KESAH.ID – Muda, berasal dari keluarga elit mentereng membuat mudah bagi Rahayu Saraswati untuk dijadikan obyek narasi yang kemudian sulit dikontrol. Tidak ada yang salah pada pernyataannya di sebuah wawancara eksklusif. Namun karena ucapan yang keluar dari seorang dengan previlege tinggi membuat netizen gampang meradang. Dan algoritma media sosial selalu mendukung percakapan panas di dunia maya. Sara merasa dalam tekanan dan kemudian memilih untuk mundur sebagai wujud kepekaan atas aspirasi publik gaya baru ini.
Jarang-jarang ada anggota DPR yang mundur, biasanya mereka yang terpilih jadi wakil rakyat lalu mengundurkan diri karena ingin mencalonkan diri pada jabatan yang punya syarat harus mundur dari kedudukannya sebagai wakil rakyat.
Menjelang Pilkada 2024, ada sederet anggota DPR terpilih yang kemudian mengundurkan diri karena maju sebagai calon kepala daerah. KDM atau Kang Dedi Mulyadi adalah salah satunya.
Selain itu ada juga Arteria Dahlan yang juga terpilih namun kemudian mundur karena konon posisinya diminta oleh cucu Megawati. Arteria menyebut ingin memfokuskan diri untuk membantu atau mengabdi kepada Ketua Umum PDIP sebagai alasan pengunduran dirinya.
Adalah Rahayu Saraswati, anak dari Hashim Djoyohadikusumo atau kemenakan Prabowo mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi DPR RI yang belum satu tahun didudukinya.
Lewat sebuah video, Sara menyampaikan pengunduran dirinya karena kontroversi dari sebuah percakapan di podcast yang kemudian digoreng lalu dianggap menyakiti hati masyarakat.
Karena merasa telah menyakiti hati masyarakat, Sara bukan hanya minta maaf melainkan juga mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawabannya.
Kalau boleh berandai-andai, rumah Syahroni, Uya Kuya dan Eko Patrio barangkali tidak akan berantakan, porak poranda tatkala mereka dirujak oleh netizen lalu mengambil keputusan cepat untuk mengundurkan diri dari kursi DPR RI.
Masalahnya tradisi mengundurkan diri tidak ada dalam politik kita. Para elit politik cenderung membela diri dan tetap mempertahankan kekuasaan meski ditekan oleh publik untuk mundur.
Politisi kita cenderung reaktif dan defensif saat ditekan oleh masyarakat, bukan memilih jalan reflektif.
Jelas jalan yang dilakukan oleh Sara bukan jalan populer, dan nampaknya tak akan diikuti oleh politisi atau pejabat elit lainnya.
Keputusan Sara jelas bukan keputusan biasa mengingat dirinya adalah generasi politik baru dari sebuah keluarga yang punya akar panjang dalam politik di Indonesia.
Ada sebuah strategi yang tengah dimainkannya.
Sebagai keponakan presiden, kedudukan dan posisi simbolik Sara penting dalam dunia politik di Indonesia, posisinya jelas kuat.
Tapi Sara justru mempertimbangkan suara netizen, tekanan yang disampaikan melalui media sosial.
Entah apa reaksi dari partai, ayah dan om-nya terkait rencana mundurnya. Tapi yang jelas dengan pernyataan yang diunggah ke ruang publik, Sara menunjukkan kedaulatan dirinya. Dia memilih yang terbaik untuk dirinya, untuk citra politiknya. Sebuah citra politik baru yang kemudian mendengarkan aspirasi netizen yang doyan mengoreng-ngoreng pernyataan tak lengkap.
Sara mengakui bahwa tekanan netizen bukan semata simbol suara publik melainkan juga bentuk atau simbol baru yang punya kekuatan untuk memberi legitimasi.
Sara mundur bukan karena tekanan ‘musuh politik’ atau rumah politik yang menaunginya. Dia tidak dinonaktifkan oleh partainya seperti beberapa anggota DPR yang viral itu. Keputusan Sara untuk mundur bukan jalan untuk menyelamatkan diri, sebagaimana yang dilakukan oleh partai yang anggota viral karena ucapan kontroversial.
BACA JUGA : Semua Dipajaki
Merunut pada potongan-potongan ucapan yang viral, sejatinya tidak ada yang salah dengan ucapannya.
Pernyataan yang disorot oleh netizen itu merupakan bagian dari wawancara eksklusif dengan Antara TV Indonesia yang berjudul ”Rahayu Saraswati Kupas Isu Perempuan hingga Kolaborasi Ekonomi Kreatif”.
Wawancara panjang itu dipotong-potong dan yang disebar berisi pernyataan yang intinya menekankan pada generasi muda untuk tidak berharap pekerjaan dari pemerintah.
“Menurut saya, anak-anak muda, ayo kalian kalau punya kreativitas jadilah pengusaha, jadilah entrepreneur, daripada ngomel enggak ada kerjaan, bikin kerjaan buat teman-teman lu,” kata Sara dalam video itu.
