KESAH.ID – Masyarakat dari daratan Tiongkok semula datang ke Nusantara untuk berniaga. Namun ada masa kehidupan disana bergejolak, sehingga mereka meninggalkan negerinya untuk merantau, mencari penghidupan yang lebih baik di negeri seberang. Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia adalah salah satu tujuan. Di banyak kota masih tersisa wilayah Pecinan dengan segala peninggalannya. Dari jaman kerajaan hingga jaman reformasi, dinamika hubungan antara masyarakat keturunan dengan masyarakat pribumi masih kerap menyisakan banyak stigma buruk. Praktek kebijakan pemerintah juga masih sering diskriminatif.
Di seluruh penjuru negeri hampir selalu ditemukan Kawasan Pecinan atau kerap disebut China Towm. Migrasi kelompok masyarakat dari daratan China yang datang dalam berbagai gelombang, bukan hanya membentuk Kelompok Pecinan di Indonesia, melainkan juga di belahan bumi lainnya.
Berada dimana-mana, namun ada benang merah yang sama. Kelompok ini sejak semula sering menghadapi stigma atau pandangan dan sikap buruk dari masyarakat setempat. Sejarah nisantara mulai dari jaman kerajaan, kolonial hingga kemerdekaan mencatat banyak peristiwa dimana masyarakat keturunan Tionghoa ini mengalami intimidasi dan perlakuan buruk lainnya akibat perbedaan karakter fisik, bahasa dan budaya dengan masyarakat setempat.
Sejak semula, kehadiran masyarakat Tionghoa di bumi nusantara, mengisi salah satu kekosongan yakni niaga. Komunitas ini menjadi pioner dalam kegiatan wirausaha, terutama perdagangan hingga kemudian menjadi salah satu ciri khas mereka.
Kuatnya interaksi antar mereka, kerjasama dan kolaborasi untuk memajukan perniagaannya membuat mereka kerap dianggap memonopoli ekonomi di sebuah wilayah. Citra negatif kemudian disematkan, mereka hanya dianggap peduli dengan kelompoknya, yang dipikirkan hanya untung. Ada anggapan mereka sejahtera karena pelit.
Di Kalimantan Timur, utamanya Kota Samarinda kehadiran Pecinan sudah berlangsung cukup panjang. Bahkan masyarakat asli Kalimantan Timur mengidentifikasi China sebagai nenek moyangnya. Faktanya, memang sebagian besar kelompok suku di seluruh penjuru nusantara jika dites DNA, maka DNA terbesarnya adalah China.
Jejak kisah dan interaksi dengan kaum migran atau pendatang dan pedagang dari China yang kemudian lebih suka disebut Tiongkok, ada dalam cerita-cerita kerajaan, mulai dari kerajaan tertua yakni Kerajaan Martadipura yang lebih dikenal dengan nama Kutai Mulawarman, nama rajanya yang termahsyur.
Interaksi itu juga dicatat dalam catatan kronik kerajaan yang lebih muda yakni Kutai Kartanegara yang bermula dari hilir Sungai Mahakam. Dalam manuskrip Salasilah Kutai yang beraksarakan arab melayu dicatat tentang rombongan para pedagang dari negeri China yang memperbaiki layar kapal di kawasan bukit berkapur yang berada di pesisir anak sungai di hilir Sungai Mahakam. Wilayah itu kemudian dikenal dengan nama Negeri Jahitan Layar, tempat asal usul Kerajaan Kutai Kartanegara yang didirikan oleh Aji Batara Agung.
Hilir mudik kaum etnis Tionghoa untuk berniaga di kawasan timur pulau Kalimantan ini meninggalkan banyak jejak, terutama barang pecah belah yang terbuat dari bahan keramik. Koleksi dalam berbagai bentuk barang pecah belah berbahan keramik ini sebagian bisa disaksikan pada deretan koleksi yang ada di Museum Mulawarman Tenggarong.
Kiprah, interaksi dan relasi masyarakat Tionghoa sama seperti di banyak tempat lainnya kemudian mengalami pasang surut. Stigma negatif terhadap warga keturunan Tionghoa kemungkinan besar muncul di masa Kolonial Belanda. Kebijakan pemerintah kolonial terhadap kelompok ini memicu sentimen negatif dari masyarakat lokal.
Menjadikan kelompok masyarakat Tionghoa sebagai perantara hubungan antara Kolonial dan penduduk lokal, masyarakat asli kemudian menganggap kelompok masyarakat Tionghoa sebagai kaki tangan kaum Kolonial. Mendapat priviledge dalam perniagaan membuat ekonomi dan kesejahteraan komunitas ini lebih tinggi dari komunitas lokal lainnya. Masyarakat asli menjadi cemburu, merasa tidak diuntungkan di negerinya sendiri.
