KESAH.IDPadi tak lagi dipanen dengan doa, cengkeh ditebangi karena monopoli, dan api ladang dipaksa padam oleh jeruji. Ini adalah rajutan memori dari Purworejo, Minahasa, hingga Bumi Borneo tentang runtuhnya benteng kebudayaan akibat ambisi swasembada yang abai pada kosmologi agraris. Ketika ritual daur musim hilang, yang tersisa hanyalah alam yang diekstraksi tanpa restu. Masyarakat terpaksa berjuang dalam sunyi mempertahankan kearifan dan pengetahuan lokal di tengah kepungan konsesi.

Setiap kali membuka pintu belakang rumah, yang pertama kali menyapa mata adalah hamparan sawah luas dengan latar perbukitan Menoreh di sisi timur. Di kejauhan sana, samar-samar nampak dua puncak gunung yang tampak selalu berdampingan: Sumbing dan Sindoro.

Pemandangan itu sirna duapuluhan  tahun silam. Persis di perbatasan rumah Bapak dan Ibu, sebuah perumahan dibangun, mengonversi kebun kelapa tempat saya dan teman-teman kecil dulu sering berburu tokek di batang pohonnya yang berlubang.

Kebun Mbah Supeno dan sawah-sawah di belakangnya adalah semesta bermain masa kecil saya. Saat kemarau, sawah itu biasanya ditanami kacang tanah. Konon, kebiasaan inilah yang menjadi asal-usul nama “Cangkrep”, kependekan dari kacang kerep atau daerah yang sering menanam kacang. Musim palawija selalu menyenangkan; tanaman dipanen saat puncak kemarau ketika tanah persawahan mulai pecah-pecah, tempat kami asyik mencari jangkrik di sela retakannya.

Tak lama kemudian, sawah akan dibajak menyambut musim hujan. Saatnya bertanam padi kembali. Mereka yang punya kerbau akan membajak dengan ternaknya, sementara yang tidak punya akan mencangkul secara manual. Di masa inilah, saya sempat merasakan sisa-sisa ritual daur musim dalam tradisi Jawa. Ketika padi mulai berbunga dan bulirnya menyembul, diadakanlah upacara sederhana bernama wiwitan. Wiwit artinya mulai; pertanda padi siap menguning menuju masa panen.

Biasanya di galengan atau pematang sawah, kami mengadakan bancakan. Makan bersama dengan menu yang bervariasi sesuai kemampuan, namun nasi dan urap tak pernah absen. Wiwitan adalah ungkapan syukur kepada Dewi Sri, simbol kesuburan, serta penghormatan kepada bumi yang telah memberi kehidupan.

Bagi kami anak-anak, wiwitan adalah kabar gembira bahwa musim bersuka ria di sawah segera tiba. Area sawah akan ramai oleh orang yang nderep—gotong royong memanen padi. Kami pun ikut turun ke sawah demi beroleh segenggam padi bertangkai untuk ditukar dengan segelas dawet. Barter padi dan dawet ini kami sebut ngurup.

Wiwitan mungkin adalah lanskap terakhir dari ritual daur musim yang bertahan dalam tradisi Jawa kala itu. Namun, ritual ini perlahan lenyap saat Presiden Soeharto mencanangkan ambisi swasembada pangan. Lewat ekstensifikasi, intensifikasi, dan Revolusi Hijau, rezim mengganti jenis padi. Petani dipaksa menanam varietas hibrida (padi IR) yang berbatang pendek. Padi ini tak lagi dipanen secara terhormat dengan ani-ani, melainkan dibabat dengan sabit.

Perubahan budidaya ini meruntuhkan benteng terakhir ritual berbasis siklus alam. Karena mengejar produktivitas dan pertumbuhan, keberhasilan panen bukan lagi dianggap sebagai restu Dewi Sri, melainkan hasil dari pemupukan kimia dan lancarnya irigasi teknis.

Cangkrep pun kehilangan kacangnya karena sawah dipaksa terus-menerus menanam padi. Kerbau-kerbau yang kelelahan diganti oleh traktor tangan. Segalanya menjadi serba cepat; tak ada lagi gotong royong nderep, tak ada lagi ngurup. Kami tak lagi bermain di sawah karena penggunaan pestisida dan herbisida yang masif membuat belut dan ikan-ikan lenyap.

Hilangnya ritual daur musim akhirnya hanya menyisakan tradisi bancakan atau kendurenan pada siklus daur hidup (biologi)—mulai dari kehamilan (mitoni), kelahiran, tedak siten, inisiasi kedewasaan (sunat), pernikahan, hingga upacara kematian. Ambisi swasembada pangan dengan modernisasi pertaniannya telah memupus relasi kosmologi dalam kehidupan agraris Jawa.

BACA JUGA : Keset Indonesia

Beruntung, ketika saya pindah ke Minahasa, saya kembali menemukan ritual syukur atas panen yang masih hidup. Di sana disebut “Pengucapan”. Bedanya, yang dirayakan bukan panen padi, melainkan panen cingke atau cengkeh.

