Di pulau Bali sering terlihat pohon besar atau patung diselimuti dengan kain kotak-kotak hitam putih. Seperti halnya keyakinan orang-orang Tionghoa tentang Yin Yang, warna hitam putih untuk orang Bali merupakan simbol rwa bhineda.
Rwa bhineda dalam sistem kepercayaan orang Bali merupakan representasi dari dua sifat yang saling bertolak belakang. Penggunaan dua warna yakni hitam dan putih mewujudkan keseimbangan atau harmoni sebagaimana halnya yang terjadi dalam alam seperti siang malam, baik buruk dan lain-lain.
Dengan diselimuti kain poleng, maka pohon akan menjadi stana dari sosok tertentu. Tempat bersemayam bagi penunggu hidup atau kehidupan manusia.
Selain sebagai wujud laku spiritual, penempatan kain pada pohon juga bermakna ekologis. Pohon-pohon itu kemudian terjaga keberadaannya. Adanya kain yang menyelimuti membuat pohon terhindar dari penebangan sembarangan. Hingga akhirnya pulau Bali masih dihiasi oleh pohon-pohon besar yang rindang.
Di beberapa daerah yang ada di pulau Jawa, keberadaan pohon yang diselimuti dengan kain juga bisa ditemukan. Pohon ini biasa disebut dengan nama pohon resan.
Disebut resan karena bermakna ana kang ngreksa, ada yang menjaga.
Wujud resan umumnya adalah pohon-pohon besar yang umurnya sudah ratusan tahun. Kebanyakan adalah pohon beringin-beringinan {ficus}, namun juga ada jenis pohon-pohon lainnya seperti randu alas, kepuh dan lain sebagainya.
Pohon-pohon ini umumnya berfungsi sebagai penangkap dan penyimpan air hujan serta melindungi mata air disekitarnya. Biasanya di dekat pohon resan memang ada tuk atau mata air serta belik atau sendang kecil tempat masyarakat bisa mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari.
Selain di sekitar mata air, resan juga ada di pinggiran kali, bukit, hutan dan lain sebagainya. Resan juga dikaitkan dengan cikal bakal atau penanda awal mula kampung ataua permukiman yang harus dijaga keberadaannya.
Untuk membedakan mana pohon resan atau tidak biasanya batang pohon akan diberi langse atau kain penutup. Langse berwarna putih, atau kain mori yang biasa dipakai untuk membungkus jenasah.
Dengan diberi langse otomatis akan memunculkan kesan angker atau winggit sehingga siapapun yang berada disekitarnya akan menjaga perilaku, takut atau khawatir membuat dhanyang atau penunggunya tidak berkenan.
Tidak seperti di Bali, keberadaan pohon resan di Jawa mulai langka. Perubahan sistem kepercayaan membuat warisan spiritualitas yang mempercayai bahwa segala sesuatu di alam mempunyai jiwa telah luntur.
Mempercayai bahwa dalam pohon, batu, hutan, gunung, mata air dan lainnya mempunyai jiwa dianggap sebagai kepercayaan primitif atau animisme.
Sehingga ritual memberi langse pada pohon resan dianggap sebagai kegiatan menyembah berhala. Terlebih jika kemudian di sekitar pohon diberikan sesajen entah berupa makanan, minuman, bunga-bungaan dan dupa/kemenyan.
BACA JUGA : Antara Gulai dan Gule
40 ribu tahun lalu ketika manusia mulai mampu menguasai api, menghidupkan api dari sumber lain, kelompok manusia saat itu yakni Homo Naenderthal dan Homo Sapiens mulai mengembangkan sistem dan ritus kepercayaan.
Homo Naenderthal kemudian punah ketika memasuki tahap berburu, sementara Homo Sapiens terus bertahan mampu melewati masa pemburu pengumpul menuju masa budidaya dan bermukim menetap hingga kemudian tercipta peradaban.
Ritus kepercayaan yang awalnya muncul dari peristiwa kematian kemudian berkembang seiring dengan peradaban.
Kehidupan yang makin baik membuat manusia punya waktu dan kesempatan untuk bertanya dan mencari makna hidup dan kehidupan. Mencari jawab atas berbagai pertanyaan-pertanyaan esensial.
Bercermin dari kesadaran dan pengetahuan tentang dirinya manusia kemudian membuat narasi-narasi yang melandasi sistem kepercayaan yang saat itu menempatkan manusia setara dengan mahkluk dan seisi alam lainnya.
