KESAH.ID – Indonesia semakin mengkota dan ciri kota adalah semen. Tak heran jika kemudian kota-kota menjadi semakin panas, kehilangan hawa dingin dan kelembabannya. Perkerasan lahan yang masih membuat air sebagai pendingin kota berubah menjadi air permukaan yang diupayakan untuk dibuang secepat mungkin ke laut agar tidak menjadi bencana banjir. Kota yang membuang air tidak akan menjadi kota ideal, karena kehilangan hawa sejuknya. Kota-kota menjadi semakin panas dan kota yang panas bukan kota yang ideal.
Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di Pegunungan Menoreh sisi barat bagian selatan, saya terbiasa dengan lingkungan dengan hawa yang tak panas dan tak dingin. Anggap saja pas mantap.
Dengan daya jelajah waktu itu, lingkungan tempat tinggal nenek dan saudara-saudara lain dari sisi bapak terasa lebih dingin. Bapak berasal dari daerah pegunungan antara Purworejo – Kulon Progo, daerah yang wilayahnya banyak memakai nama Kali, seperti Kaligesing, Kaligono, Kalikotak dan lain-lain.
Disana dinginnya lebih menggigit, tidur malam tak bakal terpejam tanpa ditutupi selimut. Jangankan itu mandi sore saja gigi bisa bergemeretuk, beradu antara gigi atas dan bawah karena dingin yang hampir tak tertahankan.
Hawa seperti itu ideal untuk liburan. Dan waktu itu ketika libur sekolah saya lebih sering memilih berlibur kesana, kami menyebutnya pergi libur ke Mbah Wetan.
Kami menyebut Mbah Wetan sebagai kebalikan dari Mbah Kulon, kakek dan nenek dari pihak ibu saya. Mbah Kulon memang tinggal di sebelah barat kampung tempat tinggal kami. Mereka tinggal di Kutoarjo.
Hawa disana relatif lebih panas dari kampung tempat tinggal saya karena lebih dekat dengan laut, pesisir selatan yang pantainya seperti padang gurun.
Sesekali saya juga berlibur ke rumah Mbah Kulon karena ada kesenangan lain yakni dekat dengan Stasiun Kereta Api. Dan Mbah Kakung atau bapak dari ibu saya bekerja di PJKA, sehingga kalau ada waktu luang saya kerap diajak naik kereta, bolak balik saja antara Kutoarjo-Yogya, atau Kutoarjo – Purwokerto.
Karena sekolah, saya juga pernah tinggal di Mertoyudan. Daerah tengah pulau Jawa yang punya gunung-gunung. Mertoyudan terletak antara Magelang dan Muntilan. Udara disini juga nyaman, meski kalau siang juga terasa panas namun pagi dan sore sejuk-sejuk enak.
Daerah lain di Jawa Tengah bagian selatan yang pernah saya tinggali cukup lama adalah Karanganyar. Salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Kebumen. Hawanya tak jauh berbeda dengan Kutoarjo, pun suasananya karena sama-sama dekat dengan Stasiun Kereta Api.
Saya tinggal di wilayah ini sampai sekitar tahun 90-an.
Meski tak lama, saya juga pernah mencicipi nginap di beberapa kota lain seperti Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta.
Seingat saya, Semarang panas, Yogyakarta asyik, Surabaya ruwet dan Jakarta membikin kagum.
Semarang memang bergunung-gunung tapi dekat laut wajar kalau agak panas. Yogyakarta relatif sama dengan Purworejo, kota tempat tinggal saya yang punya laut di sisi selatan tapi agak jauh. Yogya asyik di mata saya karena punya Kebun Binatang Gembiro Loka dan Maliboro.
Sebagai Cah Ndeso tentu saja saya kagum dengan Jakarta yang mempunyai gedung-gedung tinggi, monumen yang menjulang, taman hiburan yang besar, kendaraan yang jarang saya lihat dan lain-lain.
Sekitar tahun 80-an saya pertama ke Jakarta dan menginap di Gedung Kwartir Nasional. Saya lupa persis di lantai berapa namun dari jendela kelihatan perkampungan padat di bagian belakang dan aliran air yang berwarna hitam di saluran air.
