Ada yang bersuka di masa pandemic Covid 19 ini, salah satunya adalah penjual sepeda. Dari berbagai laporan di media, kenaikan penjualan sepeda melewati angka 100%.
Pemakaian atau hobby bersepeda sebenarnya bukan hal asing di Indonesia. Sebagian besar anak-anak Indonesia pasti pernah belajar dan naik sepeda, sekurangnya sepeda roda 3 atau roda 4 ( 2 besar dan 2 kecil).
Sementara untuk pemakaian sehari-hari, kurang lebih 15 tahun lalu juga pernah dideklarasikan pemakaian sepeda untuk kegiatan sehari-hari yang bertajuk Bike To Work. Ada komunitas yang mempelopori pemakaian sepeda untuk berangkat dan pulang kerja.
Hanya saja popularitas sepeda memang pasang surut. Dan terakhir trend bersepeda kemudian kembali naik atau bahkan menggila karena pandemic Covid 19. Belum pernah sepeda menjadi langka atau susah dibeli seperti saat-saat ini. Penjualan sepeda kemudian melampaui penjualan mobil dan motor. Sepeda laku keras termasuk sepeda-sepeda yang setara harga motor dan bersaing dengan harga mobil.
Brompton, itulah sepeda lipat yang model termurahnya memang setara dengan harga motor dan yang termahal bersaing dengan harga mobil. Maka bersepeda bukan hanya soal kepraktisan dan juga kesehatan melainkan soal gengsi serta kelas sosial. Maka demi menjaga gengsi dan meningkatkan kelas sosial, sepeda-sepeda yang mahal justru semakin diburu sementara sepeda murah justru menjadi tidak laku. Padahal kalau dipikir-pikir sepeda jelas bukanlah kebutuhan primer karena mudah diganti dengan moda transportasi lain.
Di masa pandemi, saat diberlakukan pembatasan sosial, sepeda memang merupakan salah satu alternatif untuk berkegiatan yang relative aman dari penularan atau penyebaran virus ketimbang aktifitas lainnya. Selain itu bersepeda juga menjadi sarana untuk olahraga, menjaga kesegaran tubuh, meningkatkan imunitas sekaligus juga untuk berekreasi.
Manfaat ini tentu saja bisa diperoleh dengan persyaratan tertentu seperti bersepeda sendiri, menghindarkan diri dari kerumunan dengan pesepeda yang lainnya dan selalu memakai masker serta pelindung keamanan yang lain.
Jauh sebelum trend sepeda bertumbuh, di Samarinda ada beberapa individu yang memakai sepeda sebagai alat transportasi harian untuk pergi pulang ke kantor. Salah satu diantaranya adalah Reo Paembonan. Mantan jurnalis ini sepulang dari studi di Belanda membawa kebiasaan bersepeda selama di negeri kincir angin itu ke Indonesia.
Saat ditanya apa alasannya, Reo enggan menyampaikan alasan ekologis dan ideologis. Untuknya bersepeda adalah pilihan praktis karena jarak antara tempat tinggal dan kantornya masih dalam batas yang memungkinkan untuk ditempuh dengan sepeda.
Bagaimana kisah dan kiat Reo seputar pilihannya memakai sepeda untuk transportasi harian, simak saja dalam video berikut ini.