Pemerintah kolonial Belanda memang mempunyai strategi politik pecah belah atau divide et impera. Kaum kolonial mengembangkan kawasan kota atau permukiman yang segregatif. Kaum Tionghoa diberi tempat, namun kaum pribumi atau penduduk asli ditempatkan diluar. Kaum pribumi yang bisa masuk dalam kawasan hanyalah kaum pembantu, serta kaum bangsawan atau priyayi.

BACA JUGA : Habemus Papam
Di masa kolonial Belanda, kawasan yang diberikan oleh pemerintah saat itu sangat minim lahannya. Dari pojok muara Sungai Karangmumus di sisi timur ke arah barat. Kawasan itu dikapling dalam petakan kecil dan berhimpitan. Warga Tionghoa kemudian membangun sejenis rumah toko. Lantai bawah untuk berniaga dan lantai atas untuk rumah tinggal. Rumah vertikal dimaksudkan untuk mengefisienkan lahan yang sempit.
Samarinda adalah Kota Bandar, posisi Pecinan menjadi strategis karena berada di tepian Mahakam. Di tepian ini para pedagang dari hulu dan dari luar Kalimantan Timur bertemu. Hanya saja permukiman masyarakat Tionghoa tetap diawasi oleh kaum kolonial karena lingkungan itu juga menjadi tempat berkantor perusahaan-perusahaan Hindia Belanda.
Komunitas Tionghoa dengan aktivitas niaganya kemudian mencapai sukses finansial. Mereka kemudian lebih memperhatikan kebutuhan spiritual dan kebudayaannya. Praktek untuk menghayati dan mengekpresikannya butuh barang konsumtif dan ritual yang khas, sesuatu yang sulit diperoleh di pasar tradisional yang sudah ada, kalaupun ada harganya akan mahal.
Di lingkungan tempat mereka tinggal kemudian diupayakan semacam pasar tradisional kecil-kecilan. Pasar itu dibuka sedini mungkin, dari subuh hingga tak lama setelah matahari terbit. Pasar dibuka dini hari dan dalam waktu yang singkat agar tak memancing kecurigaan atau rasa tak senang dari pedagang di pasar tradisional masyarakat pribumi.
Lewat pasar tradisionalnya, masyarakat Tionghoa bukan hanya berdagang kebutuhan mereka. Melainkan juga menjadi sarana interaksi untuk menjaga persaudaraan. Di pasar tradisionalnya mereka bisa bercerita, bersenda gurau dengan bahasa mereka sendiri. Merawat kebudayaan dan silaturahmi. Ekosistem pasar tradisional menjadi perekat dan perawat persaudaraan antar mereka.
Sikap diskriminatif dari Pemerintah Hindia Belanda menimbulkan gejolak dikalangan masyarakat pribumi. Mereka yang bermukim di sebelah barat Pecinan, daerah yang sekarang dikenal sebagai Pasar Pagi, merasa ada kesenjangan. Hal ini menimbulkan kecemburuan dan syak wasangka terhadap komunitas Tionghoa.
Solidaritas pedagang pribumi atau lokal yang didominasi warga Banjar di sekitar Pasar Pagi kemudian melahirkan kongsi dagang. Mereka mendirikan Handel-maatschaappij Borneo. Persekutuan dagang ini kemudian populer dengan singkatan HBS. Wilayah dimana HBS lahir kemudian juga dikenal sebagai Kampung HBS.
Terjadi persaingan dagang antara warga lokal dan masyarakat Tionghoa. HBS kemudian juga terhubung dengan organisasi Sarekat Islam. Namun ketegangan dalam perniagaan antara masyarakat lokal dan masyarakat Tionghoa tidak pernah sampai berujung pada huru-hara.
Warga lokal dan masyarakat Tionghoa kemudian membuat kesepakatan dagang untuk menurunkan tensi dan tegangan konflik. Mereka bersepakat untuk memperbaiki ketidakseimbangan perekonomian. Masyarakat Tionghoa yang tadinya lebih membeli barang kebutuhan pada sesamanya, kemudian diharuskan untuk membeli produk atau dagangan masyarakat lokal. Begitu juga sebaliknya.
Situasi Asia Tenggara dan Hindia Belanda berubah karena Perang Pasifik yang mengakibatkan goyahnya tatanan politik warisan Belanda di Hindia Belanda. Jepang memenangkan perang dan kemudian mengusir Belanda dari bumi Nusantara. Penguasaan Jepang tidak lama, karena Jepang kemudian melemah akibat dihajar Bom Atom oleh Amerika Serikat.
