KESAH.ID – Di group komunitas facebook kerap kali muncul pertanyaan dari anggotanya tentang kos bebas. Kos yang pemiliknya mempunyai aturan simple saja yakni jangan telat membayar. Yang lainnya atur sendiri seusai dengan kondisi dan situasi setempat.

Ibu tak mengabulkan permintaan saya untuk kos saat duduk di bangku SMA. Sekolah saya berjarak kurang lebih 11 km dari rumah. Untuk mencapai sekolah perlu dua kali naik kendaraan umum, dari depan rumah ke pusat kota, lalu dari pusat kota ke sekolah.

Pagi-pagi buta saya harus bangun dan bersiap ke sekolah, jika jam 6 pagi belum melangkahkan kaki ke jalan bisa dipastikan saya akan terlambat. Pintu gerbang sekolah akan ditutup dan dibuka 15 menit setelah pelajaran pertama lewat.

Siapa saja yang terlambat harus menghadap ke guru piket untuk mendapat tiket masuk kelas, semakin sering terlambat semakin sulit untuk membuat alasan. Guru piket tidak akan memenerima alasan sulit mendapat kendaraan, mobil mogok atau bocor di jalan. Alasan bangun kesiangan akan disamakan dengan malas sekolah.

Sebenarnya bukan guru piket yang saya dan teman-teman takuti melainkan Kepala Sekolah. SMA saya sering disebut SMA Susteran karena penanggungjawab persekolahannya adalah para Suster, kepala sekolahnya juga Suster. Suster yang oleh muridnya dikenal sebagai suster yang galak.

Dimarahi oleh suster kepala sekolah adalah malapetaka, bisa membuat tidur tak nyenyak karena khawatir bakal tak naik kelas. Disiplin menjadi aturan pertama dan utama, tak menurutinya serta ketahuan sering melanggar bisa membuat suster kepala sekolah berfatwa “Silahkan cari sekolah lain,”.

Buat saya bisa sampai ke sekolah sebelum lonceng tanda masuk dibunyikan menjadi sebuah kebagiaan di pagi hari, setelah selama perjalanan dari rumah ke sekolah selalu diselimuti dengan kekhawatiran terlambat.

Ibupun tetap kukuh pada keputusannya, bahkan ketika saya meminta untuk tinggal di rumah kakek dan nenek yang rumahnya tak jauh dari sekolah saya.

Cita-cita saya untuk ngekos kala duduk dibangku SMA pupus. 3 tahun lamanya saya pulang pergi sekolah menempuh jarak kurang lebih 22 km setiap harinya. Sampai hafal apa yang ada di kanan-kiri jalan yang saya lewati setiap harinya.

Hingga akhirnya sampai sekarang saya tak punya pengalaman secara faktual tinggal di kos. Yang saya punyai adalah pengalaman tinggal di asrama. Asrama yang isinya adalah teman sekelas, seangkatan atau sekomunitas.

Astama berbeda dari kos karena mempunyai aturan, visi dan misi tersendiri. Dihuni oleh manusia sejenis dengan aturan yang rinci dari jam ke jam, mulai dari bangun pagi, makan pagi, jam belajar, jam istirahat hingga jam rekreasi. Hidup diatur oleh bunyi bel.

Sekurangnya 4 asrama pernah saya tinggali. Di asrama pertama saya tinggal di dormitorium atau ruang tidur berupa aula besar yang disekat-sekat. Kamarnya kecil-kecil sehingga disebut sebagai sel. Didalam kamar hanya ada dipan tanpa kasur, bantal, selimut dan lemari pakaian. Dormit ini kami juluki sebagai Khayangan, karena semua yang tidur terlentang akan melihat langit-langit bangunan yang tinggi.

Enam bulan tinggal disana, kemudian saya pindah ke kamar group, ruangan lebih kecil dan berisi empat tempat tidur bertingkat.

Kalau di Khayangan penghuni akan terbangun dengan bunyi bel listrik besar di langit-langit, di kamar group kami lebih sering terbangun karena ketukan pintu yang keras oleh pamong pembimbing.

Setahun saya tinggal di asrama yang tempat tidurnya tanpa kasur, hanya selembar tikar tebal yang terbuat dari daun pandan. Dan tahun berikutnya saya tinggal di asrama yang mempunyai kamar-kamar tunggal, namun dihuni dua orang setiap kamarnya.

Baru setahun kemudian saya tinggal di asrama yang setiap orang mendapat satu kamar, satu tempat tidur yang dilengkapi dengan meja belajar, lemari dan rak untuk menaruh buku serta benda pajangan lainnya.

Jika dihitung-hitung hampir 6 tahun lamanya saya tinggal di dalam asrama, tapi tak juga menjadi orang yang disiplin-disiplin amat.

BACA JUGA : Bubble Burst, Tumbangnya Perusahaan Rintisan

Setelah tak tinggal lagi di asrama, saya baru akrab dengan dunia kos. Lingkungan tinggal dan pergaulan saya adalah anak-anak kos.

