gedung Administrasi UT yang waktu itu berada dekat dengan Taman Makam Pahlawan, Kota Samarinda.
Pengalaman ini tentu saja tak sebanding dengan interaksi saya pada perguruan tinggi negeri.
UGM atau Universitas Gajah Mada, dulu saya sering kali pergi kesana menikmati suasana lingkungannya. Memang jaman lampau ketika masih banyak kos-kosan mahasiswa berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu.
Interaksi saya dengan lingkungan perguruan tinggi negeri cukup intens ketika saya di Sulawesi Utara. Di kota Manado saya sering berada dalam lingkungan Universitas Sam Ratulangi. Meski tak kuliah di Unsrat, saya sering menyebut diri sebagai mahasiswa Umprat atau Univesitas Perempatan karena lingkungan pergaulan saya adalah mahasiswa Unsrat.
Saya tak hanya kenal mahasiswanya, karena banyak dosennya juga saya kenal. Bahkan diantara dosen-dosen itu ada yang menyangka saya kuliah di Unsrat karena sering muncul disana. Saya memang sering nongkrong di sekretariat Artsas, kelompok mahasiswa pecinta alam fakultas sastra.
Di daerah Bahu, ada asrama mahasiswa yang sering saya datangi. Bukan untuk mengunjungi anak-anak asrama melainkan yang punya. Sesekali saya menginap disitu sehingga saya kenal banyak penghuninya.
Saya juga sering nongkrong di kos-kosan yang ada di jalan Sam Ratulangi Manado. Sebagian penghuninya adalah mahasiswa. Bahkan ada mahasiswi yang dipacari oleh dosennya. Dan kelak keduanya memang menikah, pernikahan yang langgeng hingga saat ini.
Pun ketika saya pindah ke Samarinda. Tongkrongan saya di universitas bernama Unggas, singkatan dari Universitas Gang Sebelas. Disitu biasa saya bertemu dengan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, sebagian lainnya kuliah di Universitas Mulawarman.
Karena sering nongkrong bersama, sayapun kemudian main-main ke kampusnya. Ada masanya hari-hari saya berada di Kampus STAIN Samarinda, kuliah di bawah tangga depan Kantin Bu De.
Sayapun sesekali nongkrong di area kampus Universitas Mulawarman, di dua atau tiga kantinnya yang legendaris.
Itulah memori saya tentang pendidikan tinggi, yang saya kenali sebagai sebuah hal yang ideal.
Sementara UT adalah sesuatu yang asing untuk saya. Dan lazimnya tak kenal maka tak sayang, wajar jika kemudian saya agak ragu dengan pilihan anak saya.
BACA JUGA : Kopi Campervan
Karena suka menulis, saya mengamalkan sebuah nasehat untuk membaca satu tulisan bagus setiap harinya.
Saya memilih untuk membaca tulisan ringan yang kebetulan memang ditulis setiap hari yakni Catatan Harian Dahlan Iskan.
Dari sebuah catatannya saya memperoleh informasi tentang UT yang oleh Dahlan Iskan digambarkan sebagai Universitas yang punya gudang buku, besar sekali sampai mengalahkan superstore.
Konon jumlah mahasiswanya juga tak tertandingi oleh Universitas lainnya. Mahasiswa UT hampir mencapai setengah juta orang, tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote.
Di UT, sekali wisuda bisa mencapai 10.000 orang. Tapi tak dilakukan bersama-sama, hanya yang terbaik yang akan di wisuda di Aula Kampus UT Pondok Cabe, Jakarta Selatan.
Sejak kelahirannya, UT menerapkan pembelajaran mandiri dan jarak jauh. Jauh sebelum universitas lain mengenal model itu di jaman pandemi Covid 19. Pembelajaran jarak jauh di UT sudah ada sebelum kita mengenal Handphone dan Internet. Materi kuliah dikirim lewat Kantor Pos. Ujian pun demikian, pertanyaan dan jawaban dikirim lewat surat.
Lalu ada pula materi kuliah yang dikirim dalam bentuk kaset.
Kini selain dikirim dalam bentuk buku, tersedia pula perpustakaan digital dan sesi pengajaran lain sebagaimana umumnya pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan teknologi internet.
Anak saya mengurus semuanya sendiri. Satu saja yang belum bisa dilakukannya yakni membayar dengan uang sendiri.
Dan di minggu terakhir bulan Juli 2024 ini kiriman buku berisi bahan kuliahnya sudah tiba, siap dibaca dan siap dipelajari.
Pada akhirnya belajar bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Yang terpenting adalah mau belajar dan mau kuliah.
note : sumber gambar – UNIVERSITAS TERBUKA