KESAH.ID – Semenjak keberhasilan Obama menjadi Presiden Amerika Serikat, kampanye internet {digital/media sosial} menjadi elemen penting dalam kampanye politik. Hanya saja kampanye politik lewat medium digital yang massif ternyata kerap meninggalkan residu yang tidak mudah disingkirkan. Lebih mengedepankan informasi yang memancing reaksi emosional, setelah pemilu pertengkaran di media sosial masih terus berlanjut dan sulit dihentikan.
Bercerita tentang pemilu 2019 yang lalu, beberapa orang yang saya kenal ternyata menangguk banyak untung karena dipercaya mengelola fanpage peserta pemilu. Ada fanpage perorangan, fanpage partai maupun fanpage pasangan calon.
Jumlah uang yang diperoleh bukan hanya lumayan karena cukup untuk mengganti tunggangan dari roda dua ke roda empat, membayar DP rumah dan bahkan ada yang membangun ‘kerajaan’ bisnis dari uang itu.
Saya tahu persis dalam jagad media sosial mereka tidak dikenal sebagai social media specialist, influencer dan lainnya, latar belakang dunia media mainstreams yang membuat mereka kemudian dipercaya mengelola kampanye media sosial.
Terbiasa memburu informasi dan menulis berita membuat mereka lebih unggul dibanding banyak ahli sosial media dadakan yang kompentensinya belum teruji oleh waktu.
Mempercayakan social media management kepada mereka yang berlatar jurnalistik memang ada untungnya. Mereka bisa bekerja lebih mandiri karena sudah terbiasa dalam urusan informasi dan publikasi, selain itu mereka juga bisa membuat media online baru, untuk memperluas jangkauan kampanye media sosialnya.
Politisi waktu itu memang memandang penting media sosial. Jusuf Kalla, mengatakan kampanye pemilu dan pilpres tidak lagi identik dengan pengerahan massa dalam jumlah yang banyak. Lautan manusia yang dimobilisir salah-salah dianggap berbahaya, bisa menimbulkan kerusuhan atau paling tidak kemacetan dimana-mana.
Media sosial kemudian menjadi senjata. Kampanye lewat internet atau media digital selain lebih murah juga bisa menjangkau lebih banyak orang serta dianalisis pencapaiannya dengan perangkat atau software tertentu.
Kenapa media sosial penting karena kata kunci dalam pemilu 2019 adalah Generasi Millenial. Generasi yang mulai serba digital ini dianggap sebagai pemilih potensial sehingga diperebutkan. Dan cara untuk menjangkau mereka secara cepat dan tepat adalah melalui jejaring digital.
Berdasarkan data BPS, pada pemilu 2019 yang lalu jumlah pemilih yang termasuk dalam golongan millennial ini jumlahnya 48 persen dari antara pemilih. Dan sebagian diantaranya merupakan pemilih pemula sehingga potensial untuk dipengaruhi karena belum punya memori preferensi politik pada pemilu sebelumnya.
Perlombaan untuk memperebutkan suara kaum millennial ini begitu terasa. Semua yang berkontestasi dalam pemilu 2019 amat fasih dan sering menyebut kata millennial, sehingga kata itu menjadi Kata Tahun Ini dalam versi Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Dikbudristek.
Data dari mesin pencari Google juga menunjukkan kata millennial menduduki peringkat tinggi sebagai kata yang paling banyak dicari di tahun 2019.
Mengapa para politisi tidak memainkan sendiri media sosialnya untuk berinteraksi dan membangun relasi dengan generasi millennial?.
Harus diakui sebagian besar diantara politisi gagap dengan perkembangan dunia digital, tak terlalu paham internet of thing. Mau berlaku dan bergaya ala generasi millennial juga terasa wagu dan lucu.
Dan yang paling penting mereka tidak siap berhadapan dengan realitas bahwa ketokohan di dunia offline ternyata tidak sejalan dengan dunia online. Di dunia offline mereka terbiasa menghadapi orang yang langsung tunduk dan mantuk-mantuk, tapi di dunia online yang tanpa egaliter dan tanpa hirarki seorang presiden sekalipun dengan enteng akan didebat, ditentang atau dikomentari dengan setengah makian oleh warga biasa-biasa saja.
Maka daripada terkejut dan jantungan berhadapan dengan netizen, media sosial yang penting untuk menjangkau pemilih diserahkan saja kepada mereka yang nggak baperan ketika berhadapan dengan netizen julid.
BACA JUGA : Politik Pasa Malam
Jejak yang ditinggalkan akibat perang media sosial pada pemilu 2019, terutama pemula presiden yang diikuti oleh dua pasangan calon masih terasa hingga sekarang. Istilah cebong, kampret, kadal gurun, buzzer Rp dan lainnya masih kerap terdengar sampai saat ini. Masyarakat terbelah dalam dua kelompok yang sama-sama ‘maju tak gentar membela yang bayar atau yang dijadikan junjungannya’.
Digital savvy memang membawa cacat bawaan karena algoritma di media sosial memang cenderung binner, suka atau tidak suka. Para pengkampanye yang menyebarkan informasi dengan rasionalitas tinggi cenderung tidak disukai, kurang mampu menjangkau secara luas, engagement rendah.
Kabar baiknya masyarakat muak dengan kondisi semacam itu. Sampah atau residu pemilu presiden 2019 tak lebih dari ketololan dan kekonyolan. Pasukan medsosnya masih terus berkelahi padahal yang bersaing sudah bersatu dalam pemerintahan.
