Saya punya kenangan soal merasa dekat dengan berbagai jenis minyak.
Saat jalan menuju rumah nenek yang berada di sisi selatan barat Pegunungan Menoreh belum diaspal, saya mesti jalan kaki kalau pergi ke sana. Mobil penumpang hanya akan sampai di terminal yang menyatu dengan pasar yang berdekatan dengan Kantor Kecamatan Kaligesing, Purworejo.
Jalannya terjal dan jarak yang harus ditempuh kurang lebih 4-5 km. Selain bikin nafas tersengal-sengal, kaki juga terasa pegal sehingga mesti beberapa kali istirahat.
Tempat pertama untuk istirahat adalah kilang penyulingan minyak daun cengkeh. Disitu biasanya saya mengambil air buangan dari tangki penyulingan yang ditampung di bak untuk dioleskan ke kaki. Rasanya hangat untuk mengurangi pegal di kaki dan tercium bau semerbak cengkeh yang menyegarkan mirip aroma terapi.
Salah satu bawaan penting setiap kali pergi ke rumah nenek adalah minyak tanah dalam jerigen 10 liter. Lumayan berat untuk ditenteng sambil berjalan naik turun perbukitan. Di kampung nenek, minyak tanah cukup langka karena mobil tangka BBM tak bisa sampai sana.
Sementara di kampung saya minyak berlimpah karena di samping rumah ada depot besar minyak tanah kepunyaan tetangga. Selain membeli minyak, saya sering bermain disana, melihat mobil tangki datang mengisi drum-drum minyak tanah.
Nenek akan tersenyum senang setiap kali menyambut kedatangan saya yang kelelahan karena menenteng jerigen minyak tanah 10 literan itu.
Minyak tanah memang merupakan bahan bakar terpenting waktu itu.
Saking pentingnya, sebelum minyak tanah dihapur dari daftar BBM dan digantikan oleh LPG, seingat saya setiap kali terjadi pengumuman kenaikan harga BBM, polisi akan was-was dan sibuk.
Kenaikan harga minyak tanah biasa berbarengan dengan kenaikan harga bensin atau premium. Sehingga akan memicu antrian panjang di SPBU dan juga demonstrasi dimana-mana. Esoknya di koran dan televisi aka nada berita tentang mobil tangka BBM yang disandera oleh para demonstran.
Seingat saya, sampai dengan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan untuk menaikkan harga BBM selalu merupakan kebijakan yang sulit untuk pemerintah. Maka yang akan mengumumkan adalah presiden sendiri sembari meminta maaf pada masyarakat.
Di lain pihak, kekuatan politik non pemerintahan biasanya juga sangat ekplisit menentang keputusan itu.
“Banyak rakyat lapar karena tingginya angka kemiskinan, tidak mendapatkan pendidikan yang bagus, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik,” ujar Megawati dengan suara parau karena menahan tangis.
Ucapan itu disampaikan oleh Megawati saat memberi sambutan pada Rakernas PDI Perjuangan di Makassar, Selasa, 27/05/2008.
Isak tangis Megawati itu merupakan respon atas rencana presiden SBY untuk menaikkan harga BBM.
Kini keprihatinan lewat isak tangis para elit partai sebagaimana Megawati dan Puan Maharani saat itu tak lagi kita temukan. Para petinggi sepertinya kompak mengamini bahwa kenaikan harga BBM tak mungkin lagi bisa dihindari.
Alasan yang paling populer adalah sebagian besar BBM saat ini sudah tidak lagi disubsidi oleh pemerintah, sehingga naik atau turunnya akan tergantung pada harga pasar. Yang paling tahu berapa harga keekonomian BBM adalah Pertamina.
Karena harga sudah diserahkan kepada pasar maka para petinggi dan elit partai kini cenderung lebih suka menasehati rakyat agar menerima semua kenaikan harga. Ini bukan hanya untuk BBM, melainkan juga harga-harga kebutuhan pokok lainnya.
Bukannya berempati pada ibu-ibu yang berjibaku mengantri minyak goreng, Ibu Megawati justru merasa heran kenapa masyarakat harus berebut minyak goreng, padahal kebanyakan makanan tak harus digoreng karena bisa direbus.
