KESAH.IDHomo Sapiens meretas kondisi alamiahnya ketika mulai bisa menguasai api. Api kemudian menjadi senjata untuk menakut-nakuti predator atau musuh alamiahnya. Dengan api, makanan yang tadinya dikonsumsi begitu saja kemudian dimasak sehingga lebih enak dan lunak untuk dicerna. Mencerna makanan kemudian tidak butuh waktu yang panjang dan energi yang besar sehingga Homo Sapiens mempunyai waktu luang lebih banyak untuk mengembangkan pengetahuan. Asupan protein yang lebih baik kemudian memicu revolusi kognitif yang membuat Sapiens berkembang menjadi manusia modern lewat revolusi-revolusi berikutnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pernah menulis surat kepada petinggi Partai Gerindra. Demokrat yang ikut mengusung Prabowo sebagai calon presiden dalam pemilu 2019, keberatan dengan rencana Rapat Umum yang akan dihadiri oleh Prabowo dan Sandiaga Uno di Gelora Bung Karno.

Dalam suratnya SBY menyatakan rencana Rapat Umum itu akan menciderai semangat demokrasi terutama soal inklusivitas.  SBY menegaskan Partai Demokrat menjunjung tinggi inklusifitas, kebhinekaan dan kemajemukan. Sehingga merasa tidak bijaksana apabila kampanye nasional untuk pemilu presiden bisa menimbulkan pembelahan antara yang pro demokrasi dan pro khilafah.

Dalam suratnya, SBY kemudian menyitir ungkapan “Jangan bermain api, terbakar nanti.”

Lewat ungkapan itu, dia memperingatkan agar tidak memakai isu agama untuk meningkatkan elektabilitas, karena kepentingan sesaat itu bisa berbahaya karena akan menyebabkan perpecahan setelahnya dan sulit untuk diselesaikan dengan segera.

Dampak dari yang diingatkan oleh SBY, sampai sekarang masih kita rasakan dalam pembelahan yang ditandai dengan sebutan Cebong dan Kampret atau Kadrun.

Api memang penting, salah satu energi vital bagi kehidupan manusia namun juga berbahaya jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Resiko dan kerugian yang bisa ditimbulkan oleh api sangat besar.

Maka api kerap digambarkan sebagai sesuatu yang berguna sekaligus berbahaya.

Dan bahaya api ada di mana-mana, siap membakar setiap saat.

Dalam hubungan percintaan yang disebut api adalah ketika seseorang mengikat komitment dengan seseorang lainnya lalu diam-diam membangun komitment baru atau menebar pesona terhadap seseorang lainnya lagi.

Karenanya percintaan bukan hanya terancam bisa bubar melainkan juga bisa memunculkan kekerasan dan kejahatan. Ada banyak penganiayaan yang menyebabkan seseorang kehilangan nyawa karena bermain ‘api asmara’.

Pada lingkungan akademis, pemberian gelar honoris causa entah itu doktor atau profesor bisa diibaratkan bermain-main dengan ‘api akademis’, gelar tidak diberikan kepada orang yang tepat karena tidak punya sumbangan secara akademis. Gelar diberikan lebih untuk kepentingan non akademis.

Pengemar minuman keras juga kerap bermain ‘api mabuk’. Biar bisa mabuk berjemaah dengan ongkos yang murah mereka sering mengoplos minuman. Mencampur minuman beralkohol dengan bahan berbahaya lainnya. Hasilnya memang cepat ‘mumet’ namun keinginan untuk bersenang-senang itu banyak yang berakhir dengan kematian beruntun.

Pengertian api diatas sifatnya konotatif. Namun dalam masyarakat baik tradisional maupun modern sebenarnya dikenal aktivitas bermain api sungguhan. Yang paling sederhana dan umum adalah api unggun. Sedangkan yang paling menarik adalah permainan api salah satunya disebut sebagai fire dance.

Tarian api bisa disaksikan di Bali lewat Tari Kecak yang dikreasi dengan menari dengan mengelilingi kobaran api.

Dulu di Jawa Tengah juga sering ada pertunjukan api di pawai khataman Al Quran yang diselenggarakan malam hari. Arak-arakan anak-anak yang telah selesai menghafal Al Quran itu didahului oleh barisan ‘penari api’.

Beberapa pemuda membawa tongkat yang kedua ujungnya bisa disulut seperti obor. Lalu mereka memutar-mutar tongkat itu dengan satu atau kedua tangannya. Api akan terlihat membentuk corak lingkaran atau bentuk spiral lainnya.

