KESAH.IDPetani mungkin merupakan kelompok masyarakat paling sabar di Indonesia, selain itu juga paling tidak baperan. Bagaimana tidak, sebagai salah satu kelompok dengan ekonomi terbawah, petani selalu diharapkan menyediakan komoditas dengan harga murah meriah. Pemerintah dan masyarakat pada umumnya selalu ribut kalau harga produk pertanian naik, semua berusaha dan minta harga diturunkan. Kalau begitu kapan petani bisa sejahtera?

Pemimpin kita itu sering kali tiba masa tiba akal kalau berhadapan dengan gejolak yang berkaitan dengan pangan pokok.

Seperti ketika beras naik tajam lalu ditanya oleh pewarta apa yang akan dilakukan, mereka dengan enteng menjawab “Kalau beras mahal, ya ganti aja makan singkong,”

Jawaban itu seolah telah menjadi template.

Padahal jelas jawaban itu ngawur, karena harga singkong malah lebih mahal dari nasi. Pun ketersediaan singkong sering dianggap besar sehingga mampu menopang jika masyarakat beramai-ramai pindah dari makan nasi lalu makan singkong.

Data dari FAO tahun 2022 menunjukkan posisi Indonesia hanya berada di nomor 7 sebagai penghasil singkong, kalah jauh dibandingkan dengan Nigeria, Kongo, Ghana dan Thailand.

Singkong di Indonesia adalah tanaman sambi lalu, tidak dibudidayakan secara serius sebagai komoditas. Posisi dalam dunia isi perut juga tidak strategis karena singkong bukanlah bahan utama untuk makanan pokok, posisi singkong dan produk turunannya hanya untuk camilan.

Bahkan konon tepung singkong atau mocaf, bukan tepung tapioka, kanji atau aci diimport dari Thailand.

Mengira makan singkong lebih murah adalah asumsi tanpa dasar.

Lagi pula jaman orang makan singkong adalah jaman lampau, itupun dilabeli dengan stigma sebagai makanan orang susah.

Kalaupun ada yang menyajikan singkong atau olahannya sebagai makanan pokok dalam sebuah acara atau kegiatan, itu tak lebih hanya ‘gaya-gayaan’ untuk mendukung program keragaman pangan. Makan singkong hanya selebrasi atau upacara belaka.

Secara faktual yang lebih diterima sebagai bahan makanan pokok pengganti nasi justru tepung, entah dalam bentuk roti atau mie. Sudah lazim orang sarapan pagi dengan roti, dan makan siang atau malam dengan hamburger, pizza, sandwich, hotdog, mie, spaghetti dan pasta-pasta lainnya.

Bukti bahwa gandum adalah makanan pokok kita yang kedua adalah kecenderungan importnya yang dari tahun ke tahun makin meningkat. Import gandum tahun lalu sudah lebih dari 10 juta ton dengan nilai diatas 40 trilyun.

Andaikan saja singkong ditanam untuk menhasilkan tepung {mocaf}, maka mie instan bisa dibuat dari bahan tepung singkong. Namun saat ini membuat mie instan dengan bahan tepung singkong harganya jauh lebih mahal dari pada dari tepung gandum.

Dengan demikian ucapan ngawur para pemimpin saat harga beras naik lalu menganjurkan untuk mengganti beras dengan singkong sesungguhnya adalah cermin kegagalan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Program swasembada beras yang digaungkan sejak jaman pemerintahan orde baru tak juga berhasil, cara yang dilakukan oleh pemerintah dari presiden ke presiden masih saja sama yakni mencetak sawah baru. Proyek itu dinamai food estate, sebuah proyek yang sejak jaman Suharto sudah gagal karena lahan yang berkesesuaian untuk menanam padi tidak tersedia secara merata di seluruh Indonesia.

Alhasil di Papua, food estate justru memusnahkan lahan pangan local yakni hutan-hutan sagu, sementara di Kalimantan, proyek food estate justru mirip lagu yang dipopulerkan oleh Broery Marantika yakni buah semangka berdaun sirih. Lantaran yang ditanam singkong tapi yang berbuah jagung.

