KESAH.ID – Secara global Starbuck mengalami penurunan penjualan yang berujung pada kehilangan kapitalisasi pasar bernilai ratusan trilyun karena turunnya harga saham. Sebagian menduga hal ini terjadi karena direct action lewat demo dan seruan boikot dari kelompok yang peduli pada perjuangan Palestina melawan pendudukan Israel. Padahal ada persoalan yang lebih serius dihadapi oleh Starbuck karena kini tempat ngopi yang enak dan nongki yang asyik tak lagi hanya milik Starbuck.
Starbuck merupakan kisah menakjubkan dari kopi. Bermula dari sebuah toko penjual biji kopi di Seatle, Amerika Serikat yang kemudian bertransformasi menjadi coffee house dan memicu budaya minum kopi di hampir seluruh penjuru dunia.
Di balik kedigdayaan Starbuck ini ada seorang bernama Howard Schultz sang pengubah wajah industri kopi yang terus mewarnai perjalanan kopi hingga hari ini.
Starbuck yang kita kenal hari ini sebetulnya didirikan oleh Zev Siegl, Jerry Baldwin dan Gordon Bowker pada tahun 1971 di Kota Seattle, Amerika Serikat. Nama coffee shop ini diambil dari sorang tokoh dalam novel Mobby Dick.
Toko ini awalnya menjual biji kopi, daun teh dan rempah-rempah.
Tahun 1981, Howard Schultz yang bekerja untuk sebuah perusahaan perabot datang ke toko Starbuck untuk membawa pesanan. Ketika memasuki pintu toko, Howard sudah terpesona dengan bau kopi yang ditebarkan dalam ruangannya.
Dan ketika disuguhi seduhan kopi Sumatera, Howard menjadi jatuh cinta.
“Pada tegukan ketiga, saya jatuh hati,” ujar Howard.
Howard Schultz lalu memutuskan untuk bekerja di Starbuck. Bekerja sebagai direktur marketing dan operasional retail Starbuck, Howard melakukan perjalanan hingga luar negeri.
Perjalanan kunjungan ke Kota Milan Italia kemudian merubah pandangan Howard tentang kopi.
Di Italia, Howard melihat bagaimana kopi dibuat dan disajikan, interaksi barista dengan pelangan serta kebiasaan orang datang ke coffee shop bukan hanya untuk minum kopi dan berbincang melainkan juga bekerja.
Sepulang dari Italia, Howard mengajukan usulan agar Starbuck merubah konsepnya dari toko penjual kopi menjadi rumah kopi seperti yang disaksikannya di Milan. Howard mengatakan tidak seharusnya kopi dibungkus dalam kantong lalu dibawa pulang ke rumah untuk diseduh. Kopi mesti diminum di tempat penjualan agar yang datang mendapat pengalaman.
Usulannya ditolak. Starbuck sudah merasa untung dengan model penjualannya waktu itu. Jadi untuk apa berubah.
Yakin dengan cita-citanya, Howard Shultz kemudian mundur dari Starbuck untuk membangun bisnisnya sendiri, kedai kopi espresso. Dia berhasil mendirikan coffee shop Il Giornale.
Awalnya kedai ini dikritik terlalu berbau Italia dan harganya mahal. Masyarakat Amerika Serikat terbiasa minum kopi berharga 50 cent dollar, sementara Howard menjual kopinya seharga 3 dollar.
Namun lama kelamaan kehadiran dan harganya diterima. Saat keuangan Il Giornale membaik, kejadian sebaliknya terjadi pada Starbuck. Tak mampu mengatasi persoalan kemudian Starbuck ditawarkan kepada Howard.
Dan Howard setuju untuk membelinya namun tidak punya cukup uang untuk membayar harga yang ditawarkan oleh Starbuck yang telah mempunyai 6 gerai itu.
Dengan usaha yang gigih, Howard kemudian berhasil meyakinkan para investor untuk bertaruh di Starbuck dengan konsep bisnis coffee house yang ditawarkannya. Dan akhirnya uang terkumpul dan Starbuck kemudian beralih kepada Howard Shultz.