Ada juga yang beratraksi menyemburkan api. Seseorang memegang obor dan kemudian menyembur nyala api itu dengan minyak dari mulutnya. Dari kejauhan akan terlihat seperti pancaran api keluar dari mulut.

Atraksi dengan api ini juga kerap ditampilkan oleh penari modern dalam pertunjukan, ajang pencarian bakat, festival dan party-party. Tongkat api, tali api dan perkakas berapi lainnya dikombinasi dengan gerakan juggling serta akrobatik lainnya sehingga menampilkan tarian dan lukisan nyala api yang menarik mata serta hati.

BACA JUGA : Fiera Quarta Cinerum Atau Rabu Abu

Dalam bukunya yang berjudul Sapiens dan Homo Deus, Yoval Noah Harari sejarawan dari Israel dengan sangat detai menceritakan perjalanan salah satu spesies yang berhasil menguasai dunia yakni Homo Sapiens.

Menurut Yuval, sapiens dimasa lalu adalah salah satu dari beberapa spesies homo lainnya. Pernah hidup bersamaan namun kemudian neanderthal, erectus dan lainnya punah. Sapiens tetap bertahan dan kemudian beranak pinak lalu dan menjadi manusia modern sekarang ini dengan berbagai variasainya.

Sebagai bagian dari kerajaan binatang {Kingdom of animalia}, Sapiens bukanlah mahkluk terkuat di alam. Larinya tak sekencang kijang, kecepatan dan ketrampilannya memanjat tak sehebat monyet dan kera besar lainnya, serta tenaganya tak sekuat badak.

Di alam liar, Sapiens terancam oleh banyak predator. Namun ancaman kematian tidak hanya datang dari binatang atau mahkluk lainnya, melainkan juga lingkungan yang berbahaya. Sampai dengan beberapa ratus tahun lalu, tertusuk duri saja bisa menyebabkan kematian bagi manusia.

Mempertahankan hidup, memastikan diri tidak punah menjadi salah satu tugas alamiah Sapiens karena untuk memenuhi kebutuhan makannya saja sudah sulit. Harus berebut dengan binatang-binatang lainnya yang lebih kuat.

Makanya Homo Sapiens di masa perdana lebih dikenal sebagai mahkluk herbivora. Kebiasaan memakan daging kemungkinan bermula dari memakan sisa-sisa buruan yang ditinggalkan karnivora besar. Kelak protein hewani mulai dikonsumsi dengan mudah ketika tinggal di kawasan pesisir dimana ada kelimpahan kerang.

Masa depan Sapiens menjadi cerah ketika mulai berhasil menguasai api yang bisa jadi penemuannya tidak disengaja. Barangkali waktu itu sekelompok Sapiens melihat kawasan terbakar secara alami. Binatang lain termasuk predator berlarian, ketakutan melihat api. Dan yang terjebak kemudian terpanggang api. Ketika api padam, Sapiens mencium bau yang tidak biasa, yang terbakar kemudian dimakan dan ternyata enak. Daging yang terbakar menjadi lebih lunak untuk dicerna dan rasanya berbeda dari pada daging mentah.

Mereka kemudian merawat api dalam bara menjaga tetap menyala dalam bentuk api perapian di mulut-mulut gua.

Dan dengan menguasai api, Sapiens menjadikan api sebagai senjata untuk menakuti predator, menghanggatkan badan di dingin malam, menerangi gelap dan yang paling penting untuk memasak makanan.

Daging, umbi, biji-bijian yang dimasak dengan cara dibakar atau dipanggang menjadi lebih lunak dan enak. Makan menjadi semakin menyenangkan, tidak butuh tenaga untuk mencerna dan waktu untuk mengunyah makanan menjadi lebih singkat. Sapiens kemudian punya banyak waktu untuk istirahat, lebih bertenaga dan lainnya yang kemudian membuatnya bisa mengembangkan pengetahuan serta ketrampilan.

Semenjak saat itu Homo Sapiens berkembang menjadi penguasa alam karena mempunyai senjata yang ampuh yakni api.

Sapiens nenek moyang manusia modern kemudian membangun pondasi dasar untuk mempersiapkan keturunannya menduduki puncak rantai makanan, menjadi mahkluk terkuat di muka bumi, bukan lewat tenaga atau fisiknya melainkan karena pengetahuan, ketrampilan dan pemikirannya.

BACA JUGA : Konglomerasi Perut Ala Salim Group

Perbaikan gizi karena mulai mengkonsumsi makanan yang dimasak berpengaruh besar pada perkembangan otak, revolusi api memacu revolusi kognitif. Manusia kemudian dengan cepat belajar dan melakukan perubahan. Dari evolusi ke revolusi sehingga perkembangannya melampaui mahkluk lainnya, manusia bisa melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh mahkluk lain.