BACA JUGA : Gua Tanjak Langit

Jika berdasarkan data, FAO mencatat pada tahun 2020 produksi padi Indonesia mencapai angka 54,60 juta ton. Jumlah ini menempatkan Indonesia menjadi produsen beras ketiga terbesar di dunia setelah China dan India.

Meski merupakan salah satu negara penghasil padi terbesar namun masyarakat Indonesia juga tercatat sebagai konsumen beras terbesar di dunia. Rata-rata penduduk Indonesia membutuhkan beras 130 kilo per tahunnya.

Dengan kecenderungan produksi naik setiap tahunnya walau tidak besar, hasil produksi gabah yang dikonversi menjadi beras ternyata belum cukup aman untuk menjaga gejolak pasar pangan pokok ini.

Berbagai macam kondisi alam yang makin sulit diprediksi, kerap membawa Indonesia pada defisit keamanan pangan. Amannya, pemerintah harus mempunyai cadangan pangan sebesar satu juta ton diatas kebutuhan. Cadangan beras pemerintah ini biasanya diperoleh dengan cara impor, karena produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan beras masyarakat yang mencapai angka 35 juta ton per tahunnya.

Memasuki bulan Januari – Februari 2024 terjadi gejolak harga beras. Namun menjelang hari pencoblosan mungkin belum terlalu terasa karena ada banyak calon membagi beras gratis untuk masyarakat.

Hanya saja setelah hari pencoblosan, masyarakat mulai mengeluh tentang kenaikan harga beras yang terasa ekstrim.

Dan bicara soal beras, dalam memori masyarakat selalu tersimpan harapan tentang pangan murah atau beras murah.

Pun demikian dengan pemerintah, begitu harga beras mulai merangkak maka gerakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah Gerakan Pangan Murah. Gerakan ini dilakukan dengan cara mengelontorkan Cadangan Beras Pemerintah lewat Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan.

Masalahnya Cadangan Beras Pemerintah tidak selalu cukup, pengadaan untuk mengatasi defisitnya juga tidak bisa cepat. Proses import beras selalu butuh waktu, pun ketika dilakukan dengan cara menyerap produksi dalam negeri maka mesti menunggu panen raya tiba.

Dan begitulah yang terjadi dari tahun ke tahun, tidak banyak perbaikan yang bisa membuat pemerintah selalu punya cadangan beras yang cukup atau ber-swasembada pangan.

Jika mengingat tahun 70-an, masyarakat pada waktu itu belum terlalu akrab dengan istilah swasembada beras. Maka masyarakat secara kolektif dengan kearifan tradisionalnya berupaya mengamankan pasokan pangan secara komunal lewat lumbung padi.

Namun seiring dengan program ektensifikasi dan intensifikasi pangan {beras} lewat revolusi hijau ala Suharto, lumbung padi versi masyarakat secara perlahan hilang. Lumbung padi kini berada di tangan pemerintah lewat Bulog.

Kalaupun kini pada masyarakat tradisional masih ada sisa-sisa bangunan lumbung padi jika ditenggok bagian dalam isinya kosong.

Sebagai negeri pengkonsumsi beras, tantangan yang selalu menghadang untuk memenuhi kebutuhan pangannya adalah soal produktifitas beras. Selain iklim yang semakin tidak akrab dengan budidaya padi, jumlah petani dan lahan produktif tidak bertumbuh.

Lahan menjadi tidak produktif selain karena konversi, juga karena pola pengolahan tanah yang tidak tepat. Asupan nutrisi dengan pupuk sintetik yang berlebihan membuat tanah jadi mati, kekurangan mahkluk mikroorganisme yang menjaga kesuburan tanah.

BACA JUGA : Phobia PKI

Stabilisasi harga pangan menjadi salah satu prioritas dari pemerintah. Dibentuk berbagai badan, kelompok kerja dan berbagai macam panitia untuk menjaganya. Pemerintah juga membuat patokan harga untuk memastikan agar harga pangan merata dari Sabang sampai Merauke.