Tahun 1987, perjalanan Starbuck hingga seperti sekarang ini kemudian dimulai.
BACA JUGA : Start Bagus
Saya lupa persis kapan pertama kali menikmati kopi Starbuck yan gpunya ciri khas pesan lalu menunggu pesanan untuk diambil sendiri itu. Yang jelas di Kota Balikpapan, kalau tak salah di kedai Balikpapan Plaza lalu di ruang tunggu Bandara Sepinggan.
Di Manado, sampai dengan saya meninggalkan kota itu untuk pindah ke Samarinda belum ada gerai Starbuck. Ketika kompleks perbelanjaan di kawasan reklamasi teluk Manado jadi, yang lebih dahulu muncul adalah Exelso dan Black Canyon.
Buat saya waktu itu, Starbuck kemudian menjadi ukuran coffee house yang paling proper, kopinya terbaik dan disajikan oleh barista terbaik.
Tapi Starbuck bukanlah minuman kopi saya sehari-hari sebab kopi Starbuck seenak apapun tetap rasa uang, berat di kantong kalau terlalu sering membelinya.
Starbuck memang menjadi mesin uang yang kencang. Mulai tahun 2000-an Starbuck bertumbuh luar biasa di seluruh penjuru dunia, setiap hari ada 7 gerai dibuka.
Pemimpinnya telah berganti-ganti dan makin tahun Starbuck makin berkembang menjauh dari yang diinginkan oleh pendirinya. Starbuck bukan hanya menjual kopi, tapi juga makanan panas, CD, boneka dan merchandise lainnya. Bisnisnya melebar seiring dengan pelebaran jangkauannya.
Mengejar pertumbuhan, Starbuck menjadi rapuh dan kehilangan visi perushaannya. Pelangan kehilangan pengalaman minum kopi yang dulu selalu dijaga oleh Starbuck. Nama Starbuck diekploitasi sebagai komoditas.
Krisis keuangan di Amerika Serikat tahun 2008 membuat Starbuck terpuruk, coffee shop itu oleng.
Di Indonesia mungkin tak terasa karena Starbuck masih moncer-moncernya, melenggang tanpa saingan sebagai tempat ngopinya para esmud, eksekutif muda.
Saya juga masih merasa keren kalau ngopi di Starbuck.
Howard yang telah meninggalkan operasional Starbuck kemudian dipanggil kembali sebagai CEO. Di tahun 2008 itu Howard menutup gerai-gerai Starbuck yang berkinerja buruk dan mulai fokus untuk kembali menghidupkan Starbuck Experience.
Howard mengambil langkah radikal sekaligus kontroversial dengan menutup seluruh gerai di Amerika Serikat selama satu hari pada hari yang sama. Pada saat itu semua barista dilatih kembali untuk menghidupkan Starbuck Experience.
Setelah pondasi Starbuck kembali dikokohkan, Howard kembali melakukan ekpansi tetapi lebih hati-hati dengan membuat tim khusus untuk melakukan penilaian terutama akan menyetujui pembukaan cabang pada Lokasi yang terbaik.
Dan inovasi terbaik dari Howard adalah peluncuran Starbuck Cards tempat para pelanggan bisa mendeposit uang untuk berbelanja di seluruh gerai Starbuck. Konon uang hasil deposit para pelanggan itu melebihi jumlah uang deposit di banyak bank. Starbuck lebih dahulu mendapat uang pelangan sebelum mereka membeli kopinya.
Cerdasnya selain mendapat uang, Starbuck juga mendapat data dari pelanggan tentang kebiasaan mereka berbelanja di Starbuck. Starbuck punya big data gratis.
Howard kembali mundur dan diganti oleh CEO lainnya pada tahun 2017. Starbuck terus gas poll dengan berbagai inovasi termasuk secret dan speciality menu. Varian minuman di Starbuck sudah melewati angka 80 ribu jenis. Luar biasa.