Sebelum kehadiran agama-agama Abrahamik, masyarakat Minahasa mengenal ritual rumumes atau meres—upacara persembahan hasil bumi kepada Opo Wanua atau Kasuruan Wangko. Pasca-masuknya kekristenan, ritual ini mengalami inkulturasi ke dalam tradisi gereja yang kini dikenal sebagai Pengucapan Syukur.

Upacara dimulai di gereja; hasil bumi dibawa sebagai persembahan ibadah. Setelahnya, berlanjut ke pesta komunal. Warga saling berkunjung dari rumah ke rumah, dan di setiap meja pasti tersedia nasi jaha serta dodol. Nasi jaha (beras ketan dan santan dalam bambu bakar) adalah simbol kekuatan dan persatuan, sedangkan dodol yang diaduk lama merupakan lambang kesabaran petani menunggu pohon cengkeh berbunga hingga panen.

Meski cengkeh tak lagi jadi primadona utama, tradisi ini bertahan karena telah menyatu dengan kalender liturgi gereja. Amurang menjadi salah satu destinasi favorit, dikenal dengan dodolnya yang pulen. Keramaian Pengucapan di sana setara dengan perayaan Natal, Tahun Baru, atau Lebaran Ketupat.

Minahasa sedikit lebih beruntung dibanding Jawa karena basis syukurnya adalah pohon cengkeh, bukan padi. Namun, nasib komoditasnya serupa. Jika padi di Jawa di-revolusi oleh Soeharto, cengkeh di Minahasa “di-revolusi” oleh putra kesayangannya, Tommy, melalui BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh). Intervensi ini membuat kehidupan petani berantakan.

Badan yang diniatkan melindungi petani justru bertindak layaknya penjajah yang memaksa penjualan harga murah. Petani yang marah kemudian menebangi pohon cengkeh mereka. Dampaknya tak hanya ekonomi, tapi juga ekologi; lahan miring yang dulunya terjaga oleh pohon keras kini berubah menjadi lahan tanaman semusim yang rentan longsor.

Di Jawa maupun Minahasa, ambisi politik dan ekonomi telah merusak kebudayaan yang berkaitan dengan siklus daur musim. Keringat petani diekstraksi oleh elit dan kroni-kroninya. Kebijakan Orde Baru dan monopoli putranya telah menghancurkan tonggak sosial bernama gotong royong atau mapalus.

BACA JUGA : Ekonomi Bundir

Lagi-lagi saya merasa beruntung ketika pindah ke Kalimantan Timur. Di sini, saya menemukan rangkaian ritual daur musim yang jauh lebih lengkap. Di bawah tekanan yang jauh lebih berat dibanding Jawa dan Sulawesi, masyarakat tradisional Kalimantan Timur masih teguh menjaga harmoni dengan alam, leluhur, dan penghuni “dunia atas”.

Bagi mereka, siklus daur musim (ekologi) dan siklus daur hidup (biologi) adalah dua hal yang tak terpisahkan; keduanya saling mengunci. Kerusakan pada satu siklus akan merusak seluruh tatanan sosial. Landasan kehidupan mereka adalah ladang dan hutan, yang dimanifestasikan dalam sistem perladangan berpindah dan tata ruang yang berbasis pada insting konservasi.

Berladang adalah cara hidup. Dalam daur musimnya, proses ini memiliki 10 hingga 11 tahapan ritual—mulai dari memilih lokasi, membuka lahan, membakar terkendali, menentukan hari baik, menugal, hingga pesta makan padi baru. Sistem rotasi ini bukan perusak hutan; mereka hanya “peminjam” lahan untuk satu-dua musim, lalu membiarkannya pulih melalui suksesi alami.

Masyarakat adat tidak membuka semua hutan. Ada wilayah “hutan larangan” (lindung) dan hutan produktif seperti simpung buah atau lembo. Kombinasi tata ruang ini menjadikan mereka penjaga hutan yang andal. Namun sayangnya, kejeniusan lokal dalam beradaptasi dengan kondisi hidro-geologi ini tak mendapat pengakuan dari pemerintah.

Sejak zaman Orde Baru hingga kini, pemerintah justru berandil besar dalam “menumpas” peradaban budidaya ini. Lewat program transmigrasi dan pemberian konsesi kehutanan serta tambang, ruang gerak masyarakat menjadi terbatas. Praktik ladang bakar terkendali sering berakhir dengan kriminalisasi. Perusahaan kerap menuduh peladang membakar lahan di area konsesi mereka.

Kini, para peladang tradisional di Kalimantan Timur dilingkupi ketakutan untuk mempraktikkan kearifan lokal mereka. Sungguh ironis; menjaga warisan leluhur justru dihantui penjara. Api yang dulunya membakar daun dan dahan untuk menghasilkan abu penetral tanah asam, kini dipaksa padam.

“Kini, api di ladang Kalimantan dilarang menyala, sama seperti sawah di Cangkrep yang kini sudah membatu menjadi perumahan.”

note : sumber gambar – GEMINI