Masalahnya produksi pangan tidak ditangan pemerintah, yang disebut dengan cadangan riil hanya yang ada di Bulog, sisanya tersebar di tangan-tangan yang lain. Angka cadangan pangan secara keseluruhan tidak semuanya riil, sebagian masih merupakan proyeksi.

Dengan demikian data bisa salah, karena proyeksi bisa saja meleset akibat berbagai kendala yang mengakibatkan hasil panen atau produksi tidak tercapai.

Bahkan ketika angka cadangan pangan tercapai, tidak ada jaminan di daerah-daerah tertentu harganya akan stabil, sebab persebaran cadangan pangan tidak juga tidak merata.

Lebih dari itu meski diatur-atur oleh pemerintah, pasar pangan sejatinya berada di pasar bebas, bukan pasar tertutup seperti halnya energi minyak dan listrik.

Meski pangan merupakan komoditas yang abadi, dalam prakteknya banyak kontradiksi. Sebab membudidayakan komoditas pangan pokok terutama padi ternyata tidak terlalu menarik perhatian petani. Bertanam padi untungnya tidak terlalu banyak, bahkan kerap rugi.

Sebagai komoditas yang dibutuhkan oleh semua orang, produksi pangan mestinya besar. Dengan lahan yang semakin sempit dan menurun mutu atau kesesuaian lahannya diperlukan efisiensi yang tinggi. Pertanian mesti dimodernisasi dan dimekanisasi atau dikelola dalam model korporasi.

Tapi lahan pertanian terutama padi dimiliki oleh orang perorangan dalam luas area yang terbatas. Proses mekanisasi yang berbasis perorangan jelas tidak efektif karena modal yang diperlukan oleh masing-masing petani menjadi besar.

Sudah benar pemerintah mendorong terbentuknya kelompok tani, agar manajemen budidaya dilakukan secara kolektif.

Hanya saja meski jumlah kelompok tani sudah ribuan namun manajemen budidaya atau tata kelola secara kolektif tidak otomatis terbentuk. Dari banyak kelompok tani hanya sedikit yang aktif dan benar-benar bekerjasama secara kolektif.

Efektifitas bantuan atau skema dukungan lainnya dari pemerintah terhadap petani diragukan keberhasilannya. Yang lebih sering muncul di berita atau jagat informasi adalah upacara penyerahan bantuan ketimbang bagaimana bantuan-bantuan itu bisa memberdayakan petani secara kolektif.

Di luar itu pemerintah gemar sekali melakukan selebrasi atau launching gerakan keragaman pangan. Namun road map atau cetak biru untuk mewujudkannya tidak terbukti. Sampai sekarang pangan utama tetaplah beras atau nasi, pangan alternatif yang kemudian menguat bukan umbi-umbian atau biji-bijian khas Indonesia melainkan gandum.

Bukti bahwa keragaman pangan tidak tumbuh bisa dilihat dari usaha kuliner. Sedikit sekali resto, warung, kios atau café yang menyajikan pangan pokok selain nasi. Sulit menemukan ada resto, warung, kios atau café yang dalam list menunya ada sagu, singkong, ubi jalar, nasi jagung, gadung, keladi dan lainnya.

Jadi makanan pokok selain nasi, roti, kentang, mie atau pasta terbukti kurang komersil. Artinya semua program pemerintah untuk meningkatkan keragaman konsumsi makanan pokok tidak berhasil.

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat menghapus seruan ‘pangan murah’ setiap kali terjadi gejolak kenaikan harga beras. Sebagai ketubuhan pokok, yang mesti diutamakan adalah ketersediaan dan pemerataan, soal harga yang dipatok mestinya harga yang wajar, harga yang memenuhi nilai ekonomi bagi pembudidayanya.

Adalah tidak adil kalau kita selalu bicara soal pangan murah, sebab petani sebagai penghasil bahan pokok pangan adalah salah satu kelompok yang paling tidak sejahtera dalam struktur masyarakat kita.

Bagaimana kitab isa mendorong petani untuk menghasilkan produk terbaik berupa pangan yang sehat jika selalu dihantui oleh harga beli yang murah meriah.

note : sumber gambar – HARIANHALUAN.COM