Peradaban terus berkembang demikian juga dengan pengetahuan, ilmu dan teknologi. Sistem kepercayaan juga terus bertumbuh mulai dari animisme, dinamisme, politheisme, duotheisme hingga kemudian berpuncak pada monotheisme.
Perjalanan evolusi sistem kepercayaan yang kemudian diinstusionalisasikan dalam bentuk agama, sampai saat ini sekurangnya telah melahirkan kurang lebih 4300 agama. Ada beberapa hal yang sama dalam setiap agama namun banyak hal lainnya berbeda terutama dalam ritus, filosofi, aturan dan uraian detail dari ajarannya.
Dari antara ribuan agama, beberapa diantara karena universalitasnya kemudian menyebar dan meluas melampaui tanah kelahirannya serta menjadi agama mainstreams di dunia.
Namun yang lainnya meski tidak berkembang meluas masih tetap bertahan, tidak punah meski dikepung oleh sistem kepercayaan lain yang lebih superior.
Sistem kepercayaan manusia memang unik, meski kemudian menganut kepercayaan baru yang sama sekali berbeda dengan kepercayaan lama, apa yang dipercaya sebelumnya tidak otomatis hilang.
Masyarakat Indonesia yang kini sebagian besar adalah penganut agama monotheis masih saja percaya pada ritual-ritual lama peninggalan masa animisme, dinamisme dan politheisme. Masih banyak yang percaya pada ‘orang pintar’ seperti pawang hujan, dukun dan lain sebagainya. Tak sedikit juga yang masih percaya pada benda pusaka, batu akik dan jimat-jimat lainnya.
Bukan hanya percaya melainkan juga berusaha untuk melestarikan sistem kepercayaan itu dengan label “kearifan atau kebijakan tradisional’.
Hanya saja secara umum evolusi sistem kepercayaan pada akhirnya mengantar sebagian manusia pada keyakinan bahwa manusia adalah mahkluk paling mulia diantara mahkluk atau isi bumi lainnya. Superioritas ini membuat manusia merasa bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi keberadaannya ditujukan untuk kepentingan manusia.
Pada titik ini sistem kepercayaan kemudian membuat manusia menjadi makin ekpolitatif dan ekstraktif. Watak ini kemudian semakin menjadi-jadi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi membuat ketergantungan manusia secara langsung menjadi berkurang.
Semenjak revolusi industri yang ditopang oleh energi fosil, manusia menjadi mahkluk yang paling merusak. Dan secara kolektif manusia menjadi mahkluk yang kecil kemungkinan untuk punah dibanding mahkluk lainnya.
Temuan berbagai macam obat termasuk vaksin membuat manusia bisa mengatasi infeksi-infeksi yang mematikan. Kualitas hidup manusia semakin membaik, harapan hidup semakin panjang namun lingkungan hidup semakin memburuk.
Pada titik ini manusia kemudian mempunyai kesadaran baru seperti tercermin dalam slogan back to nature dan paradigma pembangunan berkelanjutan.
BACA JUGA : Harga Meroket Pembatalan Pemilu Makin Kencang
Memasuki jaman revolusi komunikasi ini masih ada kelompok masyarakat yang mempertahankan hubungan dengan alam sebagaimana yang diajarkan oleh nenek moyangnya. Kelompok ini menjalani hidup dan kehidupan baik individu maupun bersama berdasarkan pengetahuan serta kearifan tradisionalnya.
Di Indonesia salah satu yang paling dikenal adalah masyarakat Baduy. Mereka mendiami kawasan seluas kurang lebih 5.101,65 hektar di Kanekes, Kecamatan Leuwidimar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Pilihan hidup seperti masyarakat Baduy bukanlah pilihan umum. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari sampai titik peradaban tertentu dan kemudian menolak perkembangan berikutnya. Mereka berhenti pada puncak peradaban nenek moyangnya.
Sebagai kelompok yang memilih cara hidup tidak umum, mereka kemudian kerap menjadi sasaran ‘pembangunan’ untuk dientaskan dari berbagai ketertinggalan. Ada yang kemudian mulai terbuka terhadap pengaruh luar, setengah terbuka dan tetap tertutup.
Kondisi ini kemudian melahirkan 3 lapisan kelompok masyarakat Baduy yakni : 1. Baduy Dangka, kelompok yang tidak tinggal lagi di tanah adat dan sudah tidak terikat oleh aturan dan kepercayaan Baduy. 2. Baduy Luar, kelompok yang masih tinggal di tanah adat, masih terikat aturan adat dan kepercayaan Baduy namun sudah menerima pendidikan dan perkembangan teknologi. 3. Baduy Dalam atau Baduy Jero yang tinggal di tanah adat, menjunjung tinggi aturan dan kepercayaan Baduy serta tidak mengenyam pendidikan dan tidak mengkonsumsi perkembangan teknologi.
