Kalimantan Timur dan Kalimantan pada umumnya kerap disebut sebagai jamrud khatulistiwa. Jamrud adalah batu mulia berwarna hijau, kekerasannya sangat tinggi sehingga bisa dianggap abadi.
Pun demikian dengan Kalimantan, hutan hujan tropis dataran rendahnya menghijau di garis khatuliswa. Maka keindahannya laksana jamrud, sehingga tak salah jika ada yang menyebut lowland evergreen tropical rainforest.
Senada dengan itu, madah pujian juga banyak dilontarkan oleh para pujangga. Kalimantan digambarkan sebagai serpihan surga yang jatuh ke bumi karena keindahan dan keragaman flora serta faunanya.
Menumpu surga sebagai tempat dengan segala keindahannya semata maka ada banyak surge di bumi ini. Namun surga bukanlah semata tempat melainkan juga hubungan. Di surga ada tahta untuk yang berkuasa, penguasa yang maha baik. Yang bertahta dibantu oleh para punggawanya, para malaikat yang tiada cacat cela. Dan para penghuni surga adalah manusia paripurna dengan jiwa-jiwa mulia.
Karenanya surga adalah sesuatu yang ajeg, dari awal hingga mula yang ada hanyalah baik adanya.
Sementara Kalimantan Timur yang kerap disebut surga di bumi borneo bertahta penguasa yang berwatak oligarkis. Mengobral dan menjual habis kekayaan alamnya. Mulai dari minyak bumi dan gas, kayu di hutan, lahan hutan, batubara dan mineral lainnya.
Akibatnya surga itu menjadi surga yang terkoyak hingga kemudian meninggalkan lubang jebakan yang disebut sebagai bencana ekologis, seperti langganan banjir, longsor, kebakaran dan kekeringan.
Otak Hutan Hujan Tropis
Sejarah Kalimantan sebagai pulau dengan hutan hujan tropis dataran rendah dibangun oleh warganya yang berotak hutan hujan tropis. Jenius-jenius lokal telah melahirkan kebudayaan Kalimantan yang bercorak hutan dan air, dataran kering dan dataran pasang surut yang monumental.
Para jenius lokal mengadaptasi kondisi geohidrologi bumi Kalimantan dalam bidang arsitektur lewat rumah panjang, rumah panggung dan rumah apung. Dalam bidang pertanian ditemukan model pertanian rotasi (ladang berpindah di lahan kering), pertanian pasang surut dan surjan.
Namun paska kemerdekaan Republik Indonesia, pengetahuan dan ekpresi budaya tradisional dengan cepat berubah. Mulai masuk praktek-praktek baru yang tidak adaptif pada kondisi lingkungan setempat namun kemudian justru menjadi mainstream.
Tanah Kalimantan mulai kehilangan penghuninya yang berotak hutan hujan tropis. Rainforest mind, sebagaimana diusulkan oleh Paula Prober (Your Rainforest Mind: A Guide to the Well-Being of Gifted Adults and Youth – Olympia, WA: GHF Press, 2016) digambarkan sebagai seorang yang sangat sensitif pada dunianya (lingkungan), kreatif dan intense. Seseorang yang bisa disebut sebagai gifted atau genius.
Kehilangan jenius-jenius lokal dan pengetahuan yang dilahirkan olehnya membuat Kalimantan dengan cepat mengalami deforestasi. Padahal identitas Kalimantan adalah hutan maka tak salah jika ada yang mengatakan kalau Kalimantan diciptakan untuk ditinggali dua orang yaitu orang hutan dan orang utan.
Hutanlah yang membuat tanah Kalimantan subur. Material organik yang kemudian didekomposisi oleh makluk dekomposer di lantai hutan akan menghasilkan nutrisi untuk tanah. Sumber nutrisi ini kemudian didistribusi oleh air hujan yang turun sehingga menyebar hingga lembah-lembah untuk menyiapkan lahan pertanian pangan yang subur.
Dan tanpa hutan hasilnya adalah distribusi permukaan tanah yang tererosi sehingga menghasilkan sedimentasi yang luar biasa pada semua daerah atau wilayah perairan. Sedimentasi yang menghasilkan pendangkalan membuat ruang air menjadi berkurang kemampuan tampungnya. Maka lahirlah bencana kembar yakni banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Tentu saja banyak yang prihatin dengan kondisi Kalimantan pada umumnya dan Kalimantan Timur pada khususnya. Dari yang prihatin itu sebagian kecil yang berani bersuara. Namun suara mereka ibarat vox clamantis in deserto atau seruan di tengah padang gurun. Seruan yang hampir tak terdengarkan atau tak dipedulikan.
kredit foto : jetpack-kaskus.co.id