KESAH.ID – Golkar awalnya berdiri sebagai sekretariat bersama dari golongan yang tidak berada dibawah pengaruh kelompok politik tertentu. Paska G 30 S PKI, pengaruh militer dalam Golkar menguat. Golkar kemudian bertindak seperti partai politik untuk mengikuti pemilu. Pada pemilu 1971, Golkar meraih suara lebih dari 60 persen dan kemudian bertahan sebagai mesin politik Suharto. Watak Golkar dengan visi karya kekaryaan tidak berubah hingga sekarang. Golkar adalah pelayan kekuasaan.
Tak semua orang suka Golkar, partai yang jika dihitung sejak jaman orde baru umurnya sudah hampir 60 tahun. Tapi baik yang suka maupun yang tak suka pasti prihatin ketika Airlangga Hartarto, ketua umumnya mengumumkan pengunduran dirinya padahal tak ada hak ihwal yang bisa dipakai alasan untuk menyimpulkan dia tak kompeten lagi.
Mungkin hanya satu orang yang bilang “Nah, kan apa saya bilang,”
Rocky Gerung dalam beberapa kesempatan yang lalu memang pernah mengatakan kepada Airlangga Hartarto di hadapan kader dan elit Partai Golkar. Kalau tak salah Rocky mengatakan “Pak Airlangga, setelah ini anda akan diamputasi oleh Jokowi,”
Tak ada elaborasi lebih lanjut karena setelah Rocky mengatakan itu, Airlangga pun pamit pergi.
Dalam sebuah unjuk wicara di salah satu stasiun televisi untuk membahas pengunduran diri Airlangga Hartarto, Rocky Gerung keberatan saat ucapannya disebut sebagai prediksi atau ramalan.
Rocky mungkin menganggap ramalan atau prediksi adalah kerjaan dukun. Maka Rocky mengatakan ucapannya adalah kesimpulan dari serangkaian analisa yang dilakukan olehnya berdasarkan logika.
Berangkat dari hal itu, maka Rocky Gerung ingin mengatakan kalau Airlangga Hartarto mundur karena tekanan dari Joko Widodo atau kekuasaan. Entah tekanannya seperti apa, namun yang pasti efektif dan membuat Airlangga Hartarto tak mampu melawan.
Bukan hanya Airlangga Hartarto yang tak melawan, melainkan juga Golkar.
Seolah Golkar menerima begitu saja. Bergerak begitu cepat untuk menentukan Plt Ketua Umum. Dan Plt Ketua Umum juga bergerak cepat, memimpin rapat untuk menentukan waktu Musyawarah Luar Biasa.
Skenario Musyawarah Luar Biasa untuk memilih Ketua Umum Definitif Partai Golkar pun akan dilaksanakan sebelum transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto.
Apa jawaban Golkar jika diajukan pertanyaan kenapa tidak melawan?.
Mungkin mereka akan menjawab “Melawan apa dan Siapa?”
Faktanya Airlangga mundur dan sebelumnya Airlangga tidak mengajak-ajak pengurus Golkar untuk rapat dan mengambil keputusan.
Jadi pada umumnya elit atau pengurus Golkar menganggap itu keputusan pribadi dari Airlangga.
Rumor apapun terkait tekanan terhadap Airlangga kemudian diabaikan, dianggap sebagai kabar burung.
Yang tersakiti oleh mundurnya Airlangga justru orang atau masyarakat luar, bukan orang Golkar.
Di dalam Golkar meski tak ada yang bertepuk tangan, jelas sekali ada yang merasa senang dengan mundurnya Airlangga Hartarto. Ada sederet orang di belakang Airlangga yang menunggu giliran atau mencari kesempatan untuk bisa memimpin Golkar.
Tikung menikung di Golkar memang biasa. Saking biasanya itu tak membuat Golkar runtuh sebagaimana partai lainnya yang biasanya gagu dalam menghadapi pergantian pemimpin. Kudeta di Golkar yang bagi orang luar kelihatan kasar, namun di dalam berlangsung secara smooth, kayak marshmallow yang kenyal tapi kemudian lumer didalam mulut.
BACA JUGA : Korupsi Dijogetin
Ahmad Sobari budayawan yang jarang muncul beberapa tahun terakhir ini menyebut Golkar memang merupakan partai besar. Tapi Golkar tak pernah berkuasa.
Golongan yang dulu di masa Orde Baru tak pernah mau menyebut dirinya sebagai partai memang selalu memenangkan pemilu. Tapi yang berkuasa bukan Golkar, melainkan ‘Bapak Pembina’ nya.
Golkar bukan mesin, tapi onderdil begitu kata Ahmad Sobari.
Karena hanya onderdil maka mudah dipreteli atau diganti-ganti.
Dengan prinsip karya dan kekaryaan, ganti-ganti onderdil di Golkar jadi biasa saja dan tak menganggu laju mesin. Golkar dengan cepat bisa menyesuaikan dengan kemauan ‘Bapak Pembina’ yang sekarang mungkin lebih suka disebut sebagai ‘Kakak Pembina’ agar kelihatan lebih muda.
Gonta-ganti orderdil sendiri sudah diantisipasi oleh Golkar dengan banyaknya underbouw atau organisasi-organisasi sayap tempat calon pemimpin digodok dan diuji.