Namun pandemi datang, Starbuck kembali oleng. Penjualannya turun hingga 40 persen. Namun Starbuck bergerak cepat dan setahun kemudian kembali sehat bahkan bisa mencapai rekor penjualan di tahun 2021.
Di tengah masa jayanya, Starbuck diguncang dari dalam oleh para pegawainya. Mereka yang bekerja di Starbuck menuntut untuk membentuk serikat pekerja. Howard dipanggil kembali untuk menjadi CEO Starbuck.
Bagi Starbuck, pembentukan serikat pekerja berlawanan dengan prinsip perusahaan. Perusahaan tidak ingin ada perantara dengan para mitra atau pekerja.
Howard membuat langkah tidak populer dimata investor dengan membatalkan rencana pembelian kembali saham oleh Starbuck. Howard mengatakan uang untuk membeli saham atau keuntungan perusahaan akan lebih banyak diinvestasikan untuk karyawan dan gerai.
BACA JUGA : 24 Jam
“Starbuck tadi didemo,” ujar teman mengawali perbincangan saat kami duduk ngopi sore tak jauh dari gerai Starbuck di jalan yang dulu ruko-rukonya sepi namun kini dikenal sebagai area nongki-nongki.
Saya menduga pasti didemo oleh kelompok peduli perjuangan Palestina.
“Bagus lah, itu kan pilihan non violence direct action,” ujar saya.
“Bisa bangkrut kah starbuck kalau terus didemo dan diboikot?” tanya teman saya.
Saya pun beropini, kalau Starbuck saat ini lagi kesulitan bahkan tanpa didemo dan diboikot.
Tentu saja boikot dan demo yang masih terus terjadi hingga sekarang di berbagai belahan dunia termasuk di kampus-kampus yang ada di Amerika Serikat dan Eropa menyulitkan Starbuck dan brand-brand lainnya yang jadi sasaran.
Namun fundamental penurunan pendapat Starbuck bukanlah demo dan boikot melainkan perubahan trend ngopi di anak-anak muda yang secara evolutif berkembang semenjak tahun 2013.
Perubahan perilaku pasar ini membuat Starbuck sebagai sebuah brand yang kuat berada dalam situasi yang serius. Ini sebuah tantangan besar untuk Howard Shultz yang dipanggil kembali untuk keempat kalinya mengatasi krisis yang dialami oleh Starbuck.
Sejak tahun 2013 berkembang tren baru dalam dunia perkopian dengan berkembangnya kedai-kedai kopi single origin, specialty dan manual brewing. Pengalaman minum kopi tidak lagi menjadi monopoli Starbuck dan brand-brand besar lainnya.
Pengalaman minum kopi yang terpersonalifikasi kemudian menjadi branding banyak coffee shop, pilihan tempat ngopi dan nongki makin tersegmentasi. Starbuck yang mungkin saja masih menempati top mind pasar tapi tidak menjadi pilihan pertama lagi ketika ingin ngopi.
Secara global, penurunan pendapatan Starbuck terbesar terjadi di China, disana Starbuck menghadapi kompetitor yang pertumbuhan cepat yakni Luckin Coffee dan Tomoro. Kedai ini bahkan juga sudah berekpansi keluar China.
Di Indonesia sendiri pertumbuhan kedai kopi manual brewing dan disusul dengan kedai kopi kekinian atau fast coffee masih belum berhenti dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini. Ngopi enak dan asyik tak lagi eksklusif milik Starbuck. Pasar kopi telah terdispersi.
Starbuck memang berusaha menyesuaikan dengan tren, namun tidak semua gerai Starbuck mempunyai layanan kopi manual brewing, segelas kopi yang bijinya bisa dipilih oleh pelanggan.
Tampaknya jika Starbuck gagal melakukan retargeting dan remarketing kapalnya akan tetap oleng. Hanya sekedar membuat promosi beli satu dapat dua tak akan membuat pembeli kembali ngopi di Starbuck saat masa promosinya sudah habis.
note : sumber gambar – TRIBUNNEWS