Lingkungan tinggal masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam masih sangat terjaga. Ada banyak aturan adat yang harus ditaati agar lingkungan tidak rusak. Untuk mendirikan rumah misalnya, mereka dilarang melakukan ‘pematangan lahan’, rumah harus mengikuti kontur tanah dan dibuat dari bahan-bahan alami.
Rangka terbuat dari kayu, dinding terbuat dari anyaman bambu, atap terbuat dari ijuk atau daun kelapa kering dan lantai tetap berupa tanah.
Tentu cara hidup yang ramah lingkungan ala orang Baduy atau kelompok-kelompok lain yang serupa tidak bisa dipraktekkan secara meluas. Namun tak berarti prinsip atau perilaku yang menghormati dan menghargai seisi alam lainnya tidak bisa dilakukan.
Pada kelompok masyarakat modern, kemudian muncul gerakan atau aksi-aksi baik yang terinspirasi oleh kearifan tradisional masyarakat adat maupun yang dikonfirmasi oleh temuan dan teori ilmu pengetahuan.
Apa yan disebut sebagai animisme kemudian ditafsir, diteliti dan kemudian diteoritisasi sebagai animisme baru. Berbeda dengan animisme tradisional yang ‘memberhalakan’ alam, animisme baru menghormati alam dan seisinya dalam konteks kesalingterhubungan satu sama lain.
Konsep ini disebut sebagai ekologi, dimana alam dan seisinya berada dalam satu hubungan yang saling melengkapi. Masing-masing mahkluk dan benda atau zat di alam mempunyai peran masing-masing yang mempunyai kontribusi untuk keberlanjutan semesta.
Seperti masyarakat tradisional, masyarakat modern akhirnya juga bisa memandang dirinya sebagai bagian dari alam, setara dengan mahkluk hidup lainnya. Pandangan ini dikenal sebagai antropomorfis.
Bahwa manusia sebenarnya setara dengan mahkluk hidup lainnya bukanlah sekedar kesadaran yang muncul dari kerendahan hati manusia. Fakta ini dikonfirmasi oleh temuan ilmu pengetahuan alam. Semua mahkluk hidup di muka bumi ini pada beberapa milyard tahun lalu mempunyai nenek moyang bersama {Last Universal Common Ancestor}.
Darinya kemudian lahir kerajaan tumbuhan {plantae}, kerajaan binatang {animale}, kerajaan jamur {fungi}, kerajaan mahkluk bersel tunggal {monera} dan kerajaan mahkluk mirip jamur, hewan dan tumbuhan {protista}.
Menarik garis hingga ke LUCA sejatinya manusia mempunyai asal usul yang sama bukan hanya dengan jenis kera besar belaka seperti teori evolusi Darwin. Melainkan juga bersaudara dengan tumbuhan, jamur dan mahkluk mikroorganisme lainnya.
Andai kemudian tampilan, perilaku, kesadaran, organ dan lainnya kemudian berbeda semua itu karena evolusi yang panjang.
Maka memahami alam, menghormati lingkungan, menyanyangi pohon, menghargai sungai, menjaga hutan dan sebagainya sebagaimana kita menghormati, menjaga serta menyayangi sesama manusia bukanlah sebuah kekonyolan.
Di atas tanah, di bumi tempat kita hidup dan beroleh kehidupan ini ada hak-hak mahkluk lain yang harus kita hormati sebagai sesama yang hidup serta ingin terus mempertahankan hidupnya.
Sampai saat ini yang bisa mengklaim kepemilikan atas lahan atau area di muka bumi hanyalah manusia. Namun meski bisa membuktikan lewat sertifikat atau apapun, itu tidak berarti segala sesuatunya menjadi milik manusia dan hanya digunakan untuk kepentingan manusia.
Hidup manusia tak akan baik-baik saja jika hak dari mahkluk lain diatas tanah atau wilayah yang dikuasai dan diklaim sebagai milik manusia tidak diakui serta dihargai. Lingkungan hidup manusia akan sehat dan asri hanya karena manusia menghargai, merawat dan menyayangi mahkluk hidup lainnya.
note : sumber gambar – {Istock} intisari.grid.id