Ketidakpekaan terhadap penderitaan rakyat nampaknya sudah menjadi tipikal para elit politik. Sehingga saat ketika iuran BPJS naik dan rakyat keberatan mereka mengatakan ‘Kalau begitu jangan sakit,”. Atau ketika harga cabai melambung tinggi dan rakyat berteriak mereka mengatakan “Kalau tak mau beli ya tanam sendiri,”.
Jawaban atau respon blunder mirip orang merancau ini membuat masa depan para stand up komedian menjadi suram. Para comic menjadi kalah lucu dan tidak lebih absurb dibanding para elit politik.
BACA JUGA : Presiden Seumur Hidup Mungkinkah?
Saya pernah merasakan jaman dimana harga BBM untuk rakyat murah meriah. Tak lama setelah kelahiran saya, Indonesia mendapat berkah dari kenaikan harga minyak dunia. Oil boom pertama terjadi pada tahun 1974, harga minyak naik 481% dari harga rata-rata tahun 60-an.
Disusul oil boom kedua pada tahun 1979 dimana harga minyak naik 286% dari harga rata-rata tahun 70-an.
Bonanza minyak bumi membuat penerimaan negara melonjak, kontribusi pendapatan dari minyak melampaui pendapatan pajak negara. Inventasi pemerintah meningkat drastis, dari tahun 1969 hingga 1979 tumbuh sebesar 3,926%.
Dari berita di koran dan televisi, saya tahu saat itu Indonesia saat itu adalah negara penghasil minyak bumi dan masuk dalam organisasi Organization of the Petroleum Exporting Countries {OPEC} atau negara ekportir minyak dunia.
Keanggotaan dalam OPEC membuat kantong uang pemerintah jadi gemuk sehingga bisa meluncurkan berbagai program pembangunan dan kesejahteraan. Mulai dari meningkatkan gaji pegawai negeri dan guru, membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan diseluruh penjuru negeri.
Program peningkatan sarana dan prasarana dinamai dengan Program Instruksi Presiden {Inpres} sedangkan bantuan langsung bagi masyarakat untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan dinamakan dengan Program Bantuan Presiden {Banpres}.
Ibu saya yang lulusan Sekolah Pendidikan Guru, namun keburu menikah setelah lulus dan jadi ibu rumah tangga, ketika saya berumur 6 tahun ikut mendaftar jadi guru. Ibu diterima menjadi guru, pegawai negeri sipil yang kemudian ditempatkan sebagai pengajar di SD Inpres tetangga desa.
Di jaman keemasan minyak bumi itu nama Pertamina sungguh jaya. Saya dan teman-teman sepermainan saat itu fasih menyebutkannya.
Nanti ketika duduk di bangku SMP dari deretan teman yang anaknya orang kaya, selain anak-anak keturunan China, ada salah satu teman pribumi yang anaknya orang kaya. Kaya karena bapaknya kerja di Pertamina. Kaya karena di rumahnya banyak mobil yang dikaryakan sebagai mobil angkutan penumpang.
Beberapa tahun kemudian lagi-lagi lewat berita saya jadi tahu Pertamina yang jaya dan banyak uangnya ternyata terlilit banyak masalah. Pertamina saat itu melakukan ekpansi besar-besaran tanpa perhitungan yang matang dan studi kelayakan yang memadai.
Pertamina kemudian terjerat skandal hutang karena pengembangan bisnisnya dilakukan lewat skema-skema hutang jangka pendek. Praktek gali lubang tutup lubang kemudian membuat Pertamina mengalami gagal bayar ketika institusi-institusi keuangan melakukan pengetatan dalam pemberian pinjaman.
APBN tahun 1975-1976 penerimaan negara kurang lebih Rp 2,5 triliun. Andai saja seluruh penerimaan negara dialokasikan untuk membayar hutang Pertamina konon tidak cukup.
Pada tahun 1976 dan 1979, beban hutang luar negeri yang dibayar oleh pemerintah 25 hingga 40% adalah hutang Pertamina.
Minyak bumi mendatangkan berkah untuk pemerintah Indonesia namun pada saat yang sama Pertamina membuat pemerintah hampir bangkrut.