Salah satu kekonyolannya terjadi lewat peristiwa pengeroyokan terhadap Ade Armando. Saat membuat konten di tengah demo mahasiswa di depan gedung DPR RI, Ade Armando dikeroyok akibat provokasi yang dilakukan oleh ibu-ibu.
Aktivis media sosial yang suaranya cenderung getol membela Jokowi itu dianggap musuh, tidak tepat berada dalam kerumunan demonstran itu. Ade Armando bukan hanya babak belur dipukuli, pakaiannya juga dilucuti, dinista seperti pencopet atau pencuri yang tertangkap basah.
Memalukan, perdebatan di media sosial berujung pada kekerasan yang menyedihkan.
Beberapa politisi menyadari betul buruknya kecenderungan ini. Beberapa diantaranya mereka mulai menggarap kampanye media sosial dengan menjauhi segala macam kontroversi.
Mereka yang namanya disebut-sebut sebagai calon presiden yang populer untuk pemilu 2024 juga mulai serius menggarap interaksi dan komunikasi melalui media sosial.
Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang digadang-gadang sebagai capres paling potensial dari PDIP, terlihat serius menggarap channel youtube-nya. Saking rajinnya bermain youtube, rekan separtainya sampai menjuluki Ganjar sebagai capres versi youtube.
Dibandingkan dengan Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, capres populer lainnya. Subscriber channel youtube Ganjar memang paling banyak. Channel youtube Anies Baswedan mempunyai jumlah subscriber sekitar 231 ribu, Prabowo malah tidak punya.
Subscriber channel youtube Ganjar Pranowo telah tembus diatas 1 juta, tepatnya 1,560.000 subscriber. Jumlah yang terbilang besar untuk channel yang tak berisi hiburan.
Namun akun instagram Anies Baswedan mempunyai pengikut yang lebih banyak. Jumlahnya kurang lebih 5,8 juta, sedikit diatas Ganjar yang punya pengikut di IG sebanyak 5,4 juta dan Prabowo sebanyak 5,2.
Soal pengikut di IG, Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat yang oleh berbagai survey lebih disebut sebagai calon wakil presiden terpopuler , follower IG nya jauh lebih berlimpah. IG Ridwan Kamil diikuti oleh 19,8 juta orang.
Ridwan Kamil yang kabarnya kini bergabung dengan Partai Golkar memang dikenal aktif bermedia sosial dan mendampat impresi yang bagus karena postingannya yang berkaitan dengan lingkungan, arsitektur, TIK, kreatifitas dan anak muda.
Aktifnya para calon presiden maupun wakil presiden yang populer di berbagai survey menjadi pertanda baik karena akun-akun mereka biasanya tidak akan menjadikan media sosial sebagai pemantul isu-isu negatif calon lainnya.
BACA JUGA : Partai Besar Dan Partai Nol Koma Pada Pemilu 2024
Menelisik perkembangan aktivitas media sosial menjelang pemilu 2024 masih ada jejak bahwa kampanye digital belum akan beranjak dari apa yang terjadi di 2019. Media sosial mungkin masih akan diwarnai dengan ‘pertempuran’ kabar buruk, menjelek-jelekkan calon lainnya.
Padahal pilihan semacam ini menjadi tidak strategis karena pada akhirnya justru menjadi pukulan balik untuk para calon. Membangun permusuhan bukan sebuah pilihan apalagi pemilu masih sekitar satu tahun lagi.
Strategi terbaik dari kampanye media sosial mesti membuka peluang sebesar mungkin untuk meraup suara pemilih tanpa sekat-sekat apapun.
Kecenderungan munculnya relawan-relawan bisa dimanfaatkan oleh para calon untuk mengefektifkan penyebaran pesan dan interaksi untuk memperbesar dukungan dari masyarakat. Dukungan yang bisa jadi penting sehingga akan turut menyumbang ‘tekanan’ pada partai untuk mencalonkan secara resmi tokoh-tokoh tertentu.
Kelompok relawan mesti dimanfaatkan bukan sebagai mesin pemukul bagi lawan, melainkan struktur dan ekosistem pengumpul lalu penyebar informasi yang didesain secara tunggal sehingga pesannya tidak berantakan atau semau sendiri.
Teknologi sudah memungkinkan bagi para relawan yang bekerja sendiri-sendiri di tempat yang terpisah untuk bekerja secara terhubung. Relawan bisa dilengkapi dengan berbagai macam aplikasi untuk mengumpulkan data dan kemudian menerima informasi untuk disebarluaskan baik secara online maupun offline.
Sinergi antar para relawan harus dibangun melalui ekosistem digital agar tidak terjadi kebocoran pesan yang bisa menyebabkan menurunnya citra sang calon.
Pesan di media sosial bukan lagi gimmick, sekedar alat dan trik untuk menarik perhatian belaka. Pesan harus menjadi sumber informasi bagi pemilih untuk lebih mengenal calon, mengenal gagasan, ide visi dan misinya untuk masyarakat, warga negara Indonesia ke depan.
Kerja-kerja relawan di media sosial adalah kerja untuk pendidikan politik. Melakukan penyadaran terhadap masyarakat bahwa memilih harus dilakukan lewat pertimbangan rasional, berdasarkan pikiran dan gagasan yang ditawarkan oleh calon.
Selama ini kita gagal menjadikan masyarakat pemilih sebagai masyarakat rasional. Kita terus mengiring pemilih untuk menentukan pilihannya dengan pertimbangan suka dan tidak suka.
Padahal sejak reformasi, slogan “menjadi pemilih yang cerdas” selalu digaungkan setiap kali menjelang pemilu.
note : sumber gambar RAJABACKLINK.COM