Pemandangan yang tak asing karena visual seperti itu selalu hadir dalam film-film nasional yang berlatar kehidupan Kota Jakarta. Cerita tentang Jakarta juga bukan cerita yang luar biasa, karena sebagian besar tetangga saya di Purworejo, salah satu anggota keluarganya pasti ada yang merantau ke Jakarta.
BACA JUGA : Nama Makanan Yang Sering Bikin Kita Cekikikan
Awal tahun 90-an saya ke Manado dengan menumpang Kapal Laut dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menuju Pelabuhan Bitung. Ada yang membuat saya terpana dalam perjalanan dari Bitung menuju Manado, sepanjang jalan dipenuhi dengan pemandangan pohon kelapa. Pantas jika kemudian Sulawesi Utara identik dengan Nyiur Melambai.
Ternyata saya tidak tinggal di Kota Manado, melainkan di Minahasa namun pada sisi yang lebih dekat dengan Kota Manado daripada Ibukota Minahasa, Tondano.
Saya tinggal di Pineleng, kota setingkat kecamatan yang cukup ramai karena dilewati jalan poros Minahasa – Manado.
Jalannya tidak lebar sampai sekarang makanya dalam saat-saat tertentu macetnya sering panjang. Kendaraan mesti berjalan merayap pelan.
Hampir tak ada bangunan besar di Pineleng, kecuali Sekolah Tinggi tempat saya menuntut ilmu dan asramanya tempat saya tinggal. Kelak ada komplek BPG, Balai Pendidikan Guru yang juga besar. Gedung BPG ini dulu pernah untuk menampung pengungsi sewaktu Gunung Lokon meletus.
Kehidupan di Pineleng relatif nyaman, udaranya seimbang antara panas dan dingin. Terkadang siang-siangpun enak tidur dengan berselimut. Tapi kadang malam juga gerah terlebih jika sudah menenggak cap tikus, kasegaran, saguer dan jenis minuman lainnya.
Sekitar enam tahun saya tinggal di Pineleng baru kemudian bergeser sedikit ke Manado. Sebenarnya jaraknya tak terlalu tapi hawanya berbeda. Manado adalah Kota Pantai dengan kontur berbukit-bukit. Di Manado saya jarang tidur memakai selimut.
Walau panas namun relatif berangin, panas-panas tapi semilir.
Ada beberapa tempat di Manado yang sempat saya tinggali. Yang paling menyenangkan tentu ketika tinggal di dekat kompleks Universitas Sam Ratulangi atau Unsrat. Banyak yang meyangka saya kuliah di Unsrat dan kemudian saya luruskan dengan mengatakan “Saya kuliah di Unprat”.
Sebutan Unprat atau Universitas Perempatan memang terkenal waktu itu untuk mengambarkan anak-anak muda seumuran anak kuliahan yang suka nongkrong di perempatan Universitas Sam Ratulangi.
Saya juga pernah tinggal di dekat pantai tak jauh dari Boulevard Manado, kawasan yang tak ada matinya selama 24 jam, terlebih ketika area reklamasi mulai ditumbuhi gedung-gedung pusat perbelanjaan.
Saya dulunya sempat ikut menentang reklamasi Teluk Manado. Tapi akhirnya ketika jadi tak kuasa menghindarinya, ikut nongki-nongki disana.
Biasanya kami hanya tersenyum kecut ketika salah satu diantaranya mengingatkan waktu dulu-dulu. Sambil memandang Manado Tua dari kejauhan, seorang teman berguman pelan “Ternyata nyaman juga nongkrong disini,”
Hal yang tidak nyaman di Manado waktu itu dan mungkin sekarang belum terurai adalah kedudukan Manado sebagai pusat. Orang sering bilang stad atau centrum, sehingga kendaraan dari semua sisi mengarah kesana dan bertemu di satu titik.
Orang Manado waktu itu memang suka naik kendaraan umum, sebutannya mikro. Hingga kemudian pusat kota penuh dengan mikro, selalu terjadi bottle neck di titik-titik tertentu.
