KESAH.IDSalah satu penyebab penurunan daya dukung lingkungan adalah perubahan cara pandang kita terhadap alam dan seisinya. Etika lama berdasar kepada model relasi antropomorfis. Manusia merasa tumbuhan dan binatang sebagai sesamanya, mempunyai jiwa dan bisa diajak komunikasi. Sisa-sisa sikap antropomorfis masih bisa ditemukan dalam  beberapa keyakinan, seperti petani yang yakin kalau tanamannya akan subur dan berbuah banyak jika diajak berbicara. Pun juga peternak yang yakin kalau hewan peliharaannya akan tumbuh bahagia jika dipelihara dengan hati.

Di kampung saya dulu kanan kiri jalan dihiasi pohon-pohon besar, umumnya pohon asam dan mahoni. Mungkin jalan dibuat dan pohon ditanam oleh Wong Londho. Purworejo di jaman VOC dan kolonial Belanda memang pernah menjadi salah satu pemusatan kekuatan tentara untuk Perang Jawa melawan Pangeran Diponegoro.

Bekas peninggalan tangsi militer kolonial Belanda itu kini menjadi kompleks Markas Batalyon Infanteri 412.

Seingat saya tak ada cerita serem atau angker soal pohon-pohon besar itu. Pohon asem dan mahoni memang jarang diceritakan sebagai sarang lelembut, beda dengan pohon beringin dan kepuh, serta kamboja di kuburan.

Jadi saat pohon asam berbuah dan buahnya mulai mengkal, saya dan teman-teman biasa manjat dan nangkring di dahan yang liat. Sementara saat mahoni berbuah dan buahnya mulai pecah biasa kami mengambil bijinya yang berterbangkan sebagai mainan, bentuknya seperti klitiran.

Kalau usil, kami akan mengupas ujung bawahnya yang menyimpan biji putih dan rasanya pahit sekali. “Obat malaria,” sangka kami waktu itu.

Walau tak serem dan angker, tak sembarang orang boleh memangkas atau memotong pohon-pohon di tepi jalan itu. Yang kami kenal sebagai pemotong pohon adalah Pak Man. Saya dan teman-teman menjuluki sebagai Gajah Mada.

Dalam bayangan kami sosok yang kekar, pendiam, tak berbaju saat mengayun kapak itu memang mirip Gajah Mada karena rambutnya yang panjang kemudian diikat keatas seperti membentuk stupa.

Bertahun-tahun saya tinggalkan selepas SMA, pohon-pohon besar di pinggir jalan itu telah tiada. Diganti dengan pohon bunggur yang pada waktu tertentu berbunga mirip pohon sakura walau kalah lebat.

Jaman telah berubah, memotong pohon sepertinya bukan merupakan keputusan yang sulit dan rumit. Tak ada lagi mitos, kepercayaan, legenda atau keyakinan tertentu yang menghalanginya.

Memotong pohon bisa dilakukan dengan sat-set, bukan lagi dengan kapak melainkan gergaji mesin dan peralatan lain yang membuat pohon sebesar apapun dengan cepat bisa direbahkan.

Senso, begitu chainsaw diucapkan memang berhasil me-demistifikasi pohon-pohon besar yang kerap dipercaya mempunyai penunggu. Mesin potong pohon ini perlahan-lahan menghapus cerita dan kisah-kisah pohon yang menolak ditebang karena memantulkan kapak yang diayun padanya.

Alas gung liwang-liwung yang berisi pohon-pohon besarpun rata, menjadi terang benderang karena ditebang dengan mode tebang matahari.

Hutan tropis lebat Kalimantan tak lepas dari digdayanya mesin penebang pohon. Hutan yang oleh masyarakat adat dipercaya sebagai tempat tinggal roh para sahabat {roh nenek moyang} kemudian terang benderang.

Orang Kalimantan bahari pasti tahu, senso yang paling perkasa merobohkan pohon-pohon kekar di hutan itu bermerek SITHL, buatan Jerman.

Itulah kenapa Pemerintah Jerman begitu getol membantu untuk mengelola dan menjaga hutan dengan lestari. Mungkin mereka merasa bersalah karena senso buatan negeri mereka yang membuat hutan di Kalimantan yang dulunya black forest karena pepohonannya begitu rapat, kini terang benderang.

Walau begitu, sisa-sisa sikap antropomorfis yang menganggap pohon dan isi alam lainnya mempunyai jiwa masih ada. Namun kearifan tradisional semacam ini tak cukup lagi untuk menjaga alam tetap lestari. Pohon besar yang dianggap ada penunggunya tetap saja tak bisa mencegah keputusan yang dengan mudah diambil untuk merobohkannya.

