Saya tentu amat gembira ketika Kota Samarinda mempunyai pemimpin baru dengan tagar #menjadipusatperadaban. Terus terang saya belum mendalami apa dan bagaimana menjadi pusat peradaban  itu.

Dengan segala keterbatasan pengetahuan tentang kota Samarinda, tagar itu membawa saya kepada ingatan tentang Sumeria. Sebuah kawasan yang kini dikenal sebagai Irak. Sumeria dalam sejarah dicatat sebagai salah satu tonggak peradaban dunia.

Terletak diantara sungai Tigris dan Efrat, dengan daerah yang dipenuhi rawa-rawa yang tentu saja kerap mengalami pasang surut, masyarakat disana waktu itu mulai mengembangkan budidaya atau domestifikasi tanaman pangan.

Bertani pada lahan pasang surut yang meninggalkan lumpur bernutrisi tinggi, masyarakat Sumeria kemudian membangun peradabannya. Ada diversifikasi pekerjaan atau profesi, membangun sistem pemerintahan, sistem kepercayaan dan juga sistem pengetahuan.

Salah satu warisan dari peradaban Sumeria yang masih kita pakai sampai sekarang adalah perhitungan waktu. Pembagian waktu satu tahun dalam 12 bulan adalah adopsi dari sistem zodiak yang dikembangkan oleh orang Sumeria.

Tapi kini setelah Mesopotamia diduduki oleh orang Amori dan Babilonia, perlahan-lahan orang Sumeria kehilangan identitasnya. Nama mereka tak lagi disebut-sebut. Dan kemudian karena perubahan kondisi alam mereka terkubur. Sejarah dan rahasia mereka terkubur di bawah padang pasir hingga kemudian ditemukan kembali lewat penggalian arkeologi oleh Perancis dan Inggris di abad ke 19.

Para arkeolog menemukan banyak karya seni berupa patung dan tembikar, serta sekitar 500,000 prasasti yang sebagian belum diterjemahkan.

Temuan arkeologis ini memperkuat bukti bahwa peradaban manusia di masa-masa perdana dibangun dan berkembang dari wilayah sekitar sungai. Seperti di Mesir, peradabannya berkembang dari sungai Nil, Tiongkok peradabannya berkembang dari sungai Kuning dan India yang peradabannya berkembang dari sungai Indus.

Jika garis perkembangan peradaban itu kita tarik ke Nusantara, kerajaan-kerajaan {kota} -nya juga tumbuh dan berkembang di sekitar sungai.

Kerajaan-kerajaan besar di Nusantara yang terkenal sebagai kerajaan maritim sekalipun pasti ditopang oleh sungai. Sriwijaya yang konon bermula dari Muara Takus, adalah pertemuan dari sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, juga sungai Musi nantinya.

Kerajaan-kerajaan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur berhubungan dengan sungai Brantas dan Bengawan Solo. Sementara di Yogyakarta, Keraton diapit oleh sungai Code dan sungai Winongo. Air dari sungai Winongo dialirkan melalui sungai Larangan masuk ke dalam kompleks taman air yang disebut Taman Sari.

Kerajaan di wilayah Jawa Barat, berhubungan dengan Sungai Citarum. Kerajaan Tarumanegara meninggalkan percandian di muara sungai Citarum, dan prasasti peninggalan kerajaan itu ditemukan di sungai Cisadane, Ciauruteun dan Cianten.

Dan di Kalimantan Timur, tepatnya di sungai Mahakam, di bagian tengah ke hulu dahulu berdiri kerajaan Martapura {Muara Kaman}, Sri Bangun dan Sendawar. Sementara di hilir lahir Kerajaan Kutai Kartanegara, di kawasan Delta Mahakam yang kemudian bergeser-geser kearah tengah hingga kemudian berakhir di Tangga Arung {Tenggarong},

Kenapa permukiman, desa, kota {kerajaan} berkembang di sekitar sungai?. Ini berhubungan dengan evolusi kemanusiaan. Setelah mampu menguasai api, manusia kemudian menemukan cara budidaya tanaman, terutama tanaman pangan.

Dan tempat yang ideal untuk bertanam adalah perlembahan-perlembahan sekitar sungai, area pasang surut di rawa-rawa. Di Yogyakarta, di sekitar aliran sungai Code bisa ditemukan daerah bernama Ledok, daerah yang rendah yang dahulu merupakan area pertanian.

