KESAH.IDTerlena oleh janji itu bawaan otak. Meski terus disadarkan untuk berpikir rasional, cara berpikir kita sebagian besar lebih bersandar pada otak emosional. Kita suka hal-hal yang menyenangkan dan memberi harapan, walau kita tahu pernah berkali-kali tertipu. 

Politik itu mulia, menjadi politikus adalah panggilan sama halnya dengan orang yang terpanggil menjadi agamawan, guru, dokter dan juga sukarelawan. Semuanya mengabdi untuk kehidupan bersama yang lebih baik.

Saya pernah meyakini hal itu sekian lama, politik menjadi sakral dalam pikiran saya.

Mengingat hal itu jadi geli sendiri. Sepertinya dulu saya naif sekali karena bisa terkagum-kagum menyaksikan kampanye dan baliho para kandidat yang berisi janji-janji mulia, kalimat dan kata yang bijaksana untuk mensejahterakan masyarakat.

Sakingnya menganggap politik itu sakral saya pernah berdebat keras dengan seorang teman yang punya paham politik ala Harold Lasswell. Lasswell mengartikan politik sebagai ‘Who gets, when and how”.

Saya murka, sebagai penganut politik ala Aristotelian saya meyakini bahwa politik adalah hal ihwal apapun yang dilakukan atau digunakan untuk mencapai kebaikan bersama, hidup bersama dengan kebaikan nilai-nilai moral sehingga lebih tinggi dari kepentingan jabatan.

Politik adalah tujuan umum, bukan perseorangan untuk mewujudkan nilai bersama yang meliputi keadilan, kesejahteraan, kebenaran, kejujuran dan lain-lain agar masyarakat mencapai kebahagiaan bukan hanya di dunia melainkan juga di akhirat.

“Binatang politik di jaman Aristoteles sudah berbeda dengan jaman Rocky Gerung,” ujar teman saya singkat menanggapi semburan saya yang berapi-api.

Dia kemudian melanjutkan bahwa perjuangan politik untuk menduduki jabatan publik dengan mandate merumuskan dan menjalankan kebijakan publik untuk kemaslahatan masyarakat hanya ada dalam teori, textbook pelajaran ilmu politik.

“Jabatan publik itu profesi kawan, harus dipertahankan selama mungkin. Kalau nggak bisa ya harus dipertahanan lewat kroni atau dinasti,”

Ah, sepertinya memang benar yang dikatakan oleh kawan saya itu, realitas politik yang murni dan sakral nampaknya hanya kisah dalam buku sejarah perjuangan bangsa. Kisah politisi dengan jabatan tinggi namun miskin mungkin hanya milik Sukarno, Hatta dan rekan seperjuangannya waktu itu.

Namun setelahnya, Suharto yang mendapat sanjungan sebagai Bapak Pembangunan ternyata kaya raya, makin banyak membangun akan semakin tebal kantongnya. Karena arti pembangunan adalah proyek.

Filsafat utopia sudah mati yang relevan saat ini adalah filsafat distopia.

Ah, jangan-jangan politik memang sudah gelap sejak dahulu. Pasalnya evolusi telah mengantar Sapiens, nenek moyang kita yang tadinya termasuk mahkluk herbivora menjadi mahkluk karnivora, pemakan segalanya.

Dalam piramida cara makan, binatang politik setelah bebas dari pertanyaan besok bisa makan atau tidak akan bertanya besok makan apa?. Setelah pertanyaan besok makan apa lewat, maka akan bertanya besok makan dimana?. Dan ketika makan dimana saja sudah tak jadi masalah maka akan bertanya besok makan dengan siapa?.

Akhirnya ketika besok makan dengan siapa sudah dilalui, pertanyaan terakhir adalah besok siapa yang akan dimakan?.

Politik nampaknya demikian. Tak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik, sebab yang abadi adalah kepentingan.

BACA JUGA : Partai Besar Dan Partai Nol Koma Pada Pemilu 2024

Pemilu masih setahun lagi, dimana-mana ada ajakan untuk bergabung menjadi calon anggota legislatif. Bertebaran pengumuman open recruitment terutama dari partai-partai yang tidak banyak peminatnya.

Politik jadi seperti pasar malam, pasar kaget yang muncul di pinggir jalan atau gang yang ramai.

Menjadi wakil rakyat, selain terhormat juga memastikan kran penghidupan akan terjamin 5 tahun mendatang. Bisa jadi gaji pokoknya kecil tapi sabetannya ada disana-sini, hak wakil rakyat menyangkut legislasi, penganggaran dan pengawasan selalu bisa di-monetisasi.

Celah untuk masuk dan duduk menjadi wakil rakyat dan jabatan publik lainnya mungkin sempit. Tapi namanya nasib siapa yang tahu. Nasib harus diperjuangkan dan dimenangkan.  Menang walau curang tak apa-apa daripada kalah dengan terhormat.

Apapun cara menangnya, wakil rakyat tetaplah golongan terhormat.

Jika calon anggota legislatif diibaratkan sebagai pelapak di pasar malam, maka ada 3 jenis pelapak yang berebut ruang untuk berdagang.

Yang pertama adalah pedagang baru yang mencoba peruntungan. Calon yang baru pertama kali maju dalam pemilu. Yang kedua adalah pedagang lama namun dagangannya nggak laku-laku. Calon yang selalu maju dalam pemilu tapi tidak pernah terpilih. Dan yang ketiga adalah pedagang lama yang lapaknya ramai. Calon yang sudah terpilih dan ingin terpilih kembali.

