KESAH.IDSetelah beberapa waktu pembicaraan tentang banjir mulai berkurang di Samarinda, persis pada peringatan Hari Waisak, di media sosial sejak pagi beredar gambar dan rekaman video tentang banjir di hampir seluruh penjuru Kota Samarinda. Memang tak mudah mengelola air, terlebih jika hanya berpaku pada urusan membuang air lewat sistem pengering atau drainase. Kondisi geografis Kota Samarinda sulit untuk membuat air hujan di permukaan dibuang dengan segera kelaut. Air yang berkumpul dalam waktu bersamaan mestinya diberi ruang, ruang parkir sementara sebelum dialirkan ke Sungai Mahakam sebagai outlet atau pintu keluar untuk mengirim air ke laut.

Rata-rata orang Indonesia sering merasa beruntung, walau sebenarnya tak untung-untung amat. Mungkin karena sejak kecil selalu diajarkan untuk menarik makna, bahwa dalam sebuah peristiwa masih ada celah untuk melihat kebaikan atau keuntungan, walau sebenarnya peristiwa itu buruk.

Hari Senin, 12 Mei 2025, sepertinya hujan menguyur Samarinda dengan intensitas cukup deras sedari dini hari, tapi entah jam berapa persisnya sebab tidur saya lelap dan terbangun sudah lewat jam 7 pagi.

“Hujan,” batin saya sambil berniat meneruskan tidur lagi.

Tapi saya harus terbangun karena alarm setoran sudah berbunyi. Dan biasanya kalau sudah terbangun begitu saya malas tidur lagi.

Belum tahu mau sibuk apa, saya membuka-buka media sosial. Dan ternyata ada banyak postingan banjir disana-sini. Ada yang di feed dan ditambah lagi di kolom komentar. Titik banjirnya cukup banyak, cukup dalam sehingga beberapa ruas jalan tak bisa dilewati.

Bahkan ada satu postingan yang mengabarkan pencarian sebuah mobil fortuner yang hanyut. Entah dimana, karena yang memposting tak memberi caption yang mentaati kaidah jurnalistik, 4W1H.

Seru membaca aneka tanggapan di kolom komentar. Yang pasti kalau semua meminta bantuan Damkar, pasti petugas Pemadam Kebakaran yang sekarang menjadi pemadam apa saja ini bakal kerepotan.

Ketika melihat aliran air di jalan depan rumah yang mirip sungai, sekelibat muncul tanya “Kok Sepi,”

Ternyata hari Senin, 12 Mei 2025 adalah Hari Libur Nasional untuk memperingati Hari Raya Waisak.

“Untung libur,” mungkin begitu ucapan dalam benak banyak orang yang kebanjiran. Sehingga tak mesti menerobos banjir untuk pergi sekolah, kuliah atau kerja.

Ya, untung libur sehingga bisa menyelamatkan barang berharga yang mulai disentuh genangan air. Bisa berjaga-jaga kalau-kalau air meninggi. Bisa juga mulai mengusir air genangan yang kemudian akan mengenangi rumah tetangga yang lebih rendah.

Tapi jelas naas bagi yang hendak berpergian keluar daerah dengan naik pesawat lewat Bandara APT Pranoto, perjalanan kesana jelas penuh perjuangan. Ada banyak titik banjir dengan air yang deras yang mesti dilewati.

Akan ada yang merasa beruntung jika mobil TNI yang bannya tinggi stand by di Perumahan Alaya dan kemudian membantu penumpang menerobos banjir di sepanjang Jalan Di Panjaitan. Tapi sebagian lainnya pasti mules perutnya, karena bakal terlambat sampai disana. Hanya saja karena peristiwa alam, mungkin maskapai akan menunggu. Kalau begitu untung untuk penumpang, tapi rugi untuk maskapai karena harus membayar lebih untuk biaya parkir pesawat dan gangguan jadwal penerbangan di tempat lainnya.

Kok Samarinda masih saja banjir sih?. Bukankah lima tahun terakhir ini Kota Samarinda begitu giat mengatasi banjir dengan merevitalisasi got. Sampai-sampai banyak sudetan di jalan. Beberapa tahun terakhir sebelum Pilkada Serentak 2024, warga Samarinda menenggang rasa karena banyak jalanan terbongkar-bongkar demi mengatasi banjir. Tapi belum lama sarana mengatasi banjir selesai, ternyata banjir datang lagi. Apakah banjir seperti merpati yang tak pernah ingkar janji karena sebentar saja pergi lalu pulang kembali.