Di Banjar muncul model tata kelola air, sistem irigasi yang tidak invasif dan multiguna yang dikenal dengan istilah anjir, handil dan tapa. Juga lahir sistem pertanian di lahan rawa yang disebut dengan surjan.

Mahakarya lain yang lahir dari tepian sungai adalah arsitektur rumah panggung, yang ditopang oleh tiang-tiang tinggi yang menghindarkan dari pasang air juga serangan nyamuk. Rumah-rumah ini kemudian dihubungkan dengan jembaran panjang yang dikenal sebagai telihan oleh masyarakat di Mahakam Tengah.

Selain itu ditemukan juga berbagai teknologi alat tangkap ikan, udang dan lain sebagainya yang tidak destruktif.

Semua itu kemudian menumbuhkan yang disebut dengan kebudayaan air {sungai}.

Merdeka Dari Banjir

Era kebudayaan air yang ditopang oleh Kerajaan Kerajaan Nusantara kemudian berakhir dengan kemerdekaan Republik Indonesia. Jadilah wilayah Nusantara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hadirnya republik di bekas-bekas wilayah Kerajaan Nusantara membawa paradigma baru yang disebut pembangunan. Model rekayasa untuk mencapai kemajuan yang berbasis pada daratan.  Naluri daratan ini pertama-tama diwujudkan dengan pembangunan jalan darat {aspal}.

Agar mudah pembangunan jalan utama kebanyakan mengikuti alur sungai. Jalan dibangun tidak jauh dari pinggir sungai dengan cara menguruk area yang rendah dan mengeruk area yang tinggi. Jalan selain memutus hubungan alami antara air dan daratan, juga merubah orientasi hidup dari menghadap sungai menjadi membelakangi sungai untuk menghadap pada jalan.

Konsekwensi pembangunan jalan adalah perubahan pola hidup. Meski masih bertani dan menangkap ikan di sungai, rawa atau danau, cita-cita generasi penerusnya tak lagi kesana. Masih tinggal di pinggir sungai namun untuk penghidupan tak lagi ingin bergantung pada sumber daya sungai.

Tumbuhnya jalan darat dan budaya ekonomi daratan, membuat perilaku atau perlakuan terhadap sungai semakin invasif. Wilayah sungai kemudian didaratkan sehingga sungai kehilangan area luapan, kehilangan ruang lebar dan juga kehilangan ruang dalamnya secara ekstrim.

Secara kultural, sungai yang tadinya merupakan arah hadap hidup kemudian menjadi kiblat buang hajat. Sebab sungai yang tadinya adalah beranda rumah kemudian menjadi halaman belakang tempat melemparkan dan membuang semua-semua yang dianggap tak layak berada di dalam rumah.

Saat ini pada dasarnya banyak daerah merupakan Kota Di Tepian Air Sungai {KTAS}. Namun sungainya tersembunyi di balik bangunan-bangunan tinggi nan menjulang. Adab dan peradaban sungai terkubur oleh derak dan laju pembangunan. Pembangunan yang semakin membuat sungai kehilangan wajahnya. Bahkan tak sedikit jumlah sungai yang hilang wujudnya.

Di Samarinda ada daerah bernama Sei {Sungai} Pinang, Sei Keledang, Sei Giri tapi entah dimana sungainya. Juga ada air hitam dan air putih yang tak lagi jelas dimana alirannya airnya. Jadi ketika Samarinda diproklamirkan sebagai pusat peradaban, peradaban apa yang sesungguhnya hendak dibangun atau diwujudkan?. Peradaban merdeka dari banjir?.

Di masa lalu banyak peradaban mampu merdeka dari banjir dengan cara adaptasi dan berada bersama banjir. Sikap dan perilaku yang kemudian melahirkan budaya air yang menjadi pondasi tumbuh kembangnya  banyak kerajaan besar. Namun kebesaran itu pupus dengan model pendekatan yang invasif pada air sehingga melahirkan berbagai bencana keairan. Dan watak invasif tidak akan pernah melahirkan kemerdekaan apalagi peradaban.

sumber gambar : travel.tribunnews.com