Saya tinggal di rumah keluarga yang mempunyai kos-kosan. Ada rumah kos yang menjadi rumah sekaligus rumah tinggalnya, namun ada lagi rumah yang hanya ditinggali oleh anak-anak kos.

Kedua rumah kos ini aturannya berbeda antara bumi dan langit. Di rumah kos yang sekaligus jadi rumah tinggal aturannya tak beda dengan asrama yang pernah saya tinggali. Bahkan cenderung lebih ketat karena kalau asrama yang saya tinggali dihuni oleh laki-laki, sementara rumah kos ini semua penghuninya perempuan, mahasiswi.

Rumah kos yang dikenal dengan nama ‘Asrama Putri’ ini terletak tak jauh dari Universitas Sam Ratulangi. Terkenal dan harum namanya namun sebagian besar yang tinggal disana bukan atas kemauannya sendiri, melainkan karena maunya orang tua mereka.

Dalam sejarahnya tercatat hanya satu mahasiswi yang ‘kecelakaan’ itupun nanti diketahui setelah tidak lagi tinggal disana.

Rumah kos satunya beda lagi, dihuni bukan hanya oleh mahasiswi atau mahasiswa, melainkan mereka yang sudah bekerja atau dianggap dewasa. Karena dianggap dewasa rumah kos ini tak terlalu diawasi. Ada aturan tapi lebih diserahkan kepada masing-masing penghuninya, yang penting semua bisa merasa nyaman.

Saya kemudian tinggal disana karena Mamak, panggilan saya untuk pemilik rumah kos, meminta saya menemani anaknya yang tinggal disana. Saya dengan senang hati menerimanya karena tinggal disitu lebih bebas. Bisa keluar masuk jam berapa saja, bisa merokok dalam kamar dan bisa ngobrol sampai pagi. Pokoknya bebas.

Inilah tempat tinggal yang saya idam-idamkan sejak duduk di bangku SMA dulu, mengatur siklus dan jam kehidupan sendiri.

Orang-orang tua jarang menyebut kos, mereka lebih sering mengucapkan indekos. Istilah ini tak lepas dari sejarah asal usul kebiasaan tinggal di luar rumah sendiri saat sekolah atau kerja. Di jaman penduduk kolonial Belanda gaya hidup semacam ini menjadi sebuah kebanggaan.

Di masa itu ada keluarga-keluarga Belanda yang menyediakan kamar untuk ditinggali oleh kaum pribumi yang menimba ilmu di sekolah Belanda atau sekolah Kaum Priyayi. Istilahnya In De Kost yang artinya makan di dalam atau ikut tinggal dan makan didalam.

Mereka yang indekos, dianggap menjadi bagian dari keluarga, ikut hidup sebagaimana budaya keluarga itu namun membayar, biasanya bulanan.

Untuk kaum pribumi, indekos menjadi bergengsi karena mereka bisa belajar dan merasakan gaya hidup orang Eropa. Sehingga setelah selesai indekos maka akan mempunyai gaya hidup ala orang Eropa yang waktu itu dirasakan lebih terhormat.

Jadi indekos bukan hanya tinggal dan ikut makan melainkan melakukan adaptasi pada budaya orang Eropa terutama adat hidup orang Belanda.

Setelah Belanda hengkang, model indekos ala-ala Belanda masih berlanjut. Yang disebut rumah kos umumnya adalah rumah-rumah orang berada, rumahnya besar, banyak kamar juga paviliun. Yang tinggal atau indekos diperlakukan seperti keluarga sendiri.

Kisah-kisah tempat kos yang hubungan antara anak kos dan induk semang atau tuan kos seperti anak dan orang tua ini masih lazim hingga tahun 70-an.

Setelah itu rumah kos kemudian berkembang menjadi bisnis, usaha yang menguntungkan seiring berkembang kehidupan perkotaan.  Mulai banyak tempat kos yang pemiliknya tidak lagi tinggal disana, tidak mengawasi dari jam ke jam atau bahkan tidak peduli lagi bagaimana penghuninya hidup. Pemiliknya hanya cerewet pada uang sewa, urusan lainnya bisa diatur.

BACA JUGA : Menimbang Gastro Tourism

Kebutuhan kamar atau rumah kos makin tinggi seiring dengan semakin banyak jenis pekerjaan dan lembaga pendidikan di kota-kota. Makin banyak orang dari desa ke kota atau dari kota ke kota lainnya. Mereka perlu tempat tinggal sementara sebelum punya rumah sendiri.

Muncul rumah-rumah kos, ada yang merupakan bekas rumah tinggal yang kemudian diperbanyak kamarnya, ada yang sejak semula memang direncanakan untuk menjadi rumah kos.  Ada pula petak-petak yang lebih besar, masing-masing punya kamar, dapur, ruang tamu dan kamar mandi serta wc sendiri, yang sederhana biasa disebut sebagai bangsalan.

