Dulu yang sering jadi berita adalah nasi aking. Tapi kini yang bikin heboh adalah nasi anjing. Jauh sebelum ada nasi anjing, sudah ada nasi kucing. Hanya saja istilah nasi kucing tidak membuat kehebohan, ditanggapi biasa-biasa saja dan bahkan laku dimana-mana. Buat yang kudet, nasi kucing adalah sebutan nasi, lauk dan sambal dalam bungkusan kecil yang biasa dijual di angkringan.

Disebut nasi kucing karena bungkusan nasi sekepal itu ditemani sambal dan ikan asin (gereh) atau secuil ikan bandeng. Kedua lauk itu sama-sama kesukaan kucing. Tapi kini lauknya sudah bertambah, ada irisan telur dadar, rica-rica ayam, sambel teri, oseng jamur, oseng tempe, tempe kering dan apa saja, suka-suka yang membuatnya.

Sejarah nasi kucing yang ukurannya kecil alias tumper – sak tum memper– berhubungan dengan tempat nongkrong dan nangkring. Angkringan memang tak dimaksudkan sebagai tujuan orang yang lapar, melainkan duduk ngobrol, minum kopi, teh, susu dan jahe sambil makan cemilan. Di Klaten namanya warung HIK (Hidangan Istimewa Kecil). Tak heran yang disajikan serba kecil termasuk nasi kucing.

Nah, untuk ukuran orang jaman ini yang mulai rakus. Nasi kucing dipandang kurang porsinya. Sementara kalau harus makan 3 sampai 4 bungkus di angkringan bakal kelihatan seperti orang kalap yang serakah. Maka ada yang berinisiatif meningkatkan porsinya dan disebutlah dengan nama nasi anjing. Maknanya anjing lebih besar dari kucing.

Sontak saja sebutan nasi anjing membuat orang meradang. Nasi anjing diartikan sebagai nasi untuk anjing atau nasi yang lauknya daging anjing. Ya sudahlah yang namanya orang Indonesia memang biasa salah logika. Menilai secara berbeda dua hal yang sebenarnya sama. Nasi kucing dan nasi anjing itu sama saja yang membedakan hanya ukuran.

Nasi kucing walaupun terinspirasi oleh kesukaan kucing tidak berarti nasi yang dimaksudkan sebagai makanan kucing. Apa yang disukai oleh kucing biasanya juga disukai oleh anjing. Nasi kucing juga tidak dimaksudkan atau diartikan sebagai nasi yang ditemani lauk daging kucing. Dan jangan khawatir, nasi anjingpun juga demikian. Karena nasi yang ditemani oleh daging anjing disebut Nasi RW atau Nasi B1.

Lagi pula kalau nasi kucing atau nasi anjing adalah nasi yang ditemani lauk daging kucing atau daging anjing maka tak mungkin orang akan menjualnya secara demonstratif, sebab dua-duanya sama. Sama-sama haram dagingnya.

Sayang kemudian orang tak adil dalam menilai sebuah nama. Kenapa tidak ada yang ribut saat ada yang menawarkan Es Teler, bukankah arti teler adalah mabuk. Atau bakso iblis dan rawon setan, bukankah iblis dan setan jauh lebih berbahaya dari anjing.

Nama untuk pedagang adalah cara untuk menimbulkan daya tarik bagi pembeli. Apa yang dijual biasanya diberi nama-nama yang mampu menarik pembeli. Bikin orang penasaran sehingga mampir di lapaknya.

Maka jangan heran jika banyak penjual memberi nama-nama yang heboh. Tapai digoreng dengan tepung dinamakan rondo kemul (janda selimutan). Ada cemilan yang dinamai untu buto (gigi raksasa), kuku macan dan lain sebagaina.

Jika karena makanan yang kita makan, misalnya bakso setan kemudian kelakuan kita seperti kesetanan, maka melarang pemberian nama yang sembarangan bisa dimaklumi. Tapi kelakuan kita tidak dipengaruhi makanan, rajin makan dan minum nasi sabar dan es cinta kasih tak otomatis membuat kita menjadi orang baik yang penuh kasih sayang.

Atau makan ayam geprek dada bahenol tak akan membuat anak gadis akan bertumbuh dadanya menyaingi duo srigala yang jogetnya hanya mengoyang-ngoyang dada.

Jadi urusan makanan dan minuman tak usah peduli pada namanya. Yang penting enak rasanya, menyehatkan dan cocok dengan isi kantong. Tak usah memamerkan kekonyolan dengan mencurigai pemberian nama sebagai kesengajaan untuk melakukan penistaan.

Kredit foto : Ruitger Heijmerikx – unsplash.com