Piknik dan foto sudah identik hingaa tak lagi bisa dipisahkan. Tempat-tempat yang instagramable kemudian jadi buruan. Salah satu yang kemudian hits banget adalah kampung dengan seantero rumah yang dicat warna-warni. Ada yang dinamai sebagai kampung warna, kampung warna-warni atau kampung pelangi.
Jodipan di Malang, Kalisari di Semarang dan Kampung Code di Yogyakarta menjadi contoh dari banyak kampung kumuh yang kemudian berkembang menjadi destinasi wisata berbasis masyarakat karena rumah di cat warna-warni, dinding dan lorong dilukis murah serta gambar 3D di jalanan.
Demam kampung warna-warni kemudian menyebar ke seluruh penjuru Indonesia sehingga di Kabupaten paling ujung selatan dari Provinsi Kalimantan Timur muncul kampung warni-warni.
Terletak di antara hutan mangrove, di bibir Teluk Adang, kampung warna-warni yang biasa disingkat dengan KWW ini adalah salah satu RT dari Desa Janju. Jaraknya sekitar 10 km dari pusat kota sehingga mudah dijangkau baik dengan motor maupun mobil.
Ardansyah yang kini mengetuai Kelompok Sadar Wisata {Pokdarwis} KWW menjelaskan bahwa kampung warna-warni mulai ramai dikunjungi oleh wisatawan sejak tahun 2018. Semua bermula dari ketidaksengajaan.
“Perubahan di kampung ini bermula dari keinginan untuk merayakan ulang tahun Desa Janju. Kami meminta bantuan cat dari berbagai pihak,” terang Ardan.
Karena sifatnya bantuan dan tidak dibatasi warnanya, berkaleng-kaleng cat yang berhasil dikumpulkan warna dan mereknya bermacam-macam. Dan cat yang bermacam-macam warna itu yang dibagikan kepada warga hingga akhirnya rumah dari warga RT 5 Desa Janju ini berubah rupa.
“Foto dari rumah yang berwarna-warni ini kemudian menyebar sehingga KWW mulai didatangi pengunjung untuk berfoto-foto,” lanjutnya.
Melihat animo masyarakat akhirnya dibentuk Pokdarwis dan dilakukan pengembangan, selain terus mempercantik penampilan juga ditambah berbagai wahana yang membuat pengunjung menjadi semakin betah.
“Di liburan hari raya, pengunjung yang datang bisa mencapai angka seribu orang. Parkiran di depan sana penuh,” ungkap Ardan bangga.
Kedatangan pengunjung membuat kampung nelayan itu ekonominya berseri. Ibu-ibu bisa berjualan makanan dan minuman, bapak-bapak menyewakan perahu untuk berkeliling perairan dan menyediakan umpan udang white serta brown untuk yang mau memancing.
Sebelum pandemi Covid 19, Pokdarwis juga mampu mempekerjakan 4 orang untuk mengurusi sampah sehingga kampung yang terletak di tepian air itu bukan hanya terlihat asri namun juga bersih.
Di kampung warna-warni Janju ini, selain menikmati suasana pesisir laut, melihat kehidupan masyarakat nelayan, pengunjung juga bisa merasakan atmosfer hutan mangrove. Hutan mangrove disusuri dengan titian bambu dan pengunjung bisa menikmati suasana pada beberapa gazebo sederhana yang dibangun disana. Jika beruntung atau tiba pada saat yang tepat maka akan bisa melihat serombongan Bekantan, Monyet dan Beruk.
“Karena pandemi ini maka titian bambunya tak terawat sehingga mesti hati-hati kalau melewati karena banyak yang lapuk,” ujar Ardan yang menemani kesah.id hari Jum’at, 05/03/2021 lalu.
Ardan dan rekan-rekan pokdarwis lainnya berencana memperbaiki titian itu namun urung karena kapan pengunjung akan dibebaskan berwisata kembali belum terang benar.


Terganjal Status Kawasan
Telah meraih penghargaan di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional, asa pengurus Pokdarwis melambung untuk mengembangkan KWW menjadi destinasi unggulan di Kabupaten Paser.
Namun ada tembok besar yang selalu membuat langkah mereka terhenti.
“Berkali-kali kami mengajukan bantuan anggaran, sudah ditanggapi pemerintah namun akhirnya tak bisa direalisasikan karena selalu muncul lampiran dokumen yang menyebutkan kawasan kami ini adalah cagar alam,” terang Ardan.
Dengan status sebagai cagar alam maka warga yang sudah beranak pinak di kawasan itu menjadi tidak leluasa untuk memanfaatkan lahan. Pengembangan yang bersifat fisik menjadi sebuah larangan.
Meski begitu Ardan tak bisa menyembunyikan keheranannya karena di sisi kanan arah perairan dengan mudah bisa dilihat deretan tangki-tangki raksasa menyembul lebih tinggi dari rimbun nya mangrove. Tangki itu berisi CPO dari perusahaan perkebunan milik negara.
Dan diperairan di depan kampung banyak terparkir tugboat, kapal penarik ponton itu menunggu giliran untuk menarik ponton yang telah diisi di terminal batubara yang berada tersembunyi di balik deretan tangki CPO itu.
“Mereka bisa, tapi kami tidak,” guman Ardan.
Padahal tanpa pengembangan lama kelamaan KWW akan luruh sebab pengunjung akan bosan ketika datang kembali karena yang disajikan hanya itu-itu saja.
“Rencannya disana kami akan membangun semacam resort yang bisa dipakai menginap. Dari sini kesana ada titian,” ujar Ardan menunjuk kearah kiri.
Pemandangan sisi itu memang jauh lebih asri, latarnya perbukitan hijau.
“Kalau sore matahari akan tenggelam disana. Pemandangannya sangat indah,” lanjut Ardan.
Permukaan air mulai naik, perahu nelayan beriringan pulang menuju tambatan, diparkir berjajar warna-warni. Mereka tak langsung bergegas pulang ke rumah melainkan mesti menguras air yang masuk dalam badan perahu.
Sore itu langit agak kelabu karena mendung, tak nampak semburat merah di sisi matahari membenamkan diri. Meski didera masalah karena pandemi dan status lahan, Ardan tak mau menekuk kepala. Dia dan teman-temannya terus menjaga asa bahwa tetap akan ada jalan terang di depan agar Kampung Warna Warni bisa berkembang menjadi destinasi andalan yang bukan hanya mensejahterakan warga tapi juga mampu menjaga keasrian serta keragaman flora serta fauna lain di ekosistem mangrovenya.










