Berkali-kali dunia diguncang oleh teori. Beberapa menjadi legendaris seperti teori bola bumi, teori heliosentris dan teori evolusi. Sampai sekarang masih saja ada yang membantah teori itu. Bukan dengan penjelasan yang ilmiah, bukan dengan data yang teruji, melainkan hanya dengan kepercayaan dan perasaan bahkan tak sedikit yang membantah dengan sinisme sependek kata “Ah, teori,”.

Teori adalah penjelasan atau narasi yang detail untuk menerangkan proses bagaimana sesuatu itu terbentuk atau terjadi. Teori bukanlah pendapat atau gagasan kosong, apalagi khayalan macam narasi yang disebut dengan teori konspirasi.

Sebuah teori layak untuk dipercaya karena didasarkan atas bukti, sudah diteliti, diamati terus menerus sebelum diambil kesimpulan. Namun berbeda dengan kepercayaan, kebenaran sebuah teori bisa diperbaharui, teori bisa digugurkan ketika ditemukan teori baru yang lebih mengungkapkan kebenaran. Pembaharuan atas sebuah teori bisa terjadi karena ditemukan perangkat atau peralatan yang bisa menelisik fenomena atau material secara lebih dalam atau ditemukan bukti baru yang menggugurkan bukti lama.

Teori akan menjelaskan bahwa tidak ada kejadian atau sesuatu yang terjadi begitu saja. Semua berproses, tidak terjadi secara spontan atau berawal dari ketiadaan. Oleh sebab itu sering menimbulkan guncangan keras, terutama sebagian realitas sebelumnya dijelaskan berdasarkan kepercayaan. Maka teori sering dihadapi dengan sinisme. Didegradasi hanya menjadi omong kosong.

Tak jarang kita dengan ada yang mengatakan “Banyak teori, aksi nol,”. Teori menjadi versus dari aksi atau praktek. Atau yang lebih parah, teori disebut sebagai berlainan dengan fakta, inkonsistensi antara omongan dan tindakan.

Kita memang tak bisa membedakan antara teori dengan pendapat atau gagasan. Orang bisa saja bicara berbusa-busa tentang sesuatu tapi isinya bukan teori melainkan hanya pendapat atau opini pribadi. Rangkaian narasinya bukanlah data atau fakta yang teruji. Menyambung-nyambung penggalan realitas, data atau informasi menjadi cerita yang menarik bukanlah teori, tapi lebih merupakan pendapat, gagasan atau bahkan khayalan. Teori bukanlah tentang apa yang ingin kita katakan atau apa yang kita bayangkan.

Adalah berbahaya jika seseorang mengatakan yang penting melakukan aksi. Aksi yang tidak didasari oleh teori dalam konteks tertentu berpotensi semakin memperbesar masalah meski aksi dilakukan diklaim untuk mengatasi masalah.

Misalnya karena sungai kehilangan ikan, maka orang yang peduli, baik hati, prihatin terhadap masa depan bangsa, kemudian berinisiatif menebar ikan di sungai. Yang ditebar adalah ikan nila, ikan lele dan ikan mas. Tentu saja niatnya baik, tetapi bisa berbahaya untuk ekosistem sungai setempat. Ikan yang ditebar adalah spesies asing untuk sungai itu dan berpotensi untuk menjadi ikan dominan sehingga justru semakin menghabisi ikan asli yang sudah langka.

Maka jangan heran jika kemudian ada yang mengatakan “Menanami hutan berpotensi merusak ekosistem,”

Dan itulah realitasnya. Reboisasi atau penghijauan, yang tentu saja didasari oleh niat baik, kerap kali justru menimbulkan persoalan. Introduksi spesies asing yang tidak berkesesuaian dengan kondisi setempat memang berhasil membuat lingkungan hijau, tapi di musim kemarau serasah atau material organik berupa daun, ranting dan lain-lain dari pohon yang ditanam ternyata justru mengundang api dan menyebabkan kebakaran.

Maka dalam kegiatan pengayaan vegetasi maupun ikan di lingkungan tertentu perlu disadari realitas tentang spesies lokal, pohon atau tumbuhan, ikan dan lain-lain yang dari semula hidup di ekosistem tersebut. Jadi yang disebut penghijauan atau re-stocking mesti memperhatikan kesesuaian dengan ekosistem setempat. Spesies asing yang tidak diintrodusir dengan sangat hati-hati bisa menghasilkan dampak buruk.

Jadi melakukan sesuatu tanpa basis teori yang kuat, terutama pada lingkungan hidup atau ekosistem, sama artinya merusak. Apapun niatnya, entah itu niat baik dan niat buruk sama-sama akan merusak.

Ada pepatah Belanda yang mengatakan ‘Niat baik bisa mengantar orang ke neraka,”.

“Ah, teori,” ungkapan itu nampaknya sepele. Tapi bisa jadi cermin dari sikap kita yang suka asal menolak namun tak punya gagasan tandingan, tak bisa menarasikan apa yang kita lakukan.

Bahwa benar sebuah teori selalu bisa diperbaharui, bisa ditolak karena kurang akurat atau abai pada kaidah-kaidah ilmiah. Namun sebuah teori harus ditolak dengan teori bukan dengan membanding-bandingkan apa yang kita lakukan. Teori tetaplah teori dan benar, meski yang mengatakan tidak melakukan apa yang dikatakannya.

Teruslah berbuat baik tapi tidak usah sirik kalau melihat orang yang tidak berbuat baik. Ingat terus berbuat baik belum tentu membuat kita lebih baik dari yang tidak berbuat baik.

“Ah, teori,”

Kredit foto : wonderlane – unsplash.com