KESAH.IDApakah anak zaman sekarang benar-benar ‘tolol’ karena tak hafal nama menteri, atau kita saja yang gagal paham kalau otak mereka sudah pindah ke Cloud? Sebuah bedah tajam—dan sedikit pedas—tentang mengapa buku HPU sudah kalah telak oleh algoritma Google.

Main tebak-tebakan? Ah, itu sudah dianggap arkaik, setara dengan artefak zaman perundagian bagi anak-anak zaman sekarang. Cobalah lempar pertanyaan kepada anak-anak generasi terkini, jangan harap ada kening yang berkerut tanda berpikir keras. Dengan seringan kapas, mereka akan menjawab: “Googling aja. Ribet amat hidup lu.”

Google memang telah menjelma menjadi berhala pengetahuan baru yang mahatahu. Ia bukan hanya menjawab, tapi menuntun jari-jari lentik mereka ke saluran YouTube atau akun TikTok yang menyuapi informasi dalam durasi 15 detik. Atau ke link-link sumber informasi yang diindex tanpa henti oleh robot mereka. Situasi yang sangat kontras dengan zaman saya kecil dulu.

Dulu, senjata utama untuk tampil “alfa” dan menonjol di antara teman sepermainan bukan gawai, melainkan buku HPU (Himpunan Pengetahuan Umum). Buku tipis berwarna kuning atau hijau itu adalah kitab suci. Barang siapa menguasai isinya, dia akan menjadi ‘menangan’ dan memegang takhta tertinggi dalam hirarki pergaulan saat main tebak-tebakan.

Anak-anak zaman saya memang terpaksa suka main tebak-tebakan karena dulu opsi hiburan sangatlah tragis. Tak ada permainan buatan yang bisa membuat kami asyik sendirian berjam-jam tanpa dicari ibu atau bapak  untuk mandi sore.

Di sekolah, guru-guru pun bertindak bagaikan interogator handal dengan pertanyaan-pertanyaan maut: “Siapa nama menteri penerangan?”, “Komoditas kelapa dihasilkan oleh pulau apa?”, “Waduk Sempor ada di mana?” Pertanyaan-pertanyaan kering kerontang itu adalah menu wajib yang menghantui lembar ulangan hingga ujian negara.

Dalam pergaulan sehari-hari, kami saling mengetes kapasitas otak dengan daftar spesifikasi teknis yang tidak ada di kurikulum sekolah. Kami bisa hafal luar kepala apa saja pesawat tempur buatan Amerika Serikat versus Uni Soviet, atau Honda memproduksi tipe motor apa saja dari masa ke masa.

Kami tahu detail mobil buatan Toyota, Mitsubishi, Datsun, hingga Mazda. Sumber pengetahuan ini bukan dari HPU, melainkan hasil ritual membaca majalah Bobo saat SD, yang kemudian naik level ke majalah Hai saat masuk SMP.

Dengan model pengetahuan “Nir-Internet” di mana buku digital masih dianggap fiksi ilmiah, menyaksikan konten social experiment para kreator konten zaman sekarang rasanya sangat memprihatinkan sekaligus menggelitik.

Melihat anak sekolah yang gagap menjawab pertanyaan sejenis HPU membuat “darah purba” generasi lampau mendidih. Kita dengan sangat enteng—dan penuh rasa superioritas—menstigma mereka sebagai generasi “Tolol”. Ya, tolol hanya karena mereka gagal menyebut nama ibu kota provinsi atau lokasi kabupaten tertentu yang sebenarnya sangat mudah bagi kami yang dulu makanannya adalah hafalan buta.

Lautan konten ini kemudian menggiring opini massa bahwa anak-anak dahulu lebih pintar secara genetis daripada anak sekarang. Kita langsung menghakimi adanya kemunduran intelektual massal. Namun, mari kita tarik napas sejenak dan gunakan logika yang sedikit lebih canggih: apakah ini benar-benar kebodohan, atau sekadar pergeseran kognitif dalam merespons lingkungan yang sudah berbeda total?

Seringkali kita amnesia bahwa konten media sosial adalah musuh bebuyutan objektivitas ilmiah. Di sana ada bias besar. Apa yang Anda tonton di Reels atau TikTok adalah hasil kurasi jahat demi sebuah Engagement. Kreator konten tidak akan menayangkan anak yang menjawab dengan benar karena itu membosankan dan tidak akan viral.

Mereka mencari yang paling konyol, paling melongo, dan paling kontroversial agar netizen punya bahan untuk menghujat di kolom komentar. Inilah yang disebut dalam psikologi sebagai Survival Bias yang dikawinkan dengan Confirmation Bias. Penonton hanya disuguhi sampel negatif, lalu dengan bangga menarik kesimpulan bahwa seluruh generasi sedang menuju jurang kebodohan.

BACA JUGA : Negeri Sawit

Salah satu alasan ilmiah mengapa anak-anak sekarang tidak fasih menghafal adalah fenomena Google Effects atau Digital Amnesia. Di era pra-internet, informasi adalah komoditas langka. Kelangkaan ini memaksa otak memprioritaskan penyimpanan informasi di memori jangka panjang.