Tapi konon kepercayaan atau praktek memperlambat penebangan dengan kearifan tradisional masih bertahan di Kepulauan Solomon, Pasifik Selatan. Masyarakat adat atau perdesaan disana mempunyai cara unik untuk menebang pohon.

Mereka masih menebang secara manual, menggunakan kapak. Jika pohon terlalu besar untuk dirobohkan dengan kapak, mereka akan menghina dan mencaci mai pohon itu setiap hari. Mereka percaya pada hari ketiga puluh pohon itu akan mati dan tumbang sendiri.

Masyarakat disana percaya pohon mempunyai jiwa. Maka caci maki atau kata-kata buruk itu akan membuat pohon merana hingga kemudian jiwa pohon tersebut terbunuh. Mungkin tepatnya pohon kemudian bunuh diri.

Dalam film Filosofi Kopi, Ben yang punya racikan kopi terbaik dan digemari pengunjung yakni Ben’s Perfecto hatinya hancur ketika ada yang mengomentari kopinya hanya lumayan enak. Yang berkomentar mengatakan kopi terenak ada di sebuah daerah di Jawa Tengah.

Hati Ben hancur dan kemudian pergi mencari kopi terenak itu di Jawa Tengah.

BACA JUGA : Awas Santet

Di sebuah pondok sederhana Ben bertemu dengan petani penghasil kopi itu. Kopi yang dinamai Kopi Tiwus itu ternyata pohonnya dipelihara seperti anak sendiri oleh petani itu. Dirawat seperti anak manusia, diajak bicara, dihibur, dielus lembut dan seterusnya. Kopi tumbuh sebagai tanaman yang bahagia sehingga menghasilkan buah yang enak tiada tara.

Memang banyak yang percaya bahwa tumbuhan bisa diajak bicara. Bahkan tumbuhan suka mendengarkan musik, terutama musik lembut dan klasik.

Pun demikian dengan air. Konon air yang diperlakukan baik, diberi kata-kata baik dan diperdengarkan musik yang lembut akan memberi reaksi baik.

Soal air, Maruto Emoto seorang pelaku terapi alternatif dari Jepang mengatakan kalau air bisa bereaksi pada kata-kata dan pikiran manusia. Ketika mendengar kata-kata baik, air akan membentuk kristal-kristal air yang indah. Sebaliknya ketika mendengar kata-kata buruk, kristal airnya akan berantakan, buruk rupa.

Kisah atau kepercayaan semacam ini tentu saja selalu memikat masyarakat dan banyak yang tulus mendukung serta percaya pada kebenarannya. Tentang air, banyak orang pergi membawa air untuk didoakan. Atau sepulang ziarah orang akan membawa air dari mata air yang ada di tempat yang diziarahi.

Tapi bagaimanapun secara sains kesimpulannya sudah pasti. Pohon, air dan lainnya tak punya bahasa, tak bisa mendengar dan tak punya jiwa. Hanya binatang tertentu yang punya jiwa atau kesadaran dan sedikit kosa kata.

BACA JUGA : First Lady

Tapi tak apalah, manusia memang terbiasa mempercayai hal yang tak sebenarnya. Dan itu terbukti telah memberi sumbangsih besar bagi peradaban dan mendukung evolusi.

Yang terhebat dari peradaban manusia adalah kata-kata. Tak ada yang lebih kuat darinya karena kata bisa menciptakan realitas, kata bisa menghasilkan kebenaran. Kata adalah sihir yang terhebat.

Kata memang bisa membuat orang tersanjung, merasa dihormati, bahagia dan dicintai. Kata juga bisa membangkitkan orang dari putus asa, keterpurukan dan perasaan tak berarti. Banyak orang merasa terlahir kembali karena pengaruh kata-kata.

Maka berhatilah dengan kata-kata, terutama jika pekerjaan kita adalah pewarta kebaikan melalui kata-kata. Jangan mudah mengatakan kata-kata yang membuat orang terhina, terkerdilkan dan merasa tak berarti. Walau mungkin diucapkan dengan nada canda, tidak setiap orang bisa memaknainya sebagai guyonan.

Di Solomon sana kata-kata buruk dipercaya bisa menumbangkan pohon, namun di penjuru dunia manapun kata-kata buruk selalu bisa menumbangkan kehidupan seseorang.

note : sumber gambar – HITEKNO