Dengan cara kerja seperti itu, Golkar kemudian menjadi salah satu partai yang punya watak sebagai partai kader, tidak seperti kebanyakan partai lainnya yang bercorak partai keluarga atau partai gerombolan orang dalam.
Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Setya Novanto, Airlangga Hartarto bukan kerabat, bukan saudara, bukan besan, bukan juga bapak anak. Coba bandingkan dengan partai-partai lainnya yang ketua umumnya berkutat pada keluarga atau kelompok tertentu.
Sebagai organisasi politik, Golkar jelas modern dan terlepas dari DNA aristokrasi yang tertanam dalam diri organisasi-organisasi di Indonesia.
Masalahnya watak kekuasaan di Indonesia walaupun berlandaskan pada demokrasi masih berwarna aristokrasi. Penguasa selalu ingin mengawetkan kekuasaan, kekuasaan selalu dianggap abadi. Pemimpin di Indonesia selalu tergoda untuk memimpin selama-lamanya.
Dan Golkar selalu piawai dalam melayani model pemimpin seperti ini, Golkar selalu tahu apa yang dimaui oleh pemimpin yang tergoda untuk mengabadikan kekuasaannya.
Maka tugas Ketua Umum Golkar adalah membesarkan partai, bukan memperbesar atau memperkuat kekuasaan partai. Ketua Umum yang mencoba-coba untuk memperkuat kekuasaannya akan dihukum.
Ketua Umum yang berusaha memperkuat kekuasaan akan meresahkan banyak anggota lainnya. Golkar akan merasa terancam jika ada Ketua Umum yang kuat atau coba-coba menunjukkan atau menegosiasikan kekuatannya.
Airlangga Hartarto meski tidak sepopuler Akbar Tanjung, Yusuf Kalla, Aburizal Bakrie dan Setya Novanto ternyata berhasil membawa Golkar kembali membesar. Airlangga juga menguat karena Golkar berhasil memenangkan banyak pemilihan kepala daerah yang didukung dan diusung olehnya.
Dalam pemilu 2024, Golkar dibawah Airlangga Hartarto juga punya peran besar untuk memenangkan pasangan Prabowo – Gibran sebagai presiden dan wakil presiden RI.
Dengan modal ini kepercayaan diri Airlangga Hartarto untuk membawa Golkar dari pelayan ke penguasa mungkin jadi meninggi.
Dan disinilah masalah bermula, Airlangga Hartarto mulai dipandang sebagai duri dalam daging oleh ‘Kakak Pembina’.
Airlangga mesti diamputasi, agar virus ingin berkuasa tidak berkembang menjadi wabah di dalam Partai Golkar.
Dalam konteks ini alasan Airlangga Hartarto mundur demi menjaga soliditas, persatuan dan masa depan Partai Golkar bisa dipahami. Airlangga menerima dirinya dihukum, makanya Golkar tidak melawan padahal bisa saja pengunduran dirinya tidak diterima karena alasannya kurang masuk akal.
BACA JUGA : Goreng Marc
Tidak ada partai pemenang pemilu yang ada hanya partai meraih suara terbesar. Tapi suara besar itu belum cukup untuk menjadi pemenang karena tidak ada satupun partai yang bisa meraih suara lebih dari 50 persen.
Jadi yang ada hanyalah partai besar tapi bukan partai pemenang.
Sebelum tahun 2024, PDIP selalu menyebut diri sebagai partai pemenang, karena memenangkan pemilu legislative sekaligus memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dicalonkan olehnya.
Percaya diri sebagai partai pemenang, PDIP kemudian menyebut Presiden sebagai petugas partai. Lepas dari apapun penjelasannya, publik merasa PDIP menjadi jumawa.
Dalam pemilu presiden dan legislatif 2024 PDIP kemudian digunting. Calon presiden dan wakil presiden yang didukungnya kalah telah, perolehan suaranya dalam pemilu menurun walau masih menjadi yang terbesar dibandingkan dengan yang lainnya.
Tapi jelas PDIP tidak pasrah, tidak menuruti begitu saja bidak catur yang dimainkan oleh penguasa yang tadinya ‘dilayani’ olehnya.
PDIP dihukum tapi tidak tunduk.
Dalam pilkada serentak 2024, PDIP bahkan tetap menunjukkan moncong putihnya dengan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya pemilihan melawan kotak kosong.
DNA PDIP dan Golkar memang berbeda. PDIP tidak gerah dan resah bila berada di luar pemerintahan, sementara Golkar tidak demikian.
Golkar lebih pintar menunggang angin dan gelombang agar terus bisa asyik berselancar dalam ombak kekuasaan.
Dan siapapun yang menghalanginya, bahkan ketika itu adalah ketua umumnya akan dengan segera ditebas.
Tak seperti partai lain yang mesti digoyang dari luar, Golkar dengan sendirinya akan memangkas siapapun yang menghalangi jalan untuk tetap berada dalam pemerintahan.
Yang ditebas juga akan sulit untuk melawan karena biasanya punya tabungan kasus hukum yang bisa dipakai untuk menekan. Ngotot dan tetap melawan bisa berakhir dengan proses hukum yang akan membuat dirinya diundurkan alias kehilangan jabatan tidak dengan hormat.
note : sumber gambar – RMOL