Hawa menjadi tidak nyaman di tempat-tempat itu, panas karena hawa plus asap kendaraan.
BACA JUGA : New ‘Warung Deng’ Berani Head To Head Dengan Minimart
Mungkin Manado bukan kota ideal tapi tetaplah kota yang menyenangkan. Namun pada akhirnya saya harus meninggalkannya. Menyeberang ke pulau terbesar kedua di Indonesia, Kalimantan.
Saya ke Samarinda, bukan untuk piknik namun untuk tinggal.
Jika Sulawesi Utara memikat saya karena jajaran pohon kelapa, Kalimantan Timur mengejutkan saya karena jauh dari bayangan saya tentang Kalimantan yang penuh rimba. Tapi sungainya, Sungai Mahakam membuat saya terpana, lebarnya seperti lautan, panjang tak habis-habis. Saya merinding ketika pertama kali melewati Jembatan Mahakam kala menyeberanginya.
Samarinda memang Kota Tepian, kota yang berada di pinggir aliran sungai.
Dan saya tahu semua peradaban bermula dari tepian sungai. Namun perkembangan pengetahuan dan teknologi kemudian tidak lagi berfondasi air sehingga kota-kota tepi sungai permukimannya bertumbuh menjadi kawasan kumuh.
Dan Samarinda mengalami hal itu, kawasan tepian sungainya terutama anak-anak Sungai Mahakam menjadi cermin pecah bagi kota ini.
Dan Samarinda puluhan tahun terakhir ini berjuang untuk membebaskan diri dari itu dengan mengintepretasi TEPIAN menjadi Teduh, Rapi, Indah dan Nyaman. Samarinda yang ideal adalah TEPIAN.
Namun karena dasarnya adalah Kota Air, perjuangan untuk menjadi TEPIAN ternyata justru dikenal menjadi Kota Banjir.
Untuk menjadi kota ideal, Samarinda mesti melakukan revolusi. Dan revolusi itu dilakukan dengan merubah tagline TEPIAN menjadi PUSAT PERADABAN.
Loncatannya cukup kelihatan terutama dari sisi fisik, Samarinda sibuk memoles dirinya termasuk menata air.
Hanya saja tantangan untuk mewujudkan sebuah kota menjadi ideal saat ini bukan hanya soal landscape, soundscape, smellscape saja tapi juga soal iklim atau hawa.
Berada di dekat garis khatulistiwa, idealnya suhu kota adalah antara 25 – 27 derajat celcius.
Dan di tahun 2023 ini, Samarinda berhasil mencapai suhu terendah 24 derajat celcius tapi suhu tertingginya hampir merata selalu di 32 derajat celsius sepanjang tahun, kecuali bulan Juni – Juli. Samarinda bukan hanya panas tapi sering kepanasan.
Walau banyak kedai kopi tumbuh, tapi yang paling laku di coffee shop bukan kopi panas melainkan minuman es-es-an.
Dan brand lokal yang kemudian kuat adalah Es Teh, hingga brand dari luar yang dikomandoi oleh Nagita Slavina sekalipun tak cukup kuat untuk mengalahkannya.
Kembali ke soal bagaimana menjadi Kota Samarinda sebagai kota ideal, semangat menjadi Pusat Peradaban adalah jalan yang benar.
Pertanyaan pada bagian mana blue print Pusat Peradaban yang berisi rangkaian aksi atau pondasi untuk menjadikan Kota Samarinda sebagai kota yang teduh bukan karena dipayungi atap tinggi melainkan karena mampu menurunkan hawa panasnya.
Dari banyak hal yang membuat kota ini menjadi semakin panas, salah satu penyebabnya adalah makin merajelanya perkerasan permukaan dengan semen.
Dan kita tahu, peradaban yang dibangun dengan semen atau grey development tidak mampu menurunkan panas di penjuru manapun.
Samarinda akan mampu menjadi pusat peradaban jika mampu menjadi pioner pembangunan biru dan hijau. Pembangunan yang ramah air adalah keniscayaan dan ingat semen adalah musuh air.
note : sumber gambar – KOMPAS.COM