Salah satu nama yang melekat dengan Pertamina ini adalah Ibnu Sutowo, seorang perwira tinggi TNI yang kemudian menjadi Direktur Utama PT Pertamina. Tahun 1976, Ibnu Sutowo dicopot dari jabatannya sebagai Dirut Pertamina, namun sampai akhir hayatnya tak pernah diadili atas dugaan korupsinya di Pertamina.
Masa kejayaan minyak perlahan surut dan produksi minyak juga semakin menurun hingga pada akhirnya pada tahun 2003, Indonesia mencatatkan diri bukan lagi sebagai negara penghasil minyak {net ekporter} melainkan menjadi negara pengimpor minyak. Hasil minyak dalam negeri tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat {net importer}.
BBM murah meriah tak mungkin lagi dipertahankan, subsidi BBM satu persatu mulai dicabut. Kalaupun kini Solar dan Pertalite yang masih disubsidi, barangnya tak selalu tersedia setiap saat di SPBU.
Dan Pertamina sebagai perusahaan yang paling ahli urusan minyak bumi, hanya membesarkan harapan pada dirinya sendiri agar mampu meningkatkan produksi hingga 1 juta barel per hari pada tahun 2030 nanti.
Padahal kecenderungan sekarang ini energi yang berbasis fosil menjadi energi yang tidak disukai. Energi fosil sedang memasuki senjakala namun Pertamina justru mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meningkatkan produksi.
BACA JUGA : Animisme Baru
Jebakan minyak dan bahan bakar berbasis fosil lainnya telah membuat Indonesia abai mengembangkan energi yang lebih berkelanjutan dan terbarukan.
Padahal sebagai negara tropis dan berada dalam ring of fire, Indonesia mempunyai sumber energi yang berlimpah ruah dan murah yakni air, sinar matahari dan panas bumi.
Karena keasyikan menangguk untung dari minyak bumi, batubara dan lainnya, Indonesia lupa menginvestasikan sumber daya untuk membangun kompetensi dan penguasaan teknologi untuk menghasilkan energi dari air, sinar matahari dan panas bumi.
Kini untuk menghasilkan listrik jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel memang sudah jauh berkurang. Namun bukan digantikan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air, Panas Bumi atau Matahari melainkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang memakai bahan bakar batubara.
Dengan demikian produksi minyak Pertamina kini lebih diserap oleh kebutuhan bahan bakar dari masyarakat dan industri, utamanya untuk transportasi.
Masa depan Pertamina jika hanya terus berjualan minyak akan gelap karena sektor transportasi kini tengah mengalami disrupsi dengan kehadiran kendaraan listrik.
Dengan model bisnis ala-ala startup perkembangan penetrasi kendaraan listrik ke dalam masyarakat akan jauh lebih cepat dibanding masa ketika revolusi teknologi informasi dan komunikasi belum terjadi.
Kini di kota-kota besar keberadaan mobil listrik sudah mudah ditemukan di jalanan. Dan tak lama lagi jalanan juga akan dihiasi oleh hilir mudik motor listrik.
Saat ini di Indonesia sudah ada 22 produsen motor listrik. Dengan model bisnis memperkenalkan motor listrik lewat kerjasama dengan pengembang layanan transportasi online dan kurir, kemunculan motor listrik secara serempak di jalanan bukan hal yang sulit untuk dilakukan.
Lewat kerjasama itu para pihak dengan cepat akan membangun ekosistem motor listrik termasuk Stasiun Ganti Baterei {SGB} yang membuat pemakai motor listrik tak takut low batt di jalanan.
“Saya yakin, nggak sampai 5 tahun lagi SPBU bakalan sepi. Karena banyak orang akan pakai motor listrik, padahal operasional SPBU itu diisi oleh kendaraan roda dua,” kata Basuki Tjahaya Purnama.
Sebagai penyedia utama bahan bakar minyak untuk roda dua dan roda empat, masa depan PT Pertamina sudah diramalkan gelap oleh sang Komisaris Utamanya.
Saya yakin Ahok tidak sedang mengada-ngada apalagi mengadi-ngadi.
note : sumber gambar – autofun.co.id