KESAH.ID – CSR menjadi salah satu isu penting dalam perbincangan masyarakat perkotaan. Sebab dalam CSR kerap dipahami adanya potensi dana atau anggaran yang bisa dikumpulkan. Secara terang-terangan banyak pemerintah daerah berupaya mengumpulkan dana CSR untuk menjadi alternatif biaya pembangunan. Nampaknya bagus dan efektif, namun dibalik itu justru tersembunyi peluang untuk menyelewengkan anggaran dan tujuan CSR itu sendiri. CSR bukan semata donasi atau alokasi anggaran dari perusahaan, melainkan bagaimana perusahaan menghasilkan keuntungan dengan menjadikan keberlanjutan masyarakat dan lingkungan sebagai dasar operasi perusahaannya.

Sudah lama saya tidak membincang CSR, walau makin hari konsep ini makin popular di masyarakat. Saya tak lagi berkisah karena kehilangan teman yang menurut saya mumpuni baik secara konsepsual maupun praksis.

Saya juga malas mencari teman dialog baru karena dengan semakin popularnya istilah CSR, reduksi atau pembelokan maknanya juga semakin lebar. Dalam berbagai perbincangan tentang CSR, yang lebih menguat adalah soal dana dari perusahaan. Yang disebut dengan CSR tidak secara ketat dibedakan dengan filantropi {kedermawanan/belas kasih} dan pengembangan masyarakat {community development}.

Secara sederhana saya mengamini CSR sebagai upaya perusahaan untuk meminimalisir dampak negatif dan memaksimalisir dampak positif. Dengan demikian CSR merupakan bentuk tanggungjawab dari perusahaan atas dampak yang timbul dari keputusan dan aktivitasnya.

Dan yang disebut sebagai dampak itu adalah sosial, ekonomi dan lingkungan. Kenapa perusahaan harus bertanggungjawab, dikarenakan sosial, ekonomi dan lingkungan berkaitan dengan keberlanjutan. Dengan demikian CSR adalah cara sementara tujuan adalah keberlanjutan.

Dampak sendiri terdiri dari dua ketegori besar yakni dampak negatif dan positif. Dan CSR tegas dalam urusan dampak dimana yang negatif lebih dahulu diurusi bukan mengobral dampak positif seperti yang dilakukan banyak perusahaan walau belum beroperasi.

Tidak semua dampak negatif harus segera diatasi karena dalam operasi perusahaan ada dampak-dampak negatif yang butuh waktu untuk memulihkannya. Yang mesti diutamakan adalah dampak negatif yang paling signifikan.

Dampak negatif harus diselesaikan dengan benar karena jika tidak operasi perusahaan bisa terancam bahkan terganggu terus menerus. Prinsip dalam menyelesaikan dampak negatif adalah menghindari, meminalisir, merehabilitasi dan kemudian mengkompensasi. Kompensasi bukan pilihan pertama sehingga terkesan menyelesaikan masalah dengan ‘uang’.

Perusahaan sejak semula mesti menyadari akan kemungkinan timbulnya dampak negatif dari operasinya. Maka perlu dilakukan pemetaan atas seluruh potensi dampak negatif itu dan kemudian menyusun strategi atau roadmap untuk mengelola resiko itu.

Hanya saja pemerintah dan pengusaha sering kali lebih memilih untuk terlebih dahulu mewartakan dampak positif. Bahkan ketika perusahaan belum beroperasi, sederet dampak positif sudah dipidatokan dan diiklankan.

Dampak sendiri bisa dibedakan berdasarkan proses dan produk. Dampak positif dari proses produksi misalnya tenaga kerja, peluang bisnis masyarakat lokal, kontraktor dan lainnya. Sedangkan dampak berdasarkan hasil adalah produksi dari operasi perusahaan yang membantu memecahkan persoalan masyarakat, membantu produktifitas masyarakat, barang bermutu dengan harga terjangkau, dan lain-lain.

Proses maupun produk yang ramah ekonomi, sosial dan lingkungan adalah inti dari CSR karena tujuan akhirnya adalah menjaga keberlanjutan dunia. Karena dunia yang berkelanjutan merupakan tujuan bersama, maka pemerintah, masyarakat dan dunia usaha mempunyai tanggungjawab sosialnya masing-masing dan mesti dilakukan dengan cara yang benar.

BACA JUGA : Kopi Tanpa Gula Bukan Segala Galanya

Ramainya perbincangan tentang CSR biasanya tentang uang atau anggaran. Dalam kacamata awam yang disebut dana atau anggaran CSR adalah donasi perusahaan.

Beberapa waktu lalu di Kalimantan Timur muncul ribut-ribut soal ‘Dana CSR’ karena tercium sumbangan pemilik perusahaan tambang batubara besar yang beroperasi di beberapa wilayah Kaltim memberikan sumbangan besar pada beberapa universitas di Jawa.

