Anak muda selalu punya cara untuk bertindak dan berlaku berbeda dengan kebanyakan masyarakat pada umumnya. Dalam kajian perilaku dan kebudayaan fenomena ini disebut sebagai subkultur.
Sub mempunyai konotasi khas atau berbeda dengan yang dominan atau mainstream. Maka subkultur adalah model, gaya, perilaku atau cara hidup tertentu yang hanya dapat dipahami oleh anggotanya saja.
Kembali ke anak muda, banyak diantara anak muda kemudian bergabung atau membentuk subkultur-subkultur tertentu yang sesuai dengan karakteristik mereka yang menyukai hal-hal berbeda dari generasi lainnya.
Subkultur erat dengan symbol dengan demikian sejatinya subkultur adalah bentuk komunikasi dari anak-anak muda yang tergabung di dalamnya. Lewatnya mereka ingin mengatakan bahwa dirinya berbeda. Dalam konteks yang lebih luas, subkultur bisa berkembang menjadi sebuah gerakan perlawanan atau budaya tanding terhadap budaya mainstreams. Ada kritik atau sikap yang hendak disampaikan.
Sejak bulan Maret 2020 lalu berkembang sebuah kegiatan lomba balap lari malam di jalan raya. Atmosfernya seperti balap motor jalanan atau trek-trekan. Ini adalah sebuah lomba yang diselenggarakan secara swadaya oleh anak-anak muda yang tak berlatar klub atau sekolah atletik. Mereka adalah remaja atau anak-anak muda biasa yang mungkin bosan karena pandemi Covid 19.
Bermula dari Cileungsi, Kabupaten Bogor, lomba balap lari jalanan malam hari ini kemudian menjamur ke berbagai daerah di Indonesia, terutama Jawa, Sumatera dan kemudian sampai juga di Samarinda, Kalimantan Timur.
Berbeda dengan trek-trekan, lomba balap lari jalanan malam hari ini berkembang dalam ekosistem media sosial. Pertama beredar lewat group-group WA, hingga kemudian tumbuh account media sosial lainnya yang mempromosikan dengan cara yang menarik perhatian siapapun.
Seperti lomba-lomba besar lainnya yang diselenggarakan oleh promotor atau event organizer, lomba balap lari jalanan ini juga mempromosikan diri dengan cara yang kocak. Profil siapa yang akan bertanding dibagi ke media sosial lewat flyer, poster atau meme yang komikal. Selain nama dan foto dicantumkan pula berat dan tinggi badan, besar kecil betis, rokok yang biasa dihisap dan juga minuman yang ditenggak.
Pendek kata kocak sekali seperti postingan seseorang yang mencari lawan tanding dengan menyertakan spek (spesifikasi) berikut ini :
TB: 170 BB: 60, 58 Dengkul Kopong, Betis : kuda jantan, Paru-paru : Malboro Bolong, Nafas : kuli proyek, Bensn : jas-jus manga.
Dan postingan tantangan yang disertai foto serta lokasi ini kemudian dimention ke @info.balaplari100m
Pada sebuah group WA saya mendapati postingan berisi flyer tentang lomba balap lari malam di Samarinda. Lomba lari yang diselenggarakan pada malam minggu (12 September 2020) berlokasi di Jalan Ahmad Yani depan Gang Cahaya. Tajuk lomba malam itu adalah “Kelas Berat” karena mempertandingkan pelari yang berat badannya 100 kg.
Dan ternyata lomba balap lari 100 meter di malam hari itu telah berlangsung di berbagai tempat (jalanan) di Samarinda. Tentu saja ada yang suka namun tak sedikit juga yang merasa terganggu. Baik karena dianggap berisik maupun menganggu kelancaran pengguna jalan lainnya.
Karena di jalan raya maka polisilah yang bergerak dan bertindak. Mereka kemudian dirazia, dibubarkan dan mungkin saja ada beberapa orang yang ditangkap untuk diperiksa serta diberi pembinaan. Polisi punya alasan yang berdasar pada UU Lalu Lintas dan bau taruhan yang memang menyertai lomba balap lari itu. Dan seperti halnya trek-trekan maka kegiatan anak-anak muda ini dinamai oleh polisi sebagai lomba balap lari liar. Liar artinya illegal dan melanggar hukum atau ketertiban.
Sebagai sebuah upaya untuk mengatasi kebosanan tentu saja lomba balap lari malam hari ini positif, namun dalam konteks pandemi Covid 19 tentu saja berisiko karena akan menimbulkan kerumunan yang tidak terjamin protokol kesehatannya.
Lalu apakah kegiatan lomba balap lari malam ini mesti diwadahi, misalnya dengan menyediakan halaman stadion untuk berkegiatan?. Inisiatif itu baik saja tapi yang perlu diingat bahwa mereka yang bertanding itu tak bercita-cita menjadi atlet lari. Mereka bertanding untuk seru-seruan, bersenang-senang dan syukur-syukur dapat uang.
Maka akan lebih baik kalau Polisi berjaga-jaga saja, seperti halnya mengawal demonstrasi di jalanan. Seperti halnya trek-trekan yang susah ditertibkan pun demikian juga dengan lomba balap lari malam hari ini, sebab bisa saja lokasinya berpindah-pindah dengan cepat karena peserta dan pengembira berkomunikasi lewat media sosial.
Roda masih akan terus berputar, kalau sekarang polisi disibukkan oleh lomba balap lari malam hari, kita masih belum tahu lagi setelah ini akan muncul trend apalagi, kegiatan atau perilaku yang tetap akan membuat Polisi dan Satpol PP pusing kepala dan kembali melakukan Razia.