KESAH.IDTinggal di smart building IKN ternyata tak lebih mewah daripada sekadar bisa bebas mencari warung makan di gang sempit. Di tengah kecanggihan ekosistem digital, saya justru terjebak dalam romantisme darurat bersama “Nasi Indomaret” yang dihangatkan via microwave. Sebuah ironi ibu kota masa depan: saat teknologi sudah melompat jauh, urusan perut ternyata masih harus menyerah pada prinsip sat set minimarket akibat terbatasnya pilihan kuliner saat malam tiba.

“Om ada perubahan, nanti di Rusun ASN X, Tower XX dan Unit XXX.”

Pesan singkat itu masuk saat saya sedang menunggu jemputan untuk berangkat ke IKN. Perjalanan kali ini terasa agak beda. Biasanya, saya dan gerombolan teman pergi pakai mobil sendiri yang disopiri salah satu dari kami. Jadi, kalau menginap di Rusun ASN, ada mobil yang standby. Kalau perut tiba-tiba bergolak minta diisi, kami tinggal tancap gas cari makan keluar.

Tapi perjalanan kalo ini lain, untuk pertama kalinya saya ke IKN dengan mobil jemputan yang diurus staf OIKN.

Sekitar jam 5 sore, saya dan seorang teman berangkat dari Samarinda. Estimasi sampai IKN baru malam hari. Begitu melewati gerbang masuk KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan), pikiran saya mulai liar: nanti makan di mana? Seingat saya, di salah satu tower rusun ASN tempat kami menginap, ada dua kantin yang cukup menjanjikan.

Sialnya, saat kami sampai, kantin itu sudah tutup rapat—mungkin penjaganya sudah baring-baring di rumah melepas lelah.

Kami pun masuk kamar untuk menaruh barang dan mandi biar badan yang lengket ini sedikit segar. Unit yang kami tempati adalah tipe standar: satu kamar utama, dua kamar anak, sofa untuk nonton TV, meja makan dengan enam kursi, dapur, sampai ruang cuci. Fasilitasnya lengkap, tapi ya gitu, “kosongan”. Ada kompor tapi tak ada gas. Mau masak pakai kekuatan pikiran pun mustahil.

Perut mulai keroncongan. Akhirnya, kami menyerah pada takdir: makan apa saja yang tersedia di Indomaret. Kami turun dari lantai 3 menuju lobi, di mana satu-dua resepsionis selalu menyambut dengan ramah—tipe keramahan yang bikin kita merasa jadi tamu sekelas investor dadakan.

Indomaret berada di tower sebelah, jalan kaki sebentar saja sampai. Aturannya ketat: sebelum masuk harus lepas alas kaki. Di kepala saya sudah terbayang roti-rotian. Malam ini, saya akan menjadi “orang bule” darurat yang makan roti.

Saya pun memilih roti, keripik kentang, dan keripik jagung. Tak lupa air minum, meski sebenarnya di tiap tower ada instalasi pengisian air minum gratis (biasa dan panas). Masalahnya, kami tidak bawa wadah air, jadi ya beli botolan saja daripada menjilat kran.

Saat berkeliling dari etalase ke etalase, barulah saya tersadar: ternyata Indomaret sekarang sudah naik kasta, bukan hanya swalayan tapi restoran siap saji. Ada banyak pilihan makanan siap saji, mulai dari nasi, sushi-sushian, onigiri, sandwich, sampai spageti. Ada menu Nusantara, Eropa, Jepang, hingga Korea. Semua tinggal dihangatkan pakai microwave.

Jujur, saya ini kurang referensi soal dunia ready-to-eat begini. Selama ini kalau ke Indomaret paling cuma beli rokok, air minum, atau kopi. Beli camilan saja jarang, apalagi beli nasi kotak.

Dalam perjalanan dari Indomaret menuju kamar, kami senyam-senyum sendiri merenungi nasib. Harus makan “Nasi Indomaret” yang hawa panas microwave-nya masih terasa di tangan. Seiring bus listrik yang berhenti beroperasi kalau malam, semua memang jadi serba terbatas. Tak heran kalau kami melewati resepsionis yang membantu men-tap kartu di lift, mereka akan bilang, “Selamat beristirahat.”

Seolah-olah kalau sudah masuk kamar, kami tidak bakal punya nyali buat keluar lagi.

BACA JUGA : Kopi Madju

Begitu belanjaan ditaruh di atas meja makan, tawa kami pecah. Ternyata tinggal di smart building dengan digital ecosystem yang katanya mutakhir itu tak lebih nyaman ketimbang tinggal di bangsalan atau kos-kosan dalam gang. Bedanya, di kosan gang, kita bebas keluar masuk cari warung yang masih buka meski tengah malam.

Malam itu, pilihan saya jatuh pada Ayam Geprek bermerek Yummy Choice. Sambil makan, saya masih senyam-senyum. Saya tidak terbiasa dengan model rice bowl begini. Rupanya pengetahuan saya soal Indomaret sudah ketinggalan zaman. Indomaret sudah jadi minimarket serba ada, walau dalam keseharian saya, dia tetap bukan pilihan utama.

