KESAH.ID – Dengan dana bantuan Provinsi Kalimantan Timur, Kota Samarinda bergiat untuk mengatasi banjir lewat proyek penanggulangan banjir yang terus menerus dilakukan mulai dari tahun pertama masa jabatan Walikota Andi Harun. Geliat pembangunan untuk mengatasi banjir sungguh terasa, utamanya revitalisasi saluran drainase perkotaan. Tapi nyatanya Samarinda masih terus banjir, genangan seperti enggan pergi dari kota ini.
Sudah lama saya berencana ke Bukit Tengkorak yang berada di Desa Sukomulyo Sepaku. Mulanya rencana perjalanan kesana disusun dari Lung Anai, mengingat sebagian warga Lung Anai berkebun disana.
Tapi rencana itu urung, beberapa warga Lung Anai yang saya temui mengatakan sudah beberapa waktu tak lagi melihat kebun mereka di Bukit Tengkorak. Lagi pula perjalanan dari Lung Anai ke Bukit Tengkorak medannya cukup sulit mesti melewati kebun sawit, HTI dan kawasan Tahura Bukit Suharto.
Ketika bertemu dengan teman-teman muda Kelurahan Bukit Merdeka yang sebagian wilayahnya berada di Kawasan Tahura Bukit Suharto, mereka kerap menyebut lamin. Awalnya saya menduga itu sebutan mereka untuk permukinan di Bukit Tengkorak. Namun ternyata bukan.
Mereka menyebut bukit tengkorak tak terlalu jauh. “Sebelah utara batu dinding,” ujar mereka.
Namun tiga kali saya menaiki Batu Dinding, perjalanan dari Bukit Merdeka ke Bukit Tengkorak belum juga terwujud.
“Jalannya susah, harus pakai mobol double gardan atau trail,” lanjut mereka.
Dan hari Rabu lalu, saya dan teman-teman akhirnya menginjakkan kaki di Bukit Tengkorak.
Sebelum mampir ke rumah Pak Enggo, tokoh masyarakat disana, saya dan teman-teman sempat mampir ke Gereja Oikumene untuk menyapa pendeta Melky yang masih sangat muda.
Saya singgah ke gereja karena ada yang mengatakan kalau pendetanya orang Manado.
Sebagai orang yang pernah cukup lama tinggal di Manado, saya masih bisa cas cis cus dengan logat Melayu Manado.
Setelah ha ha hi hi sebentar dengan Pendeta Melky dan istrinya yang sedang mengandung, saya kemudian singgah ke rumah Pak Enggo. Disana saya berkenalan dengan Decky yang ternyata berdarah Minahasa.
Yang lebih mengejutkan, Decky yang hendak berladang ternyata membawa bekal botol berisi cap tikus.
Diapun kemudian menawarkan minuman BM itu, bakar manyala.
Saya tak berpikir dua kali untuk menenggaknya. Sudah lama saya tak merasakan cap tikus.
Setelah menenggak cap tikus, perbincangan terasa makin lancar. Kami seperti orang yang sudah akrab, padahal baru ketemu sekali. Dalam cap tikus memang ada persaudaraan, seperti slogan yang dulu populer di Sulawesi Utara, Torang Samua Basudara.
Disela-sela obrolan ngalor-ngidul tiba-tiba hujan turun, cukup deras.
Ada rasa was-was, karena kalau hujannya lama, kami bakal kesulitan keluar dari Bukit Tengkorak yang jalannya masih berupa tanah tanpa pengerasan.
Untung hujannya tak terlalu lama.
Ternyata Samarinda juga hujan. Justru ini yang bikin was-was karena rumah saya tinggal dalam keadaan kosong, tak ada orang dirumah.
Menurut kabar yang tersiar di media sosial, hujan di Samarinda disertai angin deras. Ada pohon roboh dan atas yang terbawa terbang karena tiupan angin.
