Setiap makanan punya sejarahnya sendiri. Resep makanan pada mulanya dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku di daerah dimana resep itu muncul. Dari sinilah kemudian muncul makanan khas atau tradional sebuah daerah.

Meski makanan lahir dalam konteks tertentu namun dalam perkembangannya selanjutnya terjadi silang pengaruh dan percampuran atau hibridisasi.

Banyak sekali makanan yang diklaim sebagai makanan tradisional atau makanan khas dari daerah tertentu, jika ditelisik secara lebih mendalam ternyata dipengaruhi oleh resep atau kebiasaan mengolah makanan dari daerah lain atau bahkan dari negara lain.

Di dalam berbagai resep makanan tradisional Nusantara dengan mudah bisa ditemukan jejak pengaruh India, Arab, Eropa dan China.

Hasil adaptasi dan asimilasi antar resep serta cara masak ini menghasilkan beragam jenis masakan yang namanya mirip-mirip, namun tampilan dan rasanya jauh berbeda.

Hingga masa remaja, saat dimana saya belum melanglang buana kemana-mana yang saya kenali sebagai soto adalah masakan berkuah bening buatan ibu saya.

Ketika saya tanya kenapa beda dengan soto yang dijual dipasar, ibu menjawab “Ini soto China,”.

Soto yang dibuat ibu memang lebih sederhana dan di mulut tidak meninggalkan rasa campuran aneka rempah atau bumbu-bumbuan yang kuat, hanya segar dan gurih saja.

Nanti ketika saya merantau dan tinggal di Manado, disana ada banyak warung bertuliskan Coto Makassar.

Saya menemukan Coto berbeda dengan Soto yang saya kenal. Kuahnya keruh dan mangkoknya lebih banyak berisi daging tanpa tambahan apa-apa. Daging berkuah itu hanya ditaburi dengan bawang goreng dan irisan bawang daun diatasnya. Lalu dimakan dengan ketupat kecil, bukan nasi.

Suatu ketika saat nongkrong bersama teman-teman, ada seseorang teman yang membuat tebak-tebakan. Dia menanyakan apa beda antara Coto dan Soto.

Ada teman yang menjawab dengan menguraikan perbedaan antara bumbu Coto dan Soto. Ada yang menjawab beda asal usul daerah dan seterusnya. Teman yang membuat tebak-tebakan mengatakan jawaban kami salah semua.

“Lalu apa bedanya,” tanya kami hampir serempak karena penasaran.

“Coto itu dibuat dari daging Capi, kalau Soto dari daging Sapi,” jawab teman yang memang suka melucu.

Sontak saja kami tertawa terbahak-bahak, walau tahu bahwa itu bukanlah jawaban yang sesungguhnya.

Seiring dengan waktu ternyata yang mirip-mirip bukan hanya soto dan coto, melainkan ada juga sroto, tauto dan sauto.

Ibu saya memberi clue yang benar kalau soto, coto, sauto, tauto dan sroto lahir dari pengaruh orang China namun kemudian diadaptasi, dimodifikasi dan disesuaikan dengan ketersediaan bumbu, bahan serta kebiasaan memasak orang setempat.

BACA JUGA : Harga Meroket Pembatalan Pemilu Makin Kencang

Apa beda cabe dan cabai?. Tidak ada beda karena keduanya merupakan penyebutan untuk buah dari tanaman perdu yang pedas rasanya. Cabe lebih umum dipakai dalam percakapan sementara cabai dalam tulisan.

Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata yang benar dan baku adalah cabai.

Seperti halnya cabe dan cabai, banyak orang menganggap gule dan gulai sama saja sehingga penggunaannya kerap dipertukarkan.

Meski sama-sama hidangan berkuah santan dengan warna kekuningan atau kemerahan, gule dan gulai mempunyai berbagai perbedaan.

Asal usul kedua masakan ini berbeda, demikian juga dengan racikan bumbunya.

Ditinjau dari asal usulnya, gulai berasal dari Sumatera yang bumbunya kerap dipengaruhi oleh resep dan seni memasak dari India. Di Minangkabau, dikenal berbagai macam gulai, mulai dari gulai nangka, gulai tunjang, gulai otak, gulai cumi, gulai kepala ikan, gulai daun singkong dan lain-lain.

Sementara gule adalah masakan dari Jawa yang bahan atau penerapan bumbunya tak sebanyak gulai di Sumatera. Bahan gule umumnya adalah daging kambing atau daging sapi. Selain dagingnya biasa juga disertakan jeroan dan tulangan.

Sama-sama menggunakan santan, bumbu halus antara gule dan gulai hampir mirip karena menggunakan bawang merah, bawang putih, kunyit, kemiri, jahe dan lengkuas.  Hanya saja gulai biasanya ditambahi cabai merah keriting dan cabai besar merah untuk efek warna merah.