Rasa nasi siap sajinya? Ya, oke-oke saja. Apalagi nasinya masih hangat. Dengan rentang harga Rp15 ribu sampai Rp30 ribuan, slogan “Solusi Makan Sat Set” itu memang bukan isapan jempol belaka. Selain cepat, pilihannya banyak.

Saya pilih ayam geprek karena menurut saya itu pilihan paling netral. Sebenarnya lidah saya lebih menuntut Nasi Ayam Woku atau Nasi Rendang Sambal Hijau, tapi saya belum punya tingkat kepercayaan yang tinggi pada makanan siap saji beraneka rasa. Takutnya bumbu wokunya KW atau rendangnya cuma rasa bayangan.

Tapi pengalaman pertama ini tidak mengecewakan. Rasanya memang tidak istimewa, tapi tidak ada yang pantas dicela juga. Ayam gepreknya terasa rempahnya, sambalnya pun tahu diri, tidak membakar mulut sampai level menyiksa diri sendiri. Saya makan sampai tandas. Pas dan kenyang. Kalau nanti lapar lagi, masih ada cadangan roti dan keripik.

Pagi hari di IKN, masalahnya tetap sama: kantin belum bangun. Lagi-lagi Indomaret yang setia menemani, jam 7 pagi sudah buka. Untungnya, semenjak lulus dari kehidupan asrama, saya tidak punya kewajiban moral untuk sarapan berat. Jadi, sebelum bertemu rekan tim dari ASN OIKN di Gedung Kemenko III, saya mampir ke Point Coffee untuk menyesap kopi pagi. Buat saya, seseruput kopi sudah cukup untuk membuka hari agar tidak terlalu blank.

Soal makan siang, kami sedikit lega. Meski tinggal di rusun KIPP, kegiatan kami banyak di luar kawasan. Siang itu kami makan di Kafe Gua Tapak Raja. Sayangnya, pilihannya cuma dua: Nasi Ayam Laos dan Nasi Goreng. Ada juga mi instan buat yang mau hemat. Untungnya pilihan minumannya banyak, bahkan ada Sirup Mangrove yang unik itu.

BACA JUGA : Bekasi Cikarang

Sudah agak malam kami kembali ke rusun. Resepsionis menyambut ramah dengan kalimat mautnya: “Selamat beristirahat.” Syukurlah mereka tidak menangkap aura lapar di wajah kami.

Seorang teman menyahut, “Belum Mbak, kami masih akan ke bawah lagi nanti.”

Setelah mandi, kami bersiap turun cari makan. Saya masih optimis kalau Kedai Soto Banjar atau Soto Kuin masih buka. Alamak! Walau lampunya menyala, di pintu tertulis closed. Pupus sudah harapan menyeruput kuah soto.

Tiba-tiba ada pesan masuk: “Kalau mau makan ada kantin di lantai bawah Tower B.”

Kami ke sana. Menunya panjang, tapi tempatnya mungil dan penuh antrean orang yang minta makanannya dibungkus. Saya dan teman sekamar saling tatap.

“Ke Indomaret lagi?” ucapnya pasrah.

Kami kembali lagi ke sana. Kasirnya sampai tersenyum melihat kami datang lagi. Sepertinya dia sedang piket malam. Dia tersenyum mungkin karena kemarin kami satu-satunya pembeli yang mengajaknya ngobrol panjang lebar. Kali ini saya pilih Nasi Ayam Cabe Hijau. Rasanya oke, walau ada sensasi aneh seperti aroma kecombrang di sambalnya. Tapi ya sudahlah, yang penting kenyang sebagai modal tidur.

Sebelum resepsionis sempat bilang “Selamat beristirahat,” kami duluan yang bilang, “Kali ini kami beneran istirahat, Mbak.” Mbaknya tetap tersenyum sambil menangkupkan tangan, mengulangi mantra yang sama: “Selamat beristirahat.”

Saya bilang ke teman saya, kalau di kawasan KIPP ketemu orang yang senyum atau menyapa ramah, bisa dipastikan mereka itu orang asli Sepaku atau Semoi. “Ah, masa?” ujar teman saya sangsi. “Tanya saja kalau tidak percaya,” balas saya.

Akhirnya kami punya trik baru: beli makanan di luar sebelum masuk kawasan KIPP. Tapi sampai malam terakhir, kami gagal total mencari makanan dengan sayuran yang cukup. Bahkan saat singgah di Warung Prasmanan Djowo, ekspektasi kami soal sayuran hijau hancur lebur. Baki yang berderet isinya sebagian besar lauk pauk.

Tibalah saatnya meninggalkan KIPP IKN. Saya sudah membayangkan pesta sayur di rumah. Tapi ternyata, pecel langganan saya di pintu tol Palaran malah sudah habis atau tutup karena sudah kemalaman.

Hingga tulisan ini terbit, saya masih merasa “hutang” sayur pada tubuh saya sendiri. Ternyata ketika sudah keluar dari wilayah KIPP menu makan saya belum bisa jauh-jauh dari sekotak Nasi Indomaret.

note : sumber gambar – GEMINI