Bisnis rumah kos menjadi bisnis besar, banyak pesohor di kota-kota besar menginvestasikan uangnya untuk membangun kos dan bangsalan. Bisnis kos menjadi mesin uang, memberi pemasukan rutin setiap bulannya, istilah kerennya passive income, uang yang diinvestasikan menghasilkan uang sendiri, pemiliknya  tinggal ongkang-ongkang ‘memanen uang’.

Selain itu ada juga rumah sewaan, beberapa orang berkongsi untuk menyewa rumah dan ditinggali bersama. Namun ada juga yang disewa seseorang kemudian yang lainnya ikut menumpang dengan bayaran atau konstribusi yang disepakati bersama.

Lama kelamaan persaingan antar rumah kos menjadi keras, yang menghuni tidak sekedar ingin punya tempat tinggal melainkan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Muncullah rumah-rumah kos eklusif yang harga sewa kamarnya kalau dikumpulkan dalam setahun bisa untuk menyewa rumah.

Rumah-rumah kos yang tidak lagi terlalu diawasi, campur tangan pemiliknya tak lagi terlalu besar kemudian melahirkan istilah indehoy. Kamar atau rumah kos sering menjadi tempat bermesraan pasangan yang belum diikat oleh pernikahan resmi. Bisa jadi pacar atau bisa pula pasangan hidup bersama, selingkuhan atau simpanan.

Indehoy berasal dari bahasa Belanda in het hooi yang secara harafiah berarti ‘pada rumput kering’. Ini merujuk pada kebiasaan orang Belanda bersenang-senang atau bersantai-santai di pedesaan, berbaring-baring diatas jerami atau rumput kering pakan binatang ternaknya.

Nah, biasanya mereka yang piknik dan adalah pasangan itu kemudian berkasih-kasihan bahkan hingga berhubungan seksual di kandang. In het hooi kemudian menjadi indehoy yang secara populer dipahami sebagai bercumbu atau bermain seks bukan dengan pasangan resmi. Karenanya dilakukan sembunyi-sembunyi.

Karenanya kemudian indehoy akrab dengan rumah kos bebas, rumah sewaan, bangsalan, villa di puncak dan juga kamar hotel.

Tentu saja tidak semua yang mencari kamar atau rumah kos yang bebas karena ingin indehoy. Ada banyak yang ingin mencari kebebasan karena aktivitasnya. Jam pergi dan pulang yang tidak bisa ditebak, maka bisa pergi dan pulang setiap saat atau semaunya menjadi amat penting. Berada di rumah kos yang punya jam malam tentu akan menjadi persoalan.

Berapa tahun terakhir ini seiring dengan kemunculan hal-hal yang serba ‘e’, kos juga mengalami digitasi. Kini sulit membedakan antara kos, penginapan dan hotel, dengan berbagai macam aplikasi kamar kos bisa dijual sebagai kamar hotel, pun demikian kamar hotel bisa disewakan sebagai kamar kos.

Intinya kamar hotel bisa disewa sebagai kamar kos dengan biaya harian, mingguan dan bulanan, namun kamar kos bisa disewakan sebagai kamar hotel dengan bayaran jam-jaman.

Label kos kemudian bertambah. Ada istilah kos ‘Las Vegas’ atau disingkat LV, sebuah rumah kos yang bebas mirip kota Las Vegas yang merupakan surganya kaum penjudi di Amerika Serikat sana.

Apapun itu yang perlu diingat oleh mereka yang nge-kos karena ingin indehoy jangan terlalu percaya diri karena tuan kos dan tetangga kos tak peduli. Ingat masyarakat di sekitar kos bisa jadi tak mentoleransi pun juga Satpol PP dan Polsek setempat yang perlu punya prestasi di saat-saat tertentu.

Untuk Satpol PP dan Polsek setempat berhasil menangkap basah pasangan yang indehoy akan menjadi tiket baik untuk pencitraan bahwa mereka adalah penegak ketertiban sosial dan moral.

Diluar itu, baik digerebek oleh warga, Satpol PP atau Polsek setempat, kesemuanya akan menjadi makanan untuk para pemburu berita dan pewarta komunitas. Indehoy di indekos meski terjadi dimana-mana dan sebenarnya biasa saja namun tetap mempunyai nilai berita yang tinggi.

Benarlah yang dikatakan oleh seorang kawan ketika berbincang tentang warta baik kata, foto maupun video. Menurutnya warta dalam segala bentuk {mix atau multi media} yang digemari masyarakat adalah yang berkaitan dengan cairan tubuh.

Berita tentang kekerasan dan kejahatan berhubungan dengan darah, berita yang menginspirasi berhubungan dengan kerja keras hingga bermandi keringat, dan berita sedih berhubungan dengan derai air mata. Sedangkan indehoy di indekos berhubungan dengan cairan tubuh lainnya yang anda semua pasti paham.

note : sumber gambar – Liputan 6