Air memang setia, kata teman saya air akan selalu pulang ke rumahnya.

Dan menurut dia dataran Samarinda adalah rumah air.

BACA JUGA : All Spain

Mungkin banyak orang Samarinda lupa kalau kotanya adalah kota air.

Kalau nggak percaya, ikutlah jalan-jalan dengan kelompok Susur Gang Samarinda yang punya rute blusukan masuk ke gang-gang di wilayah permukiman.

Dengan mudah disaksikan rumah-rumah yang cukup berumur, semuanya berkontruksi panggung. Walau sebagian sudah ditutupi bagian kolongnya, atau seperti berdiri di daratan karena sedimentasinya sudah menyentuh dasar lantai.

Dan dibalik gang-gang itu masih bisa ditemukan gang penghubung yang terbuat dari jembatan kayu panjang. Sebagian memang sudah dicor semen atasnya, atau sudah dibongkar lalu diuruk dan kemudian diperkeras lalu disemen.

Bisa jadi disemen karena perbaikan dengan mengganti kayu relatif lebih sulit dan mahal. Atau karena penyebab lain yakni peningkatan populasi kendaraan bermotor, jalanan kayu kalau dilewati motor menimbulkan bunyi berisik.

Dan di lingkungan seperti itu umumnya rumah yang berpondasi akan berlomba-lomba untuk mebuat pondasi lebih tinggi dari tetangganya. Rumah-rumah lainnya kelihatan seperti terbenam.

Ada banyak rumah yang mencoba mengatasi banjir dengan meninggikan lantainya. Dua kali ditinggikan, perawakan rumahnya jadi lucu. Dan tak bisa ditinggikan lagi, kecuali dibongkar lalu dibangun kembali.

Kini di jalan besar umumnya dibangun ruko. Dulu biasanya berupa rumah-rumah biasa yang jika tak mampu meninggikan pondasi kemudian jadi rumah kosong terbiar, lalu dijual. Dan kemudian dibeli orang lalu dibangun ruko.

Deretan ruko membuat banjir di jalanan lebih parah, karena ruko selalu menutup seluruh tanah dengan bangunan dan perkerasan, tak ada ruko yang menyisakan tanah terbuka. Seluruh air hujan akan terbuang, dialirkan ke luar lingkungannya sebagai air liaran atau runoff. Dan karena ruko umumnya kauh lebih tinggi dari jalan, air hujan akan mengalir ke jalanan, jalan tergenang sepanjang kenangan.

Kenapa air liaran atau runoff di Samarinda tak bisa segera dibuang secepat mungkin ke laut. Ya karena umumnya wilayah Kota Samarinda berada di dataran rendah. Kecepatan untuk membuang air menjadi sangat lemah, terlebih outlet atau jalan untuk membuang air yakni Sungai Mahakam juga sama tinggi dengan dataran rendah Kota Samarinda.

Jadi jika dalam waktu bersamaan ada air berkumpul, air mesti ditampung lebih dahulu baru kemudian dialirkan pelan-pelan seiring dengan naik turunnya air di Sungai Mahakam.

Jadi membuat got atau saluran air yang dalam dan lebar percuma saja kah?. Ya tidak juga, tapi itu tak cukup untuk mengatasi banjir. Walau dalam kesempatan tertentu sudah cukup untuk membuat klaim prestasi dengan mengatakan “Memang masih banjir, tapi tak lama,”.

Ya nggak apa-apa namanya juga cari alasan pembenaran dan kita memang jago membuat alasan.

Tapi mau lama atau tidak, banjir tetaplah banjir karena air mengenangi tempat yang tidak kita inginkan untuk digenangi air. Jangan sepelekan banjir yang tak lama, misalnya banjir bandang yang dalam sekejap bisa meluluhlantakkan semua yang dilewatinya.

Bagaimanapun banjir tetap merugikan. Sesuatu yang dimaksudkan tidak terendam air lalu tergenangi pasti akan cepat rusak, lama kelamaan bermasalah, umurnya pakainya jadi lebih pendek.