Masyarakat Kalimantan Timur terutama di perkotaan meradang. Perusahaan itu kemudian dikutuk ramai-ramai, sumbangsihnya dianggap nol untuk Kalimantan Timur.

Ini adalah kesalahan umum, sumbangan pribadi dari pemilik perusahaan dianggap CSR.  CSR diterjemahkan sebagai memberi kembali pada masyarakat dari keuntungan atau kekayaan perusahaan atau pendirinya.

Padahal CSR adalah tentang bagaimana perusahaan menciptakan keuntungan, bukan tentang perusahaan berbagi sebagaian keuntungan. CSR bukanlah deviden atau sisa hasil usaha yang kemudian dibagi-bagikan, bahkan ketika perusahaan belum untung CSR sudah menjadi bagian dari operasi perusahaan.

Kebiasaan ‘memberi’ kepada masyarakat kemudian kerap menjadi modus perusahaan untuk ‘melupakan’ dampak negatif operasi perusahaan pada masyarakat dan lingkungan. Dengan memberi ganti rugi pada sawah yang terkena lumpur atau banjir akibat operasi pertambangan tidak berarti tanggungjawab perusahaan telah purna.

Sumberdaya untuk CSR bukan hanya uang sumbangan, donasi, ganti rugi dan lainnya tetapi juga proses produksi yang inklusif. Artinya semangat CSR diimplementasikan oleh perusahaan lewat cara kerja yang transparan, akuntabel, perilaku etis, hormat pada hukum, menghargai pemangku kepentingan dan taat pada norma serta nilai lokal, nasional dan internasional.

Hal yang menjadi subjek inti dari CSR adalah tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, operasi yang adil, isu konsumen dan penglibatan serta pengembangan masyarakat.

Dana atau anggaran CSR adalah alokasi anggaran dan sumberdaya lainnya untuk mengurusi hal itu guna memastikan perusahaan meminimalisir dampak negatif dan memaksimalisir dampak positif.

Dengan demikian dana CSR merupakan keseluruhan anggara perusahaan sebagai konsekwensi logis dari integrasi tanggungjawab sosial dalam seluruh operasi perusahaan.

Adalah salah besar dan sesat jika menganggap CSR hanya dana yang diserahkan kepada pihak lain non perusahaan, atau hanya sejumlah prosentase dari keuntungan yang diserahkan perusahaan kepada masyarakat. Menjaga dan memulihkan lingkungan yang rusak akibat operasi perusahaan tidak boleh menunggu perusahaan untung, karena hal itu merupakan pembiayaan wajib yang mesti dialokasikan oleh perusahaan, menjadi bagian dari pembiayaan.

Dalam prakteknya perusahaan memang kerap memberikan dana yang dilabeli CSR kepada pihak lain. Namun pemberian dana ini tidak membuat kewajiban yang melekat pada perusahaan untuk mewujudkan tanggungjawab sosialnya menjadi hilang karena telah menyerahkan uang.

Perusahaan-perusahaan yang termasuk kategori kontroversial memang kerap membiarkan salah makna terhadap CSR. Mereka rajin mengelontorkan uang ke masyarakat entah langsung atau lewat perantara guna meloloskan diri dari tanggungjawab yang masih tersisa atas dampak negatif dari operasinya.

Perusahaan bisa jadi dikenal sebagai murah hati, namun tak benar-benar serius menyelesaikan dampak negatif atau akar masalah dari operasi perusahaannya.

Perusahaan lainnya yang cenderung royal menghambur uang adalah perusahaan yang tengah membujuk atau berupaya memperpanjang ijin dan konsesinya pada pemerintah.

Kondisi ini memancing sekelompok orang yang cerdik, yang mengatasnamakan kepedulian pada masyarakat untuk kemudian mengakses dana perusahaan dan mewartakan sebagai bentuk CSR dari perusahaan. Dana CSR kemudian berkelindan dengan potensi penyelewengan, penyuapan, gratifikasi dan seterusnya.

BACA JUGA : Membincang Kebudayaan Dari Mana Mau Kemana?

Kota menjadi sasaran tempat menyalurkan dana-dana model ini. Jauh dari operasi dari perusahaan, kota selalu menjadi tempat pilihan untuk melakukan pencitraan. Kota menjadi tempat paling tepat karena perusahaan menjadikan donasi sebagai alat untuk menutupi dampak negatif dari operasinya, atau untuk mendapat akses terhadap para pengambil keputusan, elit-elit kebijakan. Kegiatan semacam ini tak lebih dari CSR-washing.

