KESAH.ID – Pendidikan adalah tonggak peradaban bangsa, namun melihat perjalanan pendidikan di Indonesia apa yang ditanamkan oleh para bapak pendidikan ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Ini adalah catatan kekhawatiran Christian Toda Rado yang menemukan kemajuan teknologi membuat para pembelajar dimanjakan oleh sistem. Gurupun bergantung pada teknologi sehingga mengajar ala kadarnya karena merasa apapun yang diperlukan oleh siswanya ada di internet. Berpikir kritis, ekplorasi melalui diskusi atau pembelajaran yang dinamis dan partisipatif menjadi langka.
Bukan kebetulan kalau secangkir kopi dan sebatang rokok bisa mengajakku melihat apa yang harus dilihat, mengulik apa yang harus dikulik. Konon, kopi dan rokok memang mengandung zat yang memicu kerja otak rasional.
Diteras rumah, ditemani kopi dan rokok, pikiranku melayang ke soal pendidikan. Sepagi ini aku sudah khawatir dengan celoteh anak-anak yang menganggap remeh soal pendidikan. Sekolah sering dianggap formalitas yang mesti diikuti agar beroleh ijazah. Dengan ijazah bisa bekerja. Sesederhana itu saja, tak peduli pada makna sesungguhnya soal pendidikan.
Sebegitu bobrokkah sistem pendidikan kita sehingga membuat siswanya berpikir seperti itu. Perkembangan teknologi yang membuat semua serba gampang semakin memanjakan generasi-generasi yang pragmatis. Yang penting tugas selesai, walau itu bukan pikiran sendiri. Chat GPT kini menyelesaikan segalanya.
Di jaman serba digital ini hampir semua hal bisa dijangkau dengan teknologi. Kitapun cenderung dimanjakan oleh sistem.
Tantangan di sekolah adalah berpkirir kritis. Karena serba ada, guru melakukan pengajaran ala kadarnya. Jarang mengajak siswanya berpikir kritis, membangun ruang-ruang diskusi, dan berdinamika soal pembacaan situasi tentang apa saja yang pada hari ini. Bahkan masih tidak sedikit siswa Sekolah Dasar (SD) yang tak mengetahui siapa itu Ir.Soekarno dan Hatta, ini merupakan contoh kecil yang cukup memprihatinkan.
Sedangkan di sisi lain ada yang ingin merasakan pendidikan tetapi terhalang oleh finansial, betapa mirisnya jika kita lihat, karena bagi mereka pendidikan menjadi sesuatu yang terkesan ekslusif, sehingga tidak semua warga negara bisa menerima pendidikan.
Jika kita melihat lagi kebelakang ketika masa kolonial, banyak orang Indonesia yang ingin merasakan pendidikan tetapi hanya kalangan tertentu bagi pribumi yang bisa sekolah. Lalu ketika berada di bangku sekolah pun harus punya mental yang kuat, karena pasti akan menjadi bulan-bulanan dari orang Belanda. Sistem pendidikan pada masa itupun terbilang sangat tidak adil karena kediktatoran Belanda juga terasa hingga ke pendidikan.
Terjadi banyak sekali ketimpangan antara siswa pribumi dan Belanda, yang mana siswa Belanda selalu mendapat hak istimewa. Sukarno, bung besar kita mengalami hal itu. Tetapi hal itu bukanlah menjadi penghalang baginya, didalam bukunya yang berjudul Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno bahkan mendirikan kelompok belajar yaitu Tri Koro Dharmo yang berarti “Tiga Tujuan Suci” saat Ia masih menempuh pendidikan di HBS. Selain untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme, tujuan Soekarno juga adalah untuk mendidik calon penerus bangsa.
Sedangkan di era sekarang ketika pendidikan lebih mudah untuk diakses masih banyak yang menyepelekannya. Sistem-sistem digital yang seharusnya menjadi sarana pembantu atau penyeimbang, bukan malah dijadikan sebagai patokan, sehingga membuat siswa malas untuk berpikir. Jika terus seperti ini maka akan menyebabkan kemunduran intelektuil.
Filsuf India Swami Vivekananda pernah menulis, “Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan.Pergunakan pengetahuanmu untuk diamalkan.” Ini merupakan sebuah kutipan yang perlu diresapi, karena untuk melawan kedunguan di era sekarang bukanlah buta huruf, tetapi kedunguan yang dibelenggu oleh pemikiran pragmatis dan oportunistik, dua hal itu merupakan combo yang sangat berbahaya jika terus biarkan, karena akan menjadi bibit-kapitalisme busuk di masa mendatang.
Mengapa pendidikan sangat penting? Melalui pendidikan individu didorong untuk berpikir kritis, kreatif dan menciptakan ide-ide baru, karena pada dasarnya pendidikan adalah tonggak untuk memajukan peradaban bangsa.
Sesuai dengan maknanya pendidikan adalah kombinasi dari pedagogi kritis dan partisipatoris. Pedagogi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “pais” yang berarti anak, dan “gogos” yang berarti pemimpin, sedangkan partisipatoris berasal dari bahasa inggris yaitu ‘‘participationt’’ yang berarti keterlibatan secara pikiran mental dan emosi, jadi pedagogi kritis lebih menekankan pembebasan dari struktur yang menindas, sedangkan partisipatoris mendorong siswa untuk menjadi subjek aktif dalam pembelajaran.
Menurut Ki Hajar Dewantara Pendidikan adalah upaya untuk memajukan bertumbuhnya pendidikan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran, serta tubuh anak. Jadi kita tidak bisa menganggap remeh karena pendidikan adalah tonggak penting untuk kemajuan tingkat SDM bangsa kita.
sumber gambar – REY
BACA JUGA : Kenapa Sekolah?
BACA JUGA : Banyak Capres
note : rubrik ini merupakan publikasi catatan hasil kerjasama dengan Tarekat Menulis Samarinda yang akan terbit setiap Sabtu dan Minggu.








