KESAH.IDSinga sebenarnya tak hidup di negeri Nusantara. Masyarakatnya mengenal Singa kaena pengaruh tradisi atau budaya yang datang dari negeri seberang. Di masa modern warga Nusantara yang kemudian bernama Indonesia mengenal Singa dari sirkus dan film. Singa digambarkan sebagai raja hutan. Padahal di hutan jelas tak ada Singa sebab kucing besar pemalas ini lebih hidup di padang-padang rumput dan semak, tempat dia mengejar binatang buruannya.Di Kutai Timur, Singa dulu populer untuk menamai tokohnya namun kini singa yang paling populer adalah Singa Merah, merk semen produksi Hongsi Holding Company.

Bulan lalu saya baru ngeh kalau di Sangatta ada patung singa di tengah perempatan. Muasalnya ketika hendak pergi kesana, kendaraan yang saya tumpangi lebih dulu singgah ke rumah seorang teman untuk mengambil titipan.

Saat menyerahkan titipan, dia mengatakan nanti yang akan menerima bakal menunggu di patung singa.

Hari kami pergi ke Kutai Timur itu hari Jum’at. Sayapun bisa memperhatikan patung singa dengan sesosok laki-laki di sampingnya dengan seksama. Karena mobil yang kami tumpangi bukan hanya berhenti menyampaikan titipan, tetapi juga berhenti untuk menunggu teman-teman lainnya Jum’atan. Karena tak jauh dari patung itu ada masjid.

Meski menimbulkan tanya kenapa ada patung singa di perempatan namun waktu itu kebutuhan untuk mencari jawab tak besar. Kami lebih berbincang seputar acara yang hendak kami datangi.

Lebih dari seminggu lalu, saya kembali melewati patung singa itu. Dan kali ini saya tak bisa menahan diri untuk bertanya pada teman-teman satu perjalanan, apa alasan atau latar belakang yang mendasari pemasangan atau pembuatan patung singa itu.

Sepanjang jalanan kami berusaha mereka-reka dan mencari jawaban, termasuk dengan googling, namun tak ada jawaban yang memuaskan.

Melewati simpang perdau, ada baliho besar bertuliskan semen singa merah. Lagi-lagi ada singa, tapi bukan patung melainkan merek.

Kembali kami berbicara soal singa. Adakah hubungan antara merek semen dengan patung yang ada di Kota Sanggata.

Dan ketika singgah di sebuah minimarket yang tengah direnovasi, setumpuk kantong semen yang dipromosikan lewat baliho itu bisa kami lihat wujudnya.

Saya tak menyangka kalau semen itu dijual di pasar lokal, setahu saya dulu investasi pabrik semen itu ditujukan untuk pasar eksport. Sebab produksi semen dalam negeri sudah kelebihan kapasitas.

Lagi-lagi kalau tidak salah, Kalimantan Timur yang sering dijuluki sebagai lumbung energi nasional ini kemudian akan dijadikan sebagai pusat produsen semen Asia.

Tak lama setelah melihat wujud semen singa merah, mobil yang kami tumpangi mesti meninggalkan jalan poros Benggalon – Sangkulirang untuk menuju ke sebuah desa yang akan kami tinggali dan susuri selama beberapa hari kedepan.

Diujung jalan masuk lagi-lagi ada baliho besar semen singa merah. Dan dijalanan yang berupa tanah pengerasan itu lalu lalang truk pengangkut semen dan materialnya. Material yang dibawa menuju pabrik semen ialah batu pasir. Semen memang dibuat dari campuran batu gamping, batu tanah liat dan batu pasir.

Setelah puas mengikuti dan kadang melewati truk-truk pengangkut batu pasir serta memotong beberapa jalan hauling batubara milik group Bayan Resources dan KPC, tibalah kami di permukiman. Permukiman pertama yang kami temui adalah Dusun Sekurau Bawah, satu dari 4 Dusun dari Desa Sekerat.

Dan lagi-lagi saya mendapat surprise, persis di pertigaan pertama masuk ke dusun itu kembali ada patung singa.

Saya mulai meragukan pengetahuan diri sendiri perihal singa dan Kalimantan Timur yang tidak saya punyai. Saya yang kerap merasa cukup tahu seluk beluk budaya Kalimantan Timur ini kemudian merasa ada yang luput dari perhatian dan manajemen pengetahuan diri.

Meski begitu saya meyakini bahwa singa tetaplah bukan merupakan binatang yang dulu ada di Kalimantan Timur.

Konveyor Kobexindo bernuansa merah membentang jauh dari pabrik hingga ke laut di sisi kiri pantai Desa Sekerat

BACA JUGA : Starbuck Oleng 

Karena terus penasaran dengan singa. Ketika sudah sampai di Desa Sekerat dan beristirahat menghilangkan penat serta pegal badan sambil menikmati keindahan pantai, sayapun membuat postingan di Facebook dengan caption bernada tanya kenapa ada patung singa di Kutai Timur.

Syukurlah postingan itu segera disambar oleh beberapa teman facebook saya yang punya pengetahuan mumpuni seputar Kutai Timur dan juga Kalimantan Timur.

Mereka berkomentar bahwa itu adalah nama. Dulu ada yang menamai atau dinamai sebagai Singa Karti, Singa Gembara, Singa Geweh, Singa Janti dan lainnya. Untuk memperkuat hal itu kemudian disertakan pula gambar sebuah buku yang diterbitkan oleh Kemendikbud.

Dalam buku berjudul Serpihan Cerita Rakyat Kalimantan Timur itu dikisahkan banyak tokoh di Kutai Timur memakai nama yang dimulai dari kata singa.