Yang diwujudkan bukan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan melainkan citra tentang perusahaan yang peduli pada masyarakat dan lingkungan hidup. Kebenaran tentang perusahaan dibangun lewat persepsi, kegiatan yang diframing sebagai wujud kepedulian perusahaan pada masyarakat dan lingkungan. Komunikasi perusahaan kerap kali melampaui kinerja yang sebenarnya. Lebih cenderung memberitakan keberhasilan, kebaikan, kedermawanan tapi menutupi dampak negatif dan konfliknya dengan masyarakat di sisi lain.

Kecenderungan CSR-washing menjadi tetap menguat karena pemerintah sendiri cenderung membahas CSR dari sisi anggaran. Yang diinginkan adalah prosentase ‘Dana CSR’ dalam peraturan baik perundangan maupun peraturan-peraturan daerah.

Segenap inisiatif tentang CSR bukanlah untuk mengekplorasi bagaimana perusahaan sungguh-sungguh menerapkannya, menunjukkan komitment yang kuat dalam operasinya. Tapi justru semacam lomba-lomba yang semangatnya mengumpulkan dana perusahaan.

Pemerintah daerah kerap beranggapan bahwa program CSR oleh perusahaan dianggap kurang berdampak dan atau tumpang tindih dengan pembangunan daerah, maka pemerintah daerah kemudian terang-terangan membidik dana CSR perusahaan sebagai alternatif pendanaan pembangunan daerah.

Penentuan atau arah kegiatan CSR kemudian lebih mirip-mirip pelimpahan tanggungjawab pemerintah kepada perusahaan.

Mereka yang prihatin pada isu CSR, kemudian melihat peluang untuk menjadi perantara. Muncullah forum CSR yang didalamnya tergabung berbagai pihak mulai dari perusahaan, akademisi, aktivis, media dan lainnya. Forum yang kemudian kerap disebut memakai prinsip pentahelix.

Lalu apa fungsi dan manfaat Forum CSR terutama di perkotaan?.  Tentu forum tidak akan mengambil wewenang perusahaan, misalnya menentukan lokasi dan pendistribusian bantuan perusahaan. Kerja atau fungsi forum lebih pada melawan kecenderungan penerapan ‘sesat’ CSR yang tidak menuju pada tujuan keberlanjutan.

Forum akan lebih berkonsentrasi dalam menelaah dampak dari operasi perusahaan yang paling penting untuk kotanya masing-masing. Apa isu dampak terpenting dari operasi perusahaan terhadap konsumsi energi, sistem transportasi, emisi gas rumah kaca, pengembangan masyarakat kota dan lain-lain.

Dengan semua hasil kajiannya forum bisa mendesak perusahaan untuk melakukan kegiatan tanggungjawab sosial dan lingkungan baik internal maupun eksternal. Pada sisi lain forum juga mesti memasukkan isu pengembangan masyarakat perkotaan, karena pada umumnya pelaku CSR perusahaan memandang kalau pengembangan masyarakat itu eklusif di perdesaan atau pertanian.

Padahal pengembangan masyarakat perkotaan justru penting untuk perusahaan. Masyarakat kota dengan semua kelebihannya kerap dengan mudah dimobilisasi atau memobilisasi diri untuk ‘menganggu’ perusahaan. Kota juga sering menjadi tempat atau lahan gantungan hidup dari masyarakat miskin baru yang kehilangan sumberdaya karena operasi perusahaan di daerah. Mereka yang kehilangan penghidupan di desa kemudian merantau ke kota.

Maka melakukan pengembangan masyarakat di perkotaan merupakan sebuah keniscayaan bagi perusahaan. Bidang atau domain mana yang akan diambil tentu saja harus sesuai dengan bisnis utamanya atau dampak utama dari operasi perusahaan pada masyarakat dan lingkungan.

Disinilah Forum CSR bisa mengambil peran, menghubungkan dampak bisnis operasi perusahaan dengan standar keberlanjutan, baik standar nasional maupun standar global seperti Sustainable Develompment Goals.

Dengan demikian kehadiran Forum CSR akan membawa CSR perusahaan ke jalan keberlanjutan, mengikis ‘mitos’ CSR adalah dana yang dikumpulkan dari donasi perusahaan. Forum CSR juga bisa menjadi ‘reviewer’ dengan mengeluarkan penilaian tahunan perihal perusahaan-perusahaan mana yang serius melakukan CSR dengan tujuan keberlanjutan, dan perusahaan mana yang ber-CSR untuk sekedar CSR-washing.

Dengan penilaian seperti itu, pemerintah atau pemangku kepentingan bisa mendapat informasi atau alas dasar untuk menilai pengajuan, pembaharuan atau perpanjangan operasi perusahaan untuk diteruskan atau tidak. Sehingga kebijakan pemerintah terhadap perusahaan berbasis pada kinerja, bukan gratifikasi, suap atau pengaruh politik.