Dari mahkluk pemburu pengumpul, gerombolan manusia kemudian berkembang menjadi mahkluk pembudidaya. Revolusi kognitif disusul oleh revolusi pertanian, manusia kemudian bercocok tanam dan mulai tinggal menetap.

Melindungi tanaman, mempunyai cadangan pangan, peradaban manusia kemudian berkembang bukan hanya dalam hubungan dengan alam, mahkluk lain dan juga sesamanya melainkan juga dengan kekuatan-kekuatan lain yang dianggap melampaui manusia serta dunia.

Bermula dari kelompok-kelompok kecil, manusia yang bisa belajar dari pengalaman mulai merumuskan pengetahuan. Bahasa memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuan yang sampai sekarang belum secuilpun disusul oleh mahkluk lain yang berkembang secara evolutif.

Meski kerap berseteru dengan kelompok lainnya, manusia kemudian menjadi mahkluk yang paling mampu bekerjasama dalam kelompok besar. Kerjasama yang kian lama kian solid sehingga menghasilkan berbagai temuan yang melahirkan revolusi lanjutan seperti revolusi industri, revolusi teknologi informasi dan komunikasi hingga ke revolusi virtual dan digital yang ditandai dengan kecerdasan buatan.

Bermula dari menguasai api, manusia kemudian merubah wajah dunia karena berhasil melampaui pola dan model hidup alamiahnya. Berbagai jenis binatang mampu membuat sarang, rumah yang mungkin saja indah namun tak pernah sampai menjadi insinyur sipil, arsitek dan desainer interior. Rumah mereka dari berabad lalu begitu-begitu saja.

Tapi manusia walau tak bisa terbang atau berenang menyeberang lautan, namun akan lebih cepat sampai ke daratan sebelah karena mampu membuat perahu, kapal, pesawat terbang, jembatan dan lainnya.

Dan karena semua kemampuan itu, dimanapun ada kehadiran manusia selalu ada ancaman kepunahan untuk mahkluk lainnya. Perkembangan Homo Sapiens dulu memusnahkan homo-homo lainnya dan pada suatu masa saling memusnahkan lewat perang-perang besar.

Namun lama kelamaan kerjasama menjadi lebih diutamakan, walau yang disebut kerjasama setara atau seimbang sulit akan dicapai. Manusia mungkin saja tidak lagi saling membunuh, menghilangkan nyawa orang lain, kelompok lain dianggap sebagai kejahatan namun hirarki dalam hubungan tetap ada.

Memasuki masa terkini, ancaman kepunahan manusia hampir tak ada lagi, musuh berupa kelaparan, bencana dan lainnya berhasil dimitigasi. Pun demikian dengan wabah penyakit, dengan pengetahuan yang semakin hebat dan teknologi yang canggih, penyakit dengan cepat bisa dicari obatnya, ditemukan vaksin untuk mencegahnya.

Musuh terbesar manusia saat ini adalah dirinya sendiri. Manusia yang berabad-abad merasa diri sebagai ciptaan kini lebih berlaku sebagai pencipta.

Kitab Suci mengisahkan Tuhan Allah menciptakan langit, bumi dan segala isinya. Namun manusia kini menciptakan mobil, motor, rumah, jembatan, jalan tol, pesawat, komputer, gadget dan lainnya. Jika Tuhan Allah menghidupkan dengan meniupkan roh pada mahkluk hidup, manusia menghidupkan segala sesuatu dengan energi dan melengkapi daya pikir ciptaannya dengan software sehingga bisa berlaku layaknya manusia berdasarkan algoritma.

Dan ‘mahkluk’ ciptaan manusia itu mampu meniru persis apa yang dilakukan manusia, mempunyai kemampuan belajar dari pengalaman, bisa memperbaiki kesalahan karena dilengkapi dengan ‘deep learning machine’.

Mahkluk ciptaan manusia ini bahkan dalam beberapa sisi bisa lebih hebat. Pengetahuannya bisa lebih besar karena sumber pengetahuan berupa ‘big data’ yang terus menerus bisa diperbesar dengan cara menambang informasi yang ada di internet.

Akses terhadap memori pengetahuannya juga lebih cepat karena mahkluk ciptaan manusia ini tidak mudah terdistraksi oleh emosi, tak baperan, tidak punya rasa lapar, tidak malas dan seterusnya.

Manusia kini tengah bermain dengan ‘api kehidupan’ nya sendiri.

note : sumber gambar MUFFINGRAPHICS.COM