Rumah saya memang tak akan kebanjiran, tapi bisa saja tempias air hujan bakal membuat beberapa titik di rumah basah. Atau siapa tahu talang mampet sehingga airnya meluap ke plafon.
BACA JUGA : Kuasa Konten
Saya mencoba menepis kekhawatiran itu. Toh saya tak bisa berbuat apa-apa, situasi itu diluar kendali saya, jadi ya sudah apa yang terjadi terjadilah.
Tenyata bukan hanya hujan angin yang menerpa Samarinda, sebab di beberapa titik juga ada yang longsor. Dan konon menurut laporan, jumlah titik yang tergenang ada puluhan.
Dari beberapa akun instagram, diperlihatkan banjir terjadi dimana-mana di Samarinda. Sebagian cukup dalam, hingga bisa membuat motor yang nekat melintas bakal mogok.
Nampaknya semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Samarinda yang sudah melewati satu kali masa jabatan walikota belum cukup efektif untuk mengendalikan banjir.
Proyek pengendalian banjir memang akrab dengan warga Kota Samarinda lima tahun terakhir ini. Proyeknya mulai dari normalisasi Sungai Karangmumus, pengerukan sungai karang mumus, revitalisasi drainase perkotaan, pembuatan kolam retensi, polder, embung dan lainnya.
Ruas jalan di Kota Samarinda gantian dibongkar untuk melebarkan dan memperdalam saluran drainase.
Tapi ternyata Samarinda tetap banjir, walau ada yang mengatakan kalau “Banjir sekarang lebih cepat surut,”
Masalahnya banjir bukan soal cepat atau lambat surut. Banjir itu genangan, mau lama atau cepat tentu saja tetap merugikan. Kalau banjir cukup tinggi, misalnya sampai 70-an centimeter genangan, tentu banyak hal yang terendam dan mungkin rusah, walau satu jam kemudian airnya surut.
Sebutan banjir sekarang lebih cepat surut tidak terlalu relevan dan jelas tak menghibur. Sebab mungkin ada banyak dokumen yang rusak di sekolah atau kantor yang terendam walau tak lama.
Apa boleh buat mengatasi atau mengendalikan banjir memang tak gampang terlebih jika fokus untuk mengatasi banjir adalah membuang air permukaan atau run off secepat mungkin ke laut.
Samarinda seperti asal usul namanya adalah kota yang datar, dengan daratan dan air yang sama tinggi dan sama rendah, drainase yang berfungsi untuk mengeringkan air run off tidak selalu berfungsi baik. Jika hujan bersamaan dengan pasang Sungai Mahakam, niscaya air run off sulit untuk dialirkan ke Sungai Mahakam.
Bahkan air Sungai Mahakam bisa masuk ke anak-anak sungainya hingga kemudian airnya meluap dan menyebabkan banjir.
Yang dibangun oleh pemerintah Kota Samarinda sepertinya belum cukup. Ruang air yang disiapkan dan dibangun ternyata belum mampu menggantikan luas ruang air yang hilang. Hingga kemudian run off atau air hujan yang tak terserap oleh tanah menjadi penyebab banjir. Ya banjir karena air telah kehilangan ruangnya, ruang resapan dan ruang tangkapan.
Nah, salah satu yang banyak hilang dari Kota Samarinda ruang tangkapan air. Ruang ini berupa rawa-rawa yang terhubung dengan sungai. Rawa merupakan sistem penampungan air sementara, atau ruang tangkapan air, kehilangan rawa berarti kehilangan ruang parkir sementara air hujan.
Dan ruang rawa yang hilang yang kemudian diuruk menjadi daratan belum cukup kompensasinya. Pembangunan drainase yang lebih dalam dan lebih lebar belum sebanding dengan ruang tangkapan air yang hilang, bahkan lebih tak sebanding lagi jika ditambahkan dengan ruang resapan air yang juga lenyap.