Tidak semua calon yang pertama kali maju lemah, beberapa diantaranya kuat karena punya hubungan dengan mereka yang sudah duduk di jabatan. Sebab ada kecenderungan dari mereka yang sudah duduk di kursi nikmat, selain susah berdiri juga ingin memberanakkan kursi untuk anak {adik dan aak}, menantu ponakan dan juga bini, ampibi kata mereka yang suka singkatan.

Ada yang maju memakai payung partai yang sama, namun ada pula yang menyebar ke berbagai partai. Semua tergantung kekuatan pengaruh dan besarnya peluang.

Sekali lagi ini soal kepentingan, kepentingan menang. Tidaklah penting satu keluarga dikenal sebagai satu ideologi {partai}. Jadi beda-beda partai dalam satu keluarga bukanlah gambaran cermin yang retak. Beda partai justru kolam besar layaknya channel youtube yang siap memerangkap adsense gajah.

Kata ahli pasar, jaman ini adalah jaman kolaborasi. Dalam politikpun demikian, yang paling mengemuka adalah koalisi. Kompetisi tetap ada, namun hanya sebagai pemanasan. Jadi walau bersaing ketat dan panas seperti Baratayuda, diujungnya selalu terbuka peluang untuk menyatukan visi misi {baca : bergabung dalam koalisi pemenang}.

Maka yang disebut paket pemenangan tidak selalu terdiri dari rekan separtai. Seorang calon bisa jadi berkoalisi atau lebih mendukung calon dari partai lainnya karena peluang menangnya lebih besar.

Pasar kaget atau pasar malam memang ruwet, improvisasinya sangat banyak karena ruangnya cair.

Beda dengan pasar modern atau hyper modern yang disusun dari keteraturan, sistem dan algoritmanya dengan mudah bisa dilihat, diprediksi dan diproyeksi.

Pasar malam selalu memunculkan kejutan hingga tak mudah untuk ditebak, itulah politik.

BACA JUGA : Anak Singkong, Yang Kaya Makin Kaya Yang Miskin Makin Merana

Sebagai warga kelas biasa-biasa saja, saya suka dengan pasar malam walau terkadang jengkel jika terjebak dalam kemacetannya. Demikian juga sebagai pemilih, saya suka dan antusias dengan geliat menjelang pemilu, meski kerap terganggu dengan kisah tipu-tipu “Penjual Obatnya”.

Yang umurnya 40-an keatas pasti punya kenangan tentang penjual obat di pasar atau di keramaian. Pedagang yang mengobral khasiat obat jualannya memakai mik yang bagian atasnya ditutupi dengan sapu tangan atau kain lainnya. Harus ditutup karena sering tersiram hujan liur yang muncrat dari mulutnya karena bicara meledak-ledak.

Dikerumuni oleh banyak orang, sebagian yang datang bukan mau beli obat tapi karena ingin menonton pertunjukkan sulap atau permainan lainnya. Daya tarik yang tak ada hubungan dengan barang yang didagangkannya.

Yang penting orang banyak terkumpul dahulu. Baru kemudian penjual obat nyerocos tanpa henti, menerangkan khasiat obatnya yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Yang mendengarkan tak punya kesempatan untuk menyanggah.

Khasiat harus diobral, makin bisa menyembuhkan banyak penyakit akan makin kelihatan hebat. Kalau terlihat hebat maka banyak yang akan tertarik untuk membeli.

Dan jangan lupa, diantara kerumunan penonton itu ada beberapa ‘antek’ penjual obat. Mereka akan bersandiwara, bersandiwara untuk jadi pembeli atau jadi penderita yang merasakan khasiat hebat dari obatnya.

Penjual obat paham dengan psikologi massa. Makin besar kerumunan makin banyak kemungkinan orang ikut-ikutan. Asal ada yang mulai membeli, yang lain akan ikut-ikutan.

Bagi penjual obat yang penting dagangannya laku, soal khasiat yang dijanjikan terbukti atau tidak, itu urusan belakangan. Besok kalau ada yang komplein alasan untuk menyanggahnya sudah disiapkan. Dia sudah terbiasa menghadapi hal semacam itu, makin banyak yang komplein makin pintar dia ngeles untuk mencari alasan pembenaran.

Politisi juga begitu, mulutnya seperti sudah punya aplikasi untuk mengobral janji. Bertemu dengan masyarakat masyarakat yang terdampak tambang illegal, dia dengan yakin mengatakan “Saya akan tutup dan larang tambang illegal yang menyengsarakan masyarakat,”

Nanti ketika terpilih dan ternyata tambang illegal masih marak dengan entengnya akan bilang bahwa dia tak punya kewenangan, hanya bisa berkoordinasi dengan yang terkait.

Nah lho, puyeng kan.

Tidak udah pusing, termakan dengan janji itu memang kebiasaan kita. Sebab saya dan anda-anda para pemilih memang gemar dengan bayangan di depan yang menyenangkan dan mengembirakan. Dan janji politik memang menyenangkan, masyarakat mana yang tidak senang dengan kesejahteraan, masyarakat mana yang tidak senang dengan pembangunan?.

Tagar kampanye di media sosial #beraniberubah sudah bikin antusias masyarakat. Semua memuji-muji, padahal yang berubah tidak banyak. Ambil contoh janji soal mengatasi banjir, bukankah janji itu sudah ada sejak 30 tahun yang lalu.

Tapi namanya pasar malam memang riuh sehingga membuat pembeli lupa untuk berpikir panjang dan dalam. Semua dikira baru padahal modus reproduksi janji itu cerita lama. Apa yang dinyatakan sebagai inovasi, visioner atau sebutan hebat lainnya kalau ditelisik lebih jauh ternyata sudah dipraktekkan sejak jaman Kekaisaran Romawi.

note : sumber gambar – NIAGA.ASIA