KESAH.ID – Banjir di beberapa wilayah Kalimantan Timur bisa dikatakan merupakan peristiwa alam biasa. Namun dari waktu ke waktu apa yang dulu mampu diadaptasi oleh masyarakatnya kemudian berkembang jadi bencana. Banjir dalam persepsi masyarakatnya semakin meninggi, namun bisa jadi bukan volume air yang banjir yang membesar melainkan permukaan lahan meninggi karena sedimentasi dan begitu pula dengan lantai badan air yang makin mendangkal. Kombinasi ini membuat permukaan air banjir kemudian terasa meninggi.
Dua kali saya terjebak banjir di Jalan Raya Mugirejo. Yang pertama sebelum pemilu presiden dan legislatif 2024 lalu. Itu sungguh pilu, karena dari Lubuk Sawah hingga ujung Jalan Raya Mugirejo di ruas jalan DI Panjaitan ada banyak titik genangan dalam dengan arus yang deras.
Waktu itu saya menunggu air surut dari sore hingga lewat tengah malam.
Dan beberapa hari lalu kembali berulang. Saya ke Lubuk Sawah ketika mendung menggayut diatas langit Samarinda. Dan sesaat sesudah diajak makan siang, rintik mulai turun dan semakin deras.
“Sudah disini saja, sekalian nanti habis isya ikut slametan,” ujar sang tuan rumah tempat saya menumpang makan siang.
Dan dari siang hingga menjelang slametan, 4 cangkir kopi tubruk mengisi perut saya.
Sambil menikmati kopi cangkir demi cangkir saya memantau kabar banjir di Kota Samarinda melalui instagram.
Data dari relawan ITS – TRC menyebutkan ada 24 titik banjir dengan ketinggian bervariasi. Titik-titik genangan yang disebut bukan nama asing, bahkan cenderung legendaris seperti ruas jalan Pasundan.
Untuk Kota Samarinda, hujan selalu membuat senang dan sedih. Petani pasti senang karena hujan yang datang akan membuat tanamannya kembali riang, dedaunannya kembali mengembang hijau, mengkilap tidak layu seperti hari-hari sebelumnya yang panas melulu.
Tapi buat warga yang lingkungannya langganan terendam tentu hanya bisa mengurut dada, memperpanjang nestapa karena got-got yang dilebarkan dan diperdalam bahkan ada got yang dibangun dengan menggali tengah jalan ternyata belum membuat genangan hilang.
Walau begitu saya berharap hujan akan konsisten turun, sebab disana-sini mulai muncul status galau akibat kangkung yang langka.
Padahal kangkung dalam beberapa tahun terakhir ini telah berkembang menjadi sayur paling Samarinda. Tanpa kangkung Samarinda akan merana.
Dah kangkung butuh air. Jika petani harus memberi asupan air dengan air yang dibeli niscaya harga kangkung akan melambung.
Sungguh tak keren kalau Samarinda akan mengalami inflasi gegara kangkung.
Selepas isya, tetamu yang diundang untuk slametan mulai datang. Sayapun urung berbincang soal inflasi kangkung dan tensi politik yang mulai naik di Kota Samarinda menjelang Pilkada 2024. Dinamika politiknya membingungkan eh, membagongkan.
Ucapan selamat datang dan ujub yang disampaikan dalam bahasa Jawa, kromo inggil tak panjang. Pun doa dalam bahasa Arab berlogat Jawa juga singkat.
“Monggo, dipun sekecakaken,”
Itu aba-aba yang saya tunggu untuk mulai menikmati aneka sajian yang dihampar di atas ambal. Saya memang mulai keki karena menjadi satu-satunya orang yang bercelana pendek dalam lingkaran tetamu yang duduk bersila mengitari umba rambe slametan.
Nikmat ayam joper panggang dan masak bumbu lodho memupus rasa keki itu. Dipadu dengan nasi pulen dan orak arik tempe, slametan malam itu memang membawa selamat. Usai bersantap sayapun bisa pulang melewati jalanan yang bersalut lumpur dengan aman, meski masih ada sisa genangan di beberapa titik. Hari belum melampaui tengah malam.
BACA JUGA : Paling Samarinda
Esok harinya saya terkejut, kenapa feed IG masih diwarnai dengan kabar banjir. Beberapa foto dan video menunjukkan genangan atap banjir hampir menyentuh atap rumah.
Pasti bukan di Samarinda, sebab banjir setinggi itu akan membuat Samarinda kiamat.
Ternyata itu kabar banjir dari Mahakam Hulu, banjir merendam beberapa kecamatan di kabupaten yang wilayahnya merupakan hulu sungai Mahakam.
Puluhan kampung terendam, benar-benar tenggelam sehingga sebagian warganya mesti mengungsi. Kabarnya jalan penghubung antara Kubar – Mahulu juga putus, terendam banjir.
Saya baru satu kali ke Mahakam Hulu, sempat menginap semalam di Ujoh Bilang sebelum kemudian ke Long Isun, kampung yang letaknya kearah hulu setelah Long Pahangai. Beberapa hari saya menginap di Long Isun dan sempat berketinting kearah lebih hulu, pergi ke Data Dawai yang mempunyai lapangan terbang. Entah sekarang pesawat apa yang mendarati.
Seingat saya waktu itu bukan musim kemarau sehingga sungainya tak surut sekali. Namun setelah turun dari perahu ke dermaga Ujoh Bilang untuk ke perkampungan mesti naik tangga cukup tinggi. Pun ketika di Long Isun, setelah perahu merapat ke jamban, dari atas jamban ke perkampungan mesti menaiki tebing sungai.