Kita menghafal karena kita tidak tahu kapan lagi bisa mengakses informasi itu. Kini, informasi melimpah sampai tumpah-tumpah. Otak manusia secara evolusioner mulai beralih fungsi dari “unit penyimpanan” (storage) menjadi “unit navigasi” (routing). Anak-anak sekarang bekerja dalam mode mencari di mana (where), bukan lagi menyimpan apa (what).

Alasan lain yang diungkapkan oleh pakar neurosains, Ryu Hasan, adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan dari para konten kreator—atau pejabat yang hobi bagi-bagi sepeda—biasanya adalah hal yang sudah tidak lagi diajarkan guru atau tidak ada relevansinya dengan kehidupan mereka.

Anak-anak dulu fasih menghafal tujuh keajaiban dunia atau sungai terpanjang karena itu masuk ujian. Anak sekarang? Mereka tidak peduli siapa nama bupati, gubernur, apalagi camat. Bagi mereka, yang lebih penting adalah: “Ada link beasiswa atau bantuan kuota dari pemerintah daerah tidak?” Jika nama gubernur tidak bisa dikonversi menjadi saldo e-wallet atau peluang masa depan, maka otak mereka secara otomatis akan melakukan auto-delete terhadap informasi sampah tersebut.

Mereka mungkin tidak kenal bupatinya, tapi mereka kenal Pak RT-nya. Mengapa? Karena Pak RT masih related untuk urusan surat-menyurat yang nyata. Selebihnya, dari lurah sampai presiden, seringkali hanya dianggap sebagai pajangan baliho yang berisik.

Ini sebenarnya peringatan keras bagi para politisi yang hobi memampang wajah tersenyum manis di baliho pinggir jalan. Berharap anak muda akan mengenali diri mereka lewat baliho itu sama sia-sianya dengan menunggu kerbau berkokok atau menunggu tuyul jualan asuransi. Itu hanya buang-buang duit rakyat; tak akan ada yang membaca, apalagi mengikuti himbauan-himbauan yang klise itu.

Perbedaan kurikulum juga menjadi faktor kunci. Generasi tua adalah produk kurikulum hafalan yang menjadikan pengetahuan umum sebagai indikator utama kecerdasan. Sekarang, pendidikan bergeser ke arah HOTS (Higher Order Thinking Skills).

Jadi, jangan sebut mereka tolol jika tak hafal nama menteri. Bisa jadi anak yang kita tertawakan itu sedang membangun algoritma pemrograman, mahir menyunting video dengan teknik transisi yang rumit, atau memahami krisis iklim global yang bahkan tak pernah terlintas di otak generasi 80-an saat masih seusia mereka.

BACA JUGA : Filosofi Mlaku

Ekosistem informasi kita sudah berubah. Jika dulu kita hidup dengan hiburan seragam yang sarat muatan edukatif (karena memang tidak ada pilihan lain), anak sekarang hidup dalam “Filter Bubble” atau gelembung algoritma. Jika minatnya desain, otaknya akan penuh dengan teori warna dan tipografi, bukan lagi nama-nama pahlawan yang gugur di medan perang yang tidak pernah mereka rasakan urgensinya.

Menyimpulkan mereka lebih “bodoh” adalah generalisasi yang tidak hanya tidak adil, tapi juga menunjukkan betapa sempitnya cara berpikir kita. Jika memang ada penurunan kecerdasan intelektual di Indonesia, itu adalah “warisan” atau produk gagal dari sistem pendidikan generasi pendahulu yang hingga kini masih gemar mengajarkan tahayul dan dogma kaku kepada generasi baru.

Evolusi akan selalu melahirkan benturan. Generasi lama terjebak dalam romantisme menjadi “Perpustakaan Berjalan”, sementara generasi baru adalah “Kurator Data”. Mereka hanya mempelajari apa yang mereka anggap krusial.

Masalah utamanya bukanlah menghafal fakta, melainkan bagaimana memvalidasi informasi di tengah tsunami hoaks. Ironisnya, dalam hal tertipu berita palsu dan broadcast WhatsApp grup yang tidak jelas sumbernya, justru generasi tualah yang sering kali menjadi korbannya.

Jadi, berhentilah menertawakan video ketidaktahuan anak-anak itu dengan rasa jemawa. Selami realita dengan pikiran terbuka bahwa cara kerja otak mereka sudah ter-akselerasi oleh teknologi.

Sekarang, mari kita balik logikanya: coba minta anak-anak muda itu memberikan pertanyaan tentang cara kerja Blockchain, Artificial Intelligence, atau Digital Marketing kepada generasi tua yang hobi menertawakan mereka. Jangan-jangan, jangankan menjawab, istilahnya saja pun si tua tidak pernah dengar.

Jika si tua melongo tak tahu apa-apa di hadapan pertanyaan masa depan, sementara si muda hanya tak tahu pertanyaan masa lalu, maka mari kita jujur pada diri sendiri: Siapa sebenarnya yang lebih pantas disebut tolol di sini? BOOM!

note : sumber gambar – GEMINI