KESAH.IDBanjir bandang adalah “tagihan” atas ekonomi ekstraksi yang abai terhadap kaidah hutan: ketika sungai ditimbun dan lereng dibabat, fungsi spons alam hilang. Keuntungan kayu yang dinikmati segelintir orang tak sebanding dengan biaya pemulihan dan hilangnya nyawa, menjadikan praktik ini sebuah ekonomi bunuh diri.

Perbincangan tentang banjir bandang, khususnya di Pulau Sumatera, kian hari kian tak produktif. Diskusi seringkali terjebak pada komentar klise atau kebijakan yang menjauh dari substansi. Beruntung, masih ada satu-dua pihak yang berusaha mendalami masalah ini dengan bijaksana dan mewarnai jagat maya dengan telaah yang serius.

Semalam, seorang kawan menandai saya pada sebuah ulasan mendalam. Isinya mengulik penyebab banjir bandang dengan membandingkan negara-negara yang sukses mengelola ekonomi kehutanan secara lestari. Referensinya berbahasa Inggris, butuh upaya ekstra untuk mendalaminya. Namun, alih-alih menengok jauh ke luar negeri, saya memilih masuk ke dalam ingatan: menggali kembali pelajaran sekolah dasar dan memadukannya dengan sedikit pengetahuan saya tentang kebijakan kehutanan di Indonesia.

Hampir semua anak Indonesia yang pernah mengecap bangku sekolah pasti mendapatkan pelajaran tentang fungsi hutan. Tentu, persepsinya berbeda-beda. Sebagai anak Jawa Tengah, cara saya memandang hutan pasti berbeda dengan anak Kalimantan Timur. Saya jarang melihat hutan rimba; yang saya lihat biasanya “alas” buatan seperti hutan jati atau pinus. Namun, satu hal yang saya tanam dalam ingatan: fungsi utama hutan adalah merespons air hujan agar tidak semuanya menjadi air permukaan. Tanpa hutan, lahan akan tererosi, dan perbukitan akan runtuh menjadi longsor.

Hutan alami adalah spons raksasa. Kekuatan ini lahir dari dekomposisi material organik di lantainya. Serasah—tumpukan daun dan ranting yang membusuk—membentuk lapisan tebal dan lembut yang mampu menahan air agar tidak langsung meluncur di permukaan. Di atasnya, kanopi atau tajuk pohon yang tinggi menjadi benteng pertama. Rimbunnya daun memecah hempasan hujan menjadi kabut halus yang melayang pelan ke bumi.

Air yang jatuh kemudian disapa oleh serasah tebal tadi. Lantai hutan bekerja seperti ember bocor yang fungsional; ia meresapkan air ke dalam tanah yang gembur karena aktivitas cacing dan organisme yang membentuk pipa-pipa alami. Infiltrasi ini pun diperkuat oleh akar-akar sehat yang menembus jauh ke dalam bumi. Di sanalah air ditanam, untuk kemudian kita panen sebagai mata air di kemudian hari. Tak hanya itu, hutan membantu penguapan; air yang tertahan di dedaunan akan kembali ke angkasa saat tersentuh panas, menjaga siklus tetap seimbang.

BACA JUGA : Bencana Kebijakan

Dulu, hutan kita dikagumi karena keanekaragaman hayatinya. Namun, lambat laun, ekonomi hutan diringkas hanya menjadi urusan kayu. Memang, kayu boleh ditebang karena ia makhluk hidup yang punya umur; jika dibiarkan lapuk, ia akan roboh dan melepaskan karbon. Namun, karena ekosistem hutan sangat rapuh, penebangannya harus dilakukan dengan presisi tinggi.