Ucapan ini yang kemudian digoreng untuk memicu amarah warga netizen.
Padahal mendorong generasi muda untuk tidak tergantung pada masyarakat adalah ucapan yang biasa, toh pada faktanya memang pemerintah tak punya banyak peran dalam menyediakan lapangan kerja.
Dan bersamaan dengan arus ekonomi kreatif, memang sudah selayaknya kaum muda mengembangkan kreatifitas, ruang-ruang kerja yang mungkin tidak ada sebelumnya dengan sektor yang jauh lebih luas dari jaman para orang tuanya.
Sebagai orang muda mungkin bahasa yang dipakai oleh Sara dalam wawancara tak dipenuhi basa-basi. Dengan gaya bahasa seperti itu netizen memang lebih mudah untuk menanggapi.
“Jangan hanya bersandar, karena kalau masih bersandar kepada sektor-sektor padat karya dan bersandar kepada pemerintah untuk provide the jobs, kita masih di zaman kolonial berarti, yang di mana kita bersandar kepada si raja, dan si ratu, dan si priayi untuk kasih kita kerjaan. No, kita sudah move on dari situ,” ujar Sara.
Sepenggal percakapan ini kemudian menjadi bensin untuk membakar emosi netizen yang memang doyan berkomentar, yang gemar mengungkapkan kekecewaan di dunia nyata dalam obrolan-obrolan di dunia maya.
Pernyataan di media sosial tidak dinilai dalam urusan benar salah, tapi menyakiti atau tidak. Algoritma informasi di media sosial berdasarkan emosi.
Pernyataan itu memicu kemarahan karena yang mengucapkan Rahayu Saraswati, cucu begawan ekonomi, anak pengusaha besar dan kemenanakan presiden yang dalam benak netizen sudah merdeka secara financial sejak masih dalam kandungan.
Dalam logika netizen, seseorang dengan profiling sementereng Sara tak layak untuk menasehati perihal kerja keras, kreatifitas, kemandirian dan lainnya. Karena Sara tanpa hal itu tetap saja bakal bisa mencapai kedudukannya sekarang ini. Netizen di Indonesia memang sangat sensitif kepada previlege.
Dengan logika seperti itu bisa dipastikan pula nasehat dari Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep soal perjalan ke panggung politik bakal digoreng juga oleh netizen.
Sulit memang bagi seorang seperti Rahayu Saraswati sebagai perempuan muda dari keluarga elite untuk terhindar dari obyektifikasi narasi yang sepenuhnya tak bisa dia kontrol.
BACA JUGA : Gula Kopi
Setelah sebelumnya lebih dikenal karena aktifitas sosialnya, jalan Rahayu Saraswati untuk membangun karier politiknya memang belum panjang.
Jalan mundurnya tentu bukan karena kapok berpolitik, tetapi bisa jadi justru Sara tengah mengembangkan etika politik baru yang berlawanan dengan etika politik klasik yang berdasar pada keteguhan. Politik lama mengajarkan untuk teguh dalam kedudukan walau dihantam oleh badai dari kanan-kiri.
Etika lama mengajarkan politisi harus bertahan dengan pemakluman “Makin tinggi pohon, makin besar goyangan angin,”. Maka tak ada politisi yang mundur walau dituntut mundur, bahkan balik menghantam yang menuntut mundur. Baru kalau tak kuat lalu tersungkur ya sudah, artinya kalah.
Politik kita mengajarkan kalau tidak melanggar mandat yang diberikan oleh negara ya jangan mundur, tetap duduk sampai dipecat atau dinonaktifkan.
Maka slogan Ligna menjadi teramat cocok, kalau sudah duduk lupa berdiri.
DPR atau wakil rakyat sebenarnya lekat dengan kata aspirasi. Mereka kemana-mana datang untuk menyerap aspirasi.
Namun suara publik tidak dianggap aspirasi.
Barangkali keputusan mundur Sara diambil setelah melakukan refleksi dan kemudian menemukan bahwa suara publik lewat media sosial adalah bentuk aspirasi, dan Sara mencoba untuk peka pada aspirasi itu.
Hanya saja kita tak tahu yang sebenarnya sebab politik adalah panggung ganda. Politisi dalam kiprah politiknya selalu ada di ruang depan dan ruang belakang. Apa yang ditunjukkan di ruang depan kadang berlawanan dengan yang terjadi di ruang belakang.
Mundurnya Rahayu Saraswati bersamaan dengan kekosongan kursi Menteri Pemuda Olahraga. Menteri yang lama dilengserkan namun saat pelantikan menteri penganti dan menteri baru, tidak ada Menpora yang dilantik.
Rahayu Saraswati dekat dengan isu kepemudaan, akankah dia dilantik menjadi Menpora yang baru?
Jika ya, maka dugaan baik saya pada langkah politiknya menjadi berlebihan.
note : sumber gambar – CNNINDONESIA