Sebenarnya nama singa ini tidak hanya ada di Kutai Timur, melainkan juga di Kutai Kartanegara tepatnya di Sungai Payang, Loa Kulu. Disana ada makan tokoh bernama Singa Lawang.

Dugaan dari seorang teman yang tekun dan teliti mengulik kebudayaan Kalimantan Timur kebiasaan menamakan tokoh atau diri dengan binatang itu terpengaruh dari kebudayaan Jawa kuno.

Dalam komentarnya dia menegaskan yang disebut dengan singa itu sesungguhnya harimau.

Masyarakat Jawa kuno dimasa antara Kerajaan Kediri hingga Majapahit memang kerap menamakan dirinya dengan nama binatang. Kisah itu terangkum dalam cerita-cerita panji. Selain itu nama diri dengan nama binatang juga bisa dijumpai dalam kitab sastra Pararaton dan Ranggalawe.

Konon cerita panji ini bermula dari kelompok prajurit. Satu kelompok prajurit biasanya membawa panji-panji dalam berperang. Panji biasanya berhias, hiasan yang dimaksudkan sebagai lambang untuk penanda kemenangan atau penguasaan.

Dan ragam hias atau lambang binatang yang kemudian sering dipakai sebagai penanda panji. Kepala pasukan atau prajurit kemudian menamai dirinya atau dikenal dengan nama binatang yang menjadi lambangnya.

Telaah lain menyebutkan nama binatang juga merupakan penanda level atau kasta seseorang dalam pemerintahan dan keprajuritan.

Gajah adalah salah satu yang tertinggi, seperti yang dipakai oleh Gajah Mada sebagai Maha Patih.

Kajian lain menyebutkan binatang sebagai representasi dari hewan tunggangan para dewa. Tokoh-tokoh akan memakai nama binatang tunggangan itu berdasarkan kedudukan para dewa.

Nama-nama binatang yang umum dipakai oleh para tokoh itu adalah hewan endemik atau hewan yang hidup dalam ekosistem di Jawa. Seperti Kebo, Gajah, Lembu, Menjangan, Macan, Kadal, Kuda, Lutung dan lain-lainnya.

Selain itu ada pula nama-nama hewan yang terpengaruh dari kebudayaan India atau hinduisme.

Kata singa kemungkinan besar berasar dari kata sinha. Kata ini dalam bahasa sansekerta diartikan sebagai singa, atau seseorang yang berani.

Nama sinha ini sampai sekarang masih banyak dipakai sebagai nama orang di wilayah India dan Srilanka.

Bahkan Srilanka sendiri konon berasal dari Sigiriya kependekan dari Sinha Giriya yang artinya tempat singa yang berbatu-baru. Demikian juga dengan Singapura, yang konon berasal dari kata Sinha Pure yang artinya Kota Singa.

Tanur pabrik semen Kobexindo pun bernuansa merah, jika udara cerah kompleks pabrik ini bisa terlihat dari pesisir Pulau Miang yang punya jarak tempuh sekitar 1,5 jam dengan long boat.

BACA JUGA : Bintang Terang 

Untuk sementara rasa penasaran terhadap sosok patung singa di Kutai Timur telah terjawab. Dan saatnya mencari jawab soal singa merah yang menjadi merek semen produksi Kobexindo yang berada di bawah Hongsi Group itu.

Yang ini saya cari sendiri. Atas kebaikan Pak Yuhar yang menyetir mobil, setelah masuk Dusun Sekerat sebelum menuju base camp tempat kami tinggal beberapa hari dia menawari jalan dulu ke lokasi pabrik semen.

Saya langsung mengiyakan, siapa tahu tak ada kesempatan lagi.

Lokasi pabrik semennya memang di desa tetangga, Desa Selangkau yang berada di wilayah kecamatan Kaliorang.

Tapi dari Sekerat dekat sekali, persis di perbatasan.

Usai melewati belokan di hutan bakau Sekerat, segera tampak bangunan megah dan besar bernuansa merah. Pelan-pelan melewati depannya serasa badan berada di Beijing.

Kisah singa di Nusantara dan Tiongkok tidak beda-beda jauh. Hewan ini sama-sama tidak hidup atau ada di wilayahnya. Di Tiongkok, singa mulai dikenal pada masa perdagangan di jalur sutra. Singa dibawa dari Afrika.

Dan gerak-gerik dan sosok dari singa itu kemudian diadaptasi untuk pertunjukan. Jadilah kesenian Barongsai yang kemudian menjadi ikon dalam perayaan tahun baru China.

Kesenian ini tumbuh dalam tradisi Budhisme pada jaman dinasti selatan dan dinasti utara. Sehingga ada dua aliran utama dalam Barongsai, yakni selatan dan utara.

Barongsai Selatan digambarkan tidak terlalu berbulu, seolah sebagai sosok yang vegetarian. Sementara Barongsai Utara bulunya lebih lebat, berwarna merah dan oranye.

Dalam kebudayaan umum di Tiongkok, Barongsai kemudian dianggap sebagai hewan sakral, binatang mitologis  seperti halnya naga dan phoenix.

Di papan nama depan pabrik semen PT. Kobexindo memang tak ada sosok barongsai. Lambang atau logo yang dipakai adalah shiluet Singa berdiri tegak dari samping. Bentuknya cenderung mengkotak sehingga nampak sosok singa yang tak ganas tapi cenderung lucu.

Namun yang pasti gerak gerik pabrik semen Singa Merah yang punya IUP bukan hanya di Kaltim melainkan juga di Jember dan Nangroe Aceh Darusalam ini tak selucu barongsai Guan Dong yang jinak.

Singa Merah di Selangkau, Kaliorang ini kerap mengaum karena batu gamping ditambang dengan cara diledakkan atau blasting.