Itulah mengapa lahir TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Aturannya ketat: hanya pohon dengan diameter dan ketinggian tertentu yang boleh ditebang. Arah rebahnya diatur agar tidak menimpa pohon muda di sekitarnya. Jalur sarad untuk menyeret batang kayu pun ditentukan agar tidak menghancurkan lantai hutan. Di pinggir sungai, wajib ada buffer zone sejauh 20-30 meter yang tak boleh disentuh. Bahkan, pembangunan jembatan harus dilakukan secara permanen, bukan dengan menimbun sungai menggunakan batang kayu.

Sayangnya, di lapangan, TPTI sering dipelesetkan menjadi “Tebang Pasti, Tanam Insyaallah.” Demi mengejar profit besar dengan biaya murah, aturan disingkirkan. Muncul istilah “Tebang Matahari” karena lahan dibabat habis (land clearing) untuk dikonversi menjadi kebun, permukiman, atau tambang. Sungai-sungai ditimbun dengan kayu (log) sebagai jembatan darurat agar truk bisa lewat dengan cepat. Larangan menebang di lereng curam di atas 45 derajat pun hanya dianggap hiasan kertas.

Pesta pora ekstraksi ini memang melahirkan orang-orang kaya baru. Mereka panen tanpa menanam; uang seolah jatuh dari langit. Namun, keserakahan telah membutakan mata mereka. Di balik tumpukan investasi dan saldo bank yang membengkak, ada “tabungan risiko bencana” yang sedang mereka tanam. Ada hutang alam yang tidak mereka bayar, melainkan ditagihkan kepada masyarakat setempat yang mungkin tak pernah mencicipi sesen pun hasil kayu tersebut.

Gemuruh air yang meradang, disertai hantaman batang kayu yang menyapu pemukiman dan jembatan, adalah cara alam menagih utang. Cuaca ekstrem memang pemicu, namun jika hutan masih berfungsi memecah hujan dan lantai hutan tetap menjadi spons, niscaya banjir tak akan mengamuk sehebat itu. Ketika hutan dibabat habis dan sungai dibendung oleh timbunan kayu, terciptalah bendungan raksasa yang tidak stabil. Begitu satu titik jebol, ia menciptakan efek domino yang menghantam apa pun di bawahnya dengan kekuatan palu godam.

BACA JUGA : Keset Indonesia

Tak perlu menunggu konfirmasi menteri atau penyelidikan polisi untuk tahu apa yang terjadi. Banjir bandang selalu membawa pesan yang jelas dari hulu. Mata awam pun bisa membedakan mana kayu yang roboh secara alami karena lapuk, dan mana kayu yang ujungnya rapi bekas gergajian. Kayu-kayu itulah yang tadinya digunakan sebagai penimbun sungai untuk akses jalan ilegal. Timbunan itu menjadi bendungan semu yang meledak ketika air mencapai titik jenuh.

Secara matematis, ekstraksi hutan memang memperkaya segelintir orang dekat penguasa. Namun, bagi negara, ini adalah ironi yang buntung. Biaya pemulihan infrastruktur pasca-banjir di Sumatera seringkali jauh lebih besar daripada royalti yang diterima negara. Belum lagi nilai nyawa manusia yang hilang—sesuatu yang tak akan pernah bisa ditebus dengan tumpukan kayu sebanyak apa pun.

Hutan memang bisa dihijaukan kembali, tapi memulihkan fungsinya sebagai “spons” adalah perkara lain. Itu bukan sekadar menanam bibit pohon, melainkan menunggu puluhan tahun hingga struktur tanah kembali gembur, mikroorganisme kembali hidup, dan hidrologi kawasan tertata ulang.

Banjir bandang adalah peringatan keras bahwa alam memiliki batas toleransi. Selama kita masih memandang hutan hanya sebagai komoditas murah, kita akan terus membayar “tagihan” bencana dengan harga yang berkali-kali lipat lebih mahal. Sudah saatnya kita kembali ke marwah pelestarian: memanen tanpa merusak, mengambil tanpa menghancurkan. Jika tidak, ekonomi ekstraksi ini tak lebih dari sekadar ekonomi bunuh diri.

note : sumber gambar – GEMINI