BACA JUGA : Pasar Subuh dan Persatuan Etnis Tionghoa Samarinda

Konon jumlah air tidak bertambah dan tak berkurang sejak jaman Dinosaurus punah. Walau distribusinya tidak sama. Ada daerah yang selalu lebih airnya, ada juga yang selalu kurang, tapi jarang yang pas atau seimbang.

Sayangnya yang banyak air tidak selalu berupa air bersih. Ada wilayah yang banyak air tapi sumber air bersihnya kurang. Air banyak tapi tak layak pakai, atau tak layak konsumsi.

Samarinda termasuk daerah yang berlimpah air, airnya selalu ada karena dialiri oleh sungai permanen yakni Mahakam. Hujan juga berlimpah, jarang-jarang Samarinda mengalami kemarau panjang.

Dengan kontur berbukit-bukit dan berakhir di datara rendah yang terhubung dengan sungai, sebenarnya Samarinda punya banyak anak sungai. Dan dataran rendah yang kemudian tak punya anak sungai, limpahan airnya kemudian menjadi rawa-rawa. Sebagian wilayah dataran rendah Kota Samarinda berupa rawa-rawa, baik rawa yang terhubung dengan sungai maupun tidak.

Saya tak lahir di Samarinda, jadi tak menyaksikan persis bagaimana samarinda di tahun 70-an hingga awal 2000-an. Datang setelah tahun 2000 setahu saya waktu itu Samarinda sudah sering disebut sebagai kota banjir.

Saya dulu percaya kalau banjir terjadi karena sampah, saluran air dan sungai penuh sampah. Makanya saya kemudian tertarik ikut bersih-bersih sampah di sungai dan juga parit.

Tapi terjadi bukan itu.

Samarinda banjir karena kehilangan ruang air, ruang tangkapan dan ruang resapan.

Salah satu ruang tangkapan adalah rawa, tempat air parkir sementara sebelum dialirkan ke sungai jika rawanya terhubung dengan sungai.

Tapi berapa luas rawa di Samarinda, hampir tak ada data yang dipercaya. Yang jelas sampai hari ini masih mudah ditemukan area rawa-rawa yang kemudian diuruk. Rawa diuruk bukan hanya untuk rumah melainkan juga infrastruktur umum, entah stadion, terminal bahkan bandar udara.

Rawa yang diuruk berarti ruang airnya hilang. Akibatnya air yang seharusnya ditampung kemudian akan menyebar dan mengenangi tempat-tempat yang lebih rendah.

Apakah rawa tak bisa dibangun?. Menurut teman yang ahli rawa, tanah rawa bisa saja dibangun tetapi ruang airnya harus dikompensasi. Artinya ruang lebar mesti dikompensasi dengan ruang dalam. Artinya ada bagian rawa yang diuruk, tetapi juga harus disisakan bagian rawa yang digali lebih dalam untuk menampung air. Jika tidak maka bangunan diatas sungai harus berupa panggung sehingga ruang airnya tidak terganggu.

Selain kehilangan rawa, Samarinda juga kehilangan sungai. Orang-orang tua yang berumur 60 tahun keatas mungkin masih fasih menyebut puluhan nama sungai di Kota Samarinda. Tapi kemana sungai-sungai itu, sebagian mungkin sudah jadi parit, sebagian lainnya hilang tanpa bekas.  Yang mungkin masih dikenal oleh warga Samarinda adalah Sungai Karangmumus dan Karangasam, tapi dimana Sungai Manggis atau Sungai Lubang Putang?. Atau Sungai Kerbau yang kemudian lebih dikenal sebagai nama tempat seperti halnya Sungai Pinang dan mungkin Sei Giri yang kemudian disebut Segiri.

Jadi mengatasi banjir sebenarnya omong kosong. Yang mesti dilakukan adalah menyediakan ruang agar air tidak menjadi air banjir atau air yang mengenangi daerah atau wilayah yang tidak kita kehendaki tergenang. Jika air mengenangi tempat yang memang kita sediakan untuk digenangi dan dibanjiri atau sebut saja sebagai dataran banjir, maka itu bukanlah bencana.

Jika got atau saluran air dijadikan sarana utama untuk menampung air hujan atau air runoff maka bisa dipastikan Samarinda akan banjir, banjir dan banjir lagi.

note : sumber gambar – FACEBOOK