Melihat gambar rumah tergenang hingga sampai atap membuat saya bertanya-tanya setinggi apa permukaan air sungai naik hingga meluap ke daratan dan kemudian menahan air permukaan yang datang dari ketinggian hingga kemudian menjadi genangan yang dalam.
Sebuah citra pemetaan visual yang diposting oleh Agus Ferdinand menjawab sebagian tanya saya. Dalam peta itu ditunjukkan wilayah tangkapan air dan aliran-aliran anak-anak sungai di kawasan hulu Mahakam.
Jelas terlihat bahwa kawasan tangkapan air pada DAS Mahakam berada di wilayah Kabupaten Mahakam Hulu dan Kabupaten Malinau. Sebagian merupakan perbukitan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi akan menghasilkan air permukaan dalam jumlah yang sangat besar dan kemudian mengalir ke daerah-daerah yang lebih rendah atau perlembahan.
Dan permukiman di Kabupaten Mahakam Hulu umumnya memang di tepian Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya. Jarak antara rumah dengan pinggiran atau tebing sungai bervariasi namun umumnya lebih dari 10 meter.
Namun selain jamban apung, ada pula rumah apung di beberapa tempat. Seperti di Long Bagun yang umumnya dioperasikan sebagai rumah makan, rumah singgah untuk penumpang yang akan berganti perahu atau boat menuju Long Pahangai dan seterusnya.
Pada umumnya rumah di permukiman adalah rumah panggung namun tiangnya peyangga bawahnya tidak tinggi, barangkali berkisar antara 60 hingga 1 meter. Beberapa diantaranya merupakan rumah tingkat atau dua lantai.
Rumah panggung yang tidak terlalu tinggi memang tipikal permukiman daratan yang berada di daerah perlembahan atau daerah yang daratannya sering mendapat luapan dari badan air.
Sementara rumah panggung dengan tiang yang lebih tinggi umumnya berada dalam permukiman yang masuk dalam badan air. Pada permukiman seperti ini tiang rumahnya tingginya bisa 3 hingga 6 meter.
Rendah tingginya tiang penyangga rumah panggung di daerah yang dekat dengan kawasan perairan berasal dari pengalaman nenek moyang dimasa lalu atas kejadian pasang surut air. Dan dalam beberapa dekade kemudian, karena pendangkalan kawasan perairan dan semakin banyaknya bukaan di daerah tangkapan air, ketinggian air semakin meningkat sehingga rumahpun mesti didongkrak agar tiang penyangganya disambung.
BACA JUGA : Marc Mustahil
Karena kondisi geografisnya, wilayah Kabupaten Mahakam Hulu menajdi salah satu wilayah di Provinsi Kalimantan Timur yang mempunyai tutupan lahan terbaik. Kawasan berhutannya bisa jadi lebih dari 80 persen wilayahnya.
Tapi setiap tahun selalu mengalami banjir besar, maka banjir di Mahakam Hulu bisa disebut sebagai peristiwa alam biasa, bukan bencana karena ulah manusianya.
Menilik sejarah banjir di Kalimantan Timur, sejak masih berhutan dan masih dihuni sedikit orang beberapa daerah di Kalimantan Timur memang selalu mengalami banjir. Kawasan yang tergenang ini biasanya berada di perlembahan atau daratan yang terbentuk karena tumpukan sedimen.
Banjir alami ini terjadi karena DAS sangat luas, dengan anak-anak sungai yang sangat banyak dan kemudian bertemu di satu titik tertentu. Pertemuan aliran air permukaan yang menuju sungai dan yang meluap dari sungai kemudian pada waktu yang bersamaan kemudian menimbulkan genangan yang tinggi dan bertahan cukup lama.
Ini yang kemudian disebut sebagai bencana karena tempat dimana air mengenang itu adalah permukiman.
Meski masyarakat telah mengadaptasi kejadian banjir berulang di masa lalu dengan arsitektur rumah panggung, namun dari waktu ke waktu banjir dirasakan cenderung bertambah tinggi. Bisa jadi memang demikian, namun bisa jadi ketinggian banjir seperti meningkat karena ruang air atau ruang genangannya juga makin meninggi karena sedimentasi.
Banjir selalu membawa material yang tererosi. Material ini jika terendapkan kemudian akan menambah dangkal lantai badan air dan juga permukaan tanah yang digenangi oleh banjir.
Menjadi sulit bagi pemerintah daerah Mahakam Hulu jika berencana untuk mengatasi banjir di wilayah yang selama ini sering kebanjiran. Dan kedepannya jauh akan lebih sulit lagi tatkala jalan darat sudah terbangun dan menghubungkan wilayah-wilayahnya yang selama ini hanya bisa dijangkau dengan jalur air.
Terbukanya hubungan darat akan semakin memudahkan konversi lahan dan pembukaan kawasan berhutan yang pada gilirannya akan semakin menambah koefisiensi air permukaan disaat hujan. Jika dengan kondisi tutupan lahan yang relatif masih baik saja sudah banjir, apalagi jika tutupan hutannya berkurang.
Dan pada akhirnya jika Mahakam Hulu semakin banjir maka daerah Mahakam Tengah juga akan mengalami hal yang sama. Meski di kawasan ini ada penampung air raksasa berupa danau-danau cascade Mahakam, niscaya daya tampungnya makin lama akan makin kecil karena mengalami pendangkalan.
Andaikan kemampauan danau-danau dan badan air lainnya di Mahakam Tengah berkurang maka air melimpah dari hulu akan terkirim hingga hilir. Dan bayangkan kenaikan ketinggian air di hulu dan tengah yang bisa mencapai 4 hingga 8 meter itu terjadi juga di hilir, maka bisa dipastikan dua lantai Kantor Gubernur Kalimantan Timur akan terendam.