Sedangkan bumbu halus gule biasa ditambahi dengan ketumbar, lada dan jinten. Gule juga memakai cabai, namun cabai rawit merah tidak digerus melainkan dicemplungkan utuh.

Selain bumbu halus, gulai dan gules ama-sama memakai batang serai, daun jeruk, daun salam, cengkeh dan kayu manis. Namun gulai biasanya juga ditambah dengan daun kunyit, daun kari, asam kandis, kapulaga dan pekak.

Dengan bumbu yang lebih kaya dan cara masak yang lebih lama, gulai akan mempunyai tampilan yang lebih kental. Sedangkan gule cenderung lebih encer dan lebih manis karena tambahan gula.

Baik gulai maupun gule sama-sama enak disajikan dengan nasi hangat. Pelengkap untuk sajian gulai biasanya hanya sambal, baik sambal hijau maupun sambal merah. Sedangkan gule biasanya disajikan dengan sambal kecap rawit, kerupuk dan irisan jeruk nipis. Tambahan jeruk nipis dimaksudkan untuk menghilangkan aroma kambing dan membuat kuah gule jadi lebih segar.

Untuk yang gemar makan dan tak terlalu terobsesi dengan orisinalitas, perbedaan antara gulai dan gule menjadi tidak penting. Mempertukarkan penyebutannya atau menganggap sama antara gulai dan gule juga tidak masalah.

Apapun namanya yang terpenting adalah pas di lidah dan di kantong.

Lagi pula yang disebut dengan resep bukanlah dogma, tidak semua mesti diikuti secara persis. Kebanyakan kalau memasak sendiri di dapur, deretan bumbu dan bahan tambahan tidak selalu tersedia.

Ambil contoh rica-rica, resep masakan pedas asal Manado ini sekarang terkenal di Jawa. Namun bumbu dan cara masak rica-rica ala Manado dan Jawa menghasilkan rasa yang berbeda meskipun namanya sama.

BACA JUGA : Puasa dan Pantang 

Buat anak nongkrong atau sok ikut-ikutan jadi anak gaul pasti tak asing dengan sebutan Gultik atau Gule Tikungan.

Sebutan ini menjadi merek dagang bagi puluhan pedagang gule yang berjajar di sepanjang tikungan jalan Mahakam yang letaknya berdekatan dengan bundaran antara SMA 6, GOR Bulungan dan Blok M Plaza.

Pedagang gule yang memakai pikulan itu berjualan disana sejak tahun  80-an. Membuka lapak sejak jam 5 sore hingga dinihari. Pedagangnya berasal dari daerah yang sama yakni Sukoharjo, Jawa Tengah.

Kekhasan lainnya, gule tikungan tidak berbahan kambing melainkan sapi. Disajikan dengan cara disiramkan diatas sepiring nasi lalu ditaburi bawang goreng dan kerupuk. Porsinya kecil dengan harga antara Rp. 10.000 hingga Rp. 15.000.

Jadi buat yang doyan makan kenyang mesti menambah satu hingga dua porsi lagi agar puas.

Selain gule, pedagang juga menjual lauk pendamping seperti sate puyuh, sate usus dan sate hati ampela. Harganya berkisar Rp. 5.000.

Nah untuk yang tinggal di Samarinda dan ingin bernostalgia atau pingin mencicipi gurih segarnya gule tikungan tak perlu jauh-jauh pergi ke kawasan Blok M.

Di tikungan perempatan Masjid Nurul Mu’minin Kinibalu ke arah Gereja Katedral Santa Maria Penolong Abadi Samarinda telah hadir kios Gultik Koe.

Buka dari jam 5 sore hingga 12 malam, Gultik Koe bukan hanya menyajikan gule sapi yang serupa dengan gultik di Blok M melainkan juga Ketupat {Kupat} Sayur dengan lauk tahu, telur atau daging.

Soal harga jangan kuatir akan bikin dompet bocor. Gultik Koe sama ekonomisnya dengan gultik Blok M, sama-sama ramah kantong untuk anak kost yang uang jajannya masih disubsidi oleh orang tua.

Porsinya memang kecil namun sungguh pas untuk mengisi perut setelah berbuka puasa karena tidak akan membuat perut kaget karena kekenyangan.

Dan untuk yang sedang punya body goal agar tetap langsing atau menurunkan berat badan, porsi Gultik Koe sungguh tepat karena nasinya tidak banyak.

Makan banyak nasi atau karbohidrat di malam hari memang tidak diperlukan, karena kita tak banyak beraktivitas. Maka kebanyakan makan nasi bakal memompa berat badan.

Maka sungguh tepat untuk yang ingin tetap tampil proporsional dan dompetnya stabil maksimal mampir dan merasakan gurih segarnya Gultik Koe.

Bersantap malam di luar ruangan, menikmati suasana Samarinda dari tikungan niscaya akan membuat kita tak perlu healing dengan piknik jauh hingga ke Pulau Dewata atau ke  Mandalika.