BACA JUGA : Dad Shoes
Lalu apakah itu berarti semua proyek penanggulangan banjir dari Pemerintah Kota Samarinda yang nilainya besar itu jadi sia-sia?.
Jelas tak sia-sia, tapi belum cukup. Belum cukup untuk membuat Pemerintah Kota Samarinda mengklaim kalau proyek penanggulangan banjir mulai berhasil.
Alih-alih berhasil, bahkan mungkin saja berbagai proyek untuk menanggulangi banjir termasuk normalisasi Sungai Karangmumus malah membawa kerugian. Normalisasi sungai selain tak mengatasi banjir justru membuat sungai kehilangan vegetasi aslinya karena ekosistem sungai dirubah. Normalisasi membuat sungai kehilangan ekosistem aslinya, ekosistem sungai yang diturap dan ditanggul jelas kehilangan berbagai macam tumbuhan dan hewan spesies lokalnya atau warga lokal. Kehilangan ini jelas merupakan sebuah kerugian besar.
Anak-anak Karangmumus misalnya kini tak kenal ikan seluang, baung, pipih, tempakul dan betutu.
Ikan yang kini paling dikenal di Sungai Karangmumus adalah ikan sapu-sapu atau ikan cicak. Ikan asing yang kemudian dominan dan invasif.
Normalisasi Sungai Karangmumus nggak menghilangkan banjir di Samarinda, atau minimal mengendalikan. Yang terjadi ekosistem Karangmumus justru kehilangan banyak hal, Samarinda bahkan kehilangan budaya airnya dan tetap memanen banjir.
Saat banjir terjadi Rabu lalu ada yang mengungkit-ungkit janji Walikota yang dulu di masa awal jabatan periode pertama berjanji akan mengatasi banjir selama 4 tahun masa jabatan pertamanya. Janji itu jelas telah lewat dan banjir masih terus terjadi.
Adalah biasa walikota berjanji, selama sekian waktu akan mencapai ini dan itu. Tak usah diungkit-ungkit lagi toh kita semua tahu tak mungkin banjir separah Kota Samarinda bisa diatasi dalam waktu 4 tahun. Jakarta yang sudah puluhan tahun, gubernurnya berjanji akan mengatasi banjir, juga tak mampu.
Semua proyek yang dilabeli mengatasi atau mengendalikan banjir sebenarnya tak menjawab persoalan utama. Banjir adalah tentang ruang air yang hilang, jadi jika ruang itu tak dipulihkan, yang hilang tak diganti atau bahkan harus ditambahi karena model pembangunan yang tak ramah air, niscaya banjir akan tetap datang.
Kalaupun satu titik banjirnya bisa diatasi, mungkin akan ada dua atau bahkan tiga titik banjir baru. Jadi banjir tak diatasi melainkan hanya dipindah.
Tak perlu mengolok-olok Walikota, sebab untuk mereka yang mengerti soal muasal atau sebab musabab banjir, janji mampu mengatasi banjir dalam jangka waktu lima tahun itu tak layak dipercaya. Janji itu terlalu indah didengar dan terlalu tak masuk akal untuk terwujud.
Maka kalau Walikota Samarinda pernah mengatakan akan menyelesaikan soal banjir dalam jangka waktu 4 tahun di masa jabatan pertamanya sebagai Walikota, jelas itu janji yang kelewatan, jadi ngak perlu dipikirkan dengan serius.
Oleh karena itu kalau sekarang Samarinda masih tetap banjir yang salah tentu saja bukan walikota, melainkan para cerdik pandai, para ahli lingkungan hidup, para ahli air dan seterusnya yang tak mampu menyakinkan walikota dan wakil rakyat agar mengendalikan banjir dengan cara memulihkan ruang air, mengkompensasi ruang air yang hilang dan berhenti menanggul atau menurap Sungai Karangmumus yang mulai kehilangan wajah aslinya.
note : sumber gambar – NIAGAASIA