Jepangpun hengkang dan Belanda kembali datang untuk menguasai kembali. Namun upaya Belanda mendapat tentangan dari masyarakat republik yang masih muda. Nasionalisme Indonesia tumbuh. Kaum pribumi dan kaum migran keturunan Tionghoa pun bahu membahu untuk mengusir Belanda dan sekutunya yang kembali ingin menjajah.

BACA JUGA : All Spain
Warga Tionghoa turut berkontribusi dalam Kelaskaran Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia atau BPRI Samarinda. Go Sek Lim dan So Sian Kwan adalah dua nama yang tercatat, karena keduanya mendapat pengakuan sebagai Pejuang Kemerdekaan Indonesia dari Legiun Veteran Republik Indonesia atau LVRI Kota Samarinda. Fakta ini diperoleh berdasarkan dari testimoni Abdoel Moeis Hassan, Pemimpin Republiken Kaltim. Peran kaum Tionghoa ini menghapus stigma dan generalisasi seakan-akan masyarakat Tionghoa lebih mendukung kaum kolonial. nialis secara general dan mutlak.
Hanya saja saling terima antara masyarakat lokal dengan masyarakat Tionghoa kembali diuji. Peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 berimbas pada pandangan buruk atas masyarakat Tionghoa. Regim yang berkuasa, yakni Suharto dengan orde barunya, cenderung memarjinalkan masyarakat Tionghoa dalam berbagai bidang.
Suharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang isinya melarang segala perayaan atau kegiatan di ruang publik yang bercorak Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek tidak boleh dilakukan di ruang publik. Agama atau kepercayaan masyarakat Tionghoa yakni Kong Hu Cu juga tidak diakui. Istilah pribumi dan pendatang makin meningkat.
Suharto juga punya kebijakan lain misalnya menganjurkan agar masyaraka keturunan Tionghoa mempunyai nama Indonesia, pun begitu juga dengan nama toko atau kios-kios mereka.
Dimasa orde baru banyak kerusuhan rasial yang menimpa kaum keturunan ini. Kesalahan satu dua oknum sudah cukup untuk mengerakkan masyarakat melakukan kekerasan tanpa pandang bulu. Semua yang berbau Tionghoa dihajar.
Walau begitu, masyarakat Tionghoa sampai saat ini masih tetap sukses secara ekonomi. Kontribusi dan penguasaan mereka atas ekonomi di sebuah wilayah tetap besar.
Peristiwa 1998 menjadi puncak dari stigma negatif atas keturunan Tionghoa. Di kota-kota dengan kesenjangan tinggi antara kaum pribumi dan non pri ini terjadi penjarahan, kekerasan bahkan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa. Di kota lain yang tidak terjadi kekerasan yang sama tetap punya imbas, masyarakat Tionghoa jadi khawatir sehingga perniagaan terganggu, harga naik, pasokan berkurang dan beberapa memilih tutup.
Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur mempunyai jasa yang besar dalam menghapus diskriminasi ini, Kong Hu Cu dijadikan agama resmi. Imlek boleh dirayakan di ruang publik dan dijadikan liburan nasional. Barongsai muncul lagi dan bisa disaksikan oleh masyarakat luas.
Sebutan China kemudian terasa kasar. Masyarakat mulai menyebut Tiongkok untuk wilayah geografi dan Tionghoa untuk masyarakat dan keturunannya.
Sebenarnya di Kalimantan Timur sikap rasialis terhadap keturunan Tionghoa tidak terlalu kentara. Masyarakat bisa hidup berdampingan dan keturunan Tionghoa tidak hanya sibuk berdagang atau mencari untung. Masyarakat Tionghoa juga eksis dalam bidang seni budaya, kegiatan sosial, penanggulangan bencana, bahkan menjadi akademisi di kampus-kampus.
Pembauran, prestasi, pengabdian dan kontribusi dalam kehidupan sosial membuat masyarakat Tionghoa di Kalimantan Timur mampu mengeliminasi stigma masa lalunya. Sebagai Kota Pertemuan, Samarinda mampu membangun kesetaraan antaretnik, sikap egalitarian hingga Bhineka Tunggal Ika bukan hanya semboyan. Pasar Subuh adalah salah satu wujud persatuan, kerjasama dan toleransi bukan hanya berakhir dalam retorika manis. Di Pasar Subuh masyarakat Samarinda dari berbagai latar belakang bersinergi mengembangkan ekonomi lokal. Sayang partisipasi semacam ini sering tidak dihargai sehingga dengan alasan kumuh, bau dan lain-lain, Pasar Subuh, salah satu pasar tradisional tertua di Samarinda meski mengakhiri sumbangsihnya pada kota ini.
Dan mungkin kita tidak akan pernah mendapatkan penggantinya.
Penulis : Wahyu Musyifa
Sumber Foto : Wahyu Musyifa
